12,732 views Gajah di Indonesia dan Masa Depannya - KEHATI KEHATI

Gajah di Indonesia dan Masa Depannya



  • Date:
    12 Agu 2021
  • Author:
    KEHATI

Dr Wishnu Sukmantoro
Wakil Ketua Perkumpulan Jejaring Hutan Satwa

Ditulis oleh:

Wakil Ketua Perkumpulan Jejaring Hutan Satwa

Dr Wishnu Sukmantoro

 

Gajah adalah spesies asli di nusantara (Indonesia). Di zaman purba, sekurangnya 6 genus atau sub genus gajah yang hidup di Indonesia sejak 11 juta tahun lampau (zaman Eocene) terutama dari catatan fosil di Sangiran, Pulau Flores, Pulau Sulawesi dan Kalimantan. Saat ini, hampir semua spesies gajah telah punah di Indonesia dan menyisakan hanya dua sub jenis gajah masih hidup yaitu Gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus) dan Gajah Kalimantan (Elephas maximus borneensis).

 

Dalam sejarahnya, gajah menjadi hewan yang sangat penting terutama wilayah Asia sebagai satwa yang dihormati,termasuk di fase agama nenek moyang sampai hari ini. Misalnya, Ganesha atau yang disebut Bhatara Gana merupakan simbol penghancur segala rintangan, penganugerah kecerdasan dan kemakmuran. Kemudian, gajah dikenal pula sebagai hewan untuk alat transportasi dan alat angkut, bahkan kendaraan perang. Interaksi dan domestikasi gajah telah dikenal bagi masyarakat di nusantara waktu itu sejak abad sebelum masehi, misalnya dengan temuan situs Pasemah dalam catatan Van der Hoop tahun 1932, dimana situs berupa arca tersebut berbentuk bulat telur yang dipahat berbentuk gajah yang diapit prajurit di salah satu sisinya. Jadi, batu menhir yang diperkirakan dibuat tahun 2500 tahun lampau ini merupakan wujud dari domestikasi gajah waktu itu[1],[2].

 

Sampai saat ini, tradisi penghormatan masih tetap ada terutama di dalam ritual keagamaan. Lambang-lambang instansi termasuk universitas dan penyebutan datuk oleh masyarakat Sumatra dan Kalimantan ditujukan untuk penghormatan kepada gajah. Meskipun demikian, pemanfaatan gajah secara tradisi masih dijalankan, misalnya dalam pemanfaatan gadingnya untuk mas kawin di Flores atau dikenal tradisi belis untuk tujuan meningkatkan pamor keluarga. Penggunaan gading untuk berbagai keperluan terutama cenderamata masih dilakukan sampai saat ini untuk cenderamata patung berukir, gelang gading, sampai untuk pipa hisap rokok.

 

Pasca Operasi Ganesha tahun 1982 dan 1983 di Sugihan, Ogan Kemering Ilir Sumatra Selatan, pelatihan gajah dikembangkan dalam tata liman, bina liman dan guna liman yang akhirnya mengantarkan sebagian gajah-gajah yang dipindahkan karena konflik dengan masyarakat transmigran, dilatih dan dibina menjadi gajah latih atau gajah jinak[3]. Konsep tata liman, bina liman dan guna liman inilah menjadi salah satu dasar dalam pengelolaan gajah jinak yang dipindahkan karena konflik dengan manusia, menjadi gajah jinak di seluruh Sumatra. Beberapa taman safari dan kebun binatang juga mengambil sumber daya gajah Sumatra untuk pariwisata.

 

Operasi Ganesha yang tujuannya untuk meniadakan konflik gajah – manusia bagi masyarakat transmigran yang ada. Ini merupakan salah satu awal masyarakat mengetahui terjadinya konflik gajah dengan manusia dalam pokok persoalan alih fungsi lahan. Dalam era itu, kita menyadari bahwa terdapat alih fungsi lahan hutan alam menjadi daerah binaan masyarakat dari pelepasan kawasan hutan menjadi area budi daya atau non hutan alam.

 

Gajah, Konversi lahan dan Kenaikan Jejak Ekologi

Konversi lahan menjadi persoalan utama dalam konservasi gajah di Indonesia. Di Sumatra, pada tahun 1990, luas hutan alam adalah 21,3 juta ha (48,2% di dalam Pulau Sumatra). Namun, tahun 2014, hanya 10,8 juta ha hutan yang masih tersisa, atau dalam 22 tahun tersebut, 10 juta ha hutan hujan tropis di konversi dengan rasio deforestasi 2,1% atau 507.407 ha per tahun. Sebesar 81 – 82% deforestasi adalah di hutan dataran rendah. Dari luasan tersebut, 82% lahan yang dikonversi berada di dataran rendah (non gambut) yang merupakan habitat terpenting bagi gajah[4].

Gajah anak jantan di flying squad Tesso Nilo.
Sumber foto: Wishnu Sukmantoro

 

Konversi lahan adalah sebagai dampak dari kebutuhan negara akan peningkatan pendapatan negara dan ekonomi masyarakat. Hal ini sebagai antisipasi peningkatan jumlah penduduk di Pulau Sumatra dan kebutuhan yang semakin meningkat untuk pangan dan energi. Menurut angka resmi dari Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk Sumatra adalah yang terbesar kedua di Indonesia, dengan 46.136.521 orang  atau 19,4% dari total penduduk Indonesia di tahun 2010. Dengan tingkat pertumbuhan 2,1% per tahun, berdasarkan tingkat pertumbuhan per provinsi di Sumatra tahun 2010 (BPS 2012), jumlah penduduk di Sumatra diprediksi saat itu menjadi 59,34 juta orang pada tahun 2020.

 

Ternyata, realita angkanya tidak jauh berbeda yaitu 58,56 juta jiwa (21,68%). The Economic Intelligent Unit (EIU) di Dupont Forum Media di Singapura menilai Indonesia sebagai negara urutan ke-5 di Asia Tenggara terhadap indeks ketahanan pangan (rangking ke 65 dunia tahun 2020[5]). Peringkat ini di bawah Malaysia, Thailand, Vietnam dan Filipina. Dengan demikian, pemerintah Indonesia saat ini berusaha meningkatkan ketahanan pangan melalui beberapa cara, termasuk mengurangi impor pangan dan memanfaatkan bonus pertumbuhan populasi kaum muda dan produktif  yang dianggap sebagai bonus demografi hingga 2020.

 

Dengan rendahnya indeks ketahanan pangan di Indonesia, pemerintah Indonesia berupaya menggenjot persiapan dan implementasi peningkatan ketahanan pangan. Hal ini mempengaruhi berbagai tempat di Indonesia dengan peningkatan produktivitas lahan dan konversi lahan lebih luas. Meskipun dalam dua tahun ini sampai 2021, pandemi Covid-19 merebak, program ketahanan pangan tetap dijalankan oleh pemerintah Indonesia. Sehingga pada akhir tahun 2020, status ketahanan pangan di Indonesia dalam level moderat. Global Hunger Index (GHI) 2020 menyatakan Indonesia menempati skor 19,1 setelah sebelumnya masih berada di level serius dengan skor 20,1 pada tahun 2019[6].

 

Implikasi ini adalah manifestasi kebijakan pro-swasembada pangan dan peningkatan produktivitas lahan diikuti konversi lahan kembali. Di Sumatra, ketahanan pangan difokuskan di Sumatra Utara dan Sumatra Selatan dengan target usaha pertanian skala besar berbasis klaster, multi komoditas (pangan, hortikultura, ternak, perkebunan), mekanisasi, modernisasi pertanian dan sistem digitalisasi, mengorporasikan petani, dan hilirisasi produksi pertanian. Di Kalimantan Utara dimana populasi Gajah Kalimantan tercatat, food estate difokuskan di Delta Kayan dimana jauh dari kantung populasi Gajah Kalimantan.

 

Pembelajaran Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), proyek ini akan membutuhkan 1,28 juta ha lahan dimana 90% area diambil dari pembukaan lahan hutan alami. Dalam konteks ini, MIFEE dapat bertentangan dengan komitmen pemerintah dalam mengurangi emisi gas buang yang tertuang dalam moratorium deforestasi[7]. Di Sumatra Selatan yang memiliki populasi gajah, konsentrasi food estate adalah salah satunya di Ogan Komering Ulu dan Ogan Komering Ilir. Beberapa kecamatan yang berdampak pada konflik gajah – manusia di areal persawahan masyarakat, yaitu Kecamatan Air Sugihan dan Sungai Menang. Kawasan tersebut termasuk dalam program rencana cetak sawah seluas 59.118 ha[8]. Di wilayah ini, konflik gajah – manusia akibat pertanian sawah terus menerus terjadi setiap tahun[9]. Food estate bisa memiliki dampak selain pembukaan lahan baru terutama lahan gambut, yaitu potensi konflik gajah – manusia yang meningkat.

 

Analisis Global Footprint Network yang disitir di dalam the Washington Post tanggal 4 Mei 2017 mencatat bahwa banyak negara mengalami defisit jejak ekologi yang dihubungkan dengan biokapasitas. Pada tahun 2013, jejak ekologis Singapura mencapai angka 6,8 hektar global per kapita (gha), padahal biokapasitas negara tersebut hanya 0,1 gha. Defisit ekologis Singapura menjadi 12,7 kali lipat. Indonesia mengalami defisit ekologis sebesar 18 persen dimana jejak ekologisnya terhitung 1,4 gha dan biokapasitasnya hanya 1,2 gha. Meskipun jauh lebih baik dibandingkan Singapura, namun salah satu penggunaan lahan di Indonesia untuk berbagai keperluan masih melebihi ambang biokapasitasnya[10].

 

Populasi dan Ancamannya

Konversi lahan mengakibatkan dampak ruang hidup gajah dan manusia saling tumpang tindih dan berakibat konflik satu dengan lain. Dampak lain adalah peningkatan aktivitas perburuan karena kemudahan akses menuju kelompok gajah, penyakit dan pencemaran lingkungan di habitat gajah. Di Sumatra, konflik gajah dengan manusia diperkirakan sudah ada di abad ke-18 bahkan sebelumnya. Hal ini berkenaan dengan pembukaan lahan besar- besaran untuk perkebunan di Sumatra pada masa kolonial.

 

Seorang orientalis, pionir berkebangsaan Inggris William Marsden singgah di Sumatra pada abad ke-19 juga memberikan catatan sendiri soal keberadaan gajah. Pada masa itu, gajah sudah menjadi ancaman besar bagi kebun-kebun rakyat karena menghancurkan tanaman yang mereka lewati[11]. Catatan di Sumatra tahun 1984 – 1996, isu konflik gajah-manusia dicatat dimana 16 orang meninggal dan 9 orang terluka akibat konflik gajah-manusia di Way Kambas, Lampung[12]. Sejak tahun 2000 an, konflik gajah – manusia melebar informasinya dimulai dari Aceh, Sumatra Utara, Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu dan Lampung.

 

Di Riau, konflik gajah-manusia tersebar di 9 kantong gajah yaitu Mahato, Koto Tengah, Balai Raja, Giam Siak Kecil, Tesso Nilo Utara, Tesso Nilo Tenggara, Petapahan, Serangge dan Pemayungan[13] terutama di kawasan hutan yang dibebani izin untuk hutan tanaman industri, perkebunan dan areal penggunaan lain (APL), meskipun pada akhirnya juga merambah ke kawasan konservasi. Di tahun 2000 an, konflik gajah – manusia di Aceh meningkat sampai hari ini terutama di Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Jaya dan Aceh Timur.

 

Ancaman konflik ini diikuti perburuan dengan motif gading dengan cara diracun atau ditembak. Konsentrasi perburuan gading adalah di Aceh, Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Lampung dan Kalimantan terutama populasi gajah di Sabah. Informasi terakhir adalah seminggu yang lalu dimana satu individu gajah jantan mati di Aceh Timur (di dalam satu Hak Guna Usaha perkebunan sawit dari kawasan hutan yang telah dilepaskan pemerintah) dengan motif perburuan gading dengan teknik peracunan melalui makanan.

 

Populasi gajah sumatra di pulau Sumatra mengalami penurunan yang signifikan. Pada tahun 1984 – 1985 dalam survei singkat peneliti gajah termasuk orang Indonesia memperkirakan populasi gajah Sumatra dan yang masuk di Kalimantan bagian Indonesia saat itu adalah 2.400 – 4.800 individu[14]. Kemudian, dokumen strategi konservasi gajah nasional memperkirakan kembali populasi gajah di Indonesia adalah 2.400 – 2.800 individu tahun 2007. lalu, tahun 2014, dalam kegiatan workshop Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI), pemerhati gajah menghitung kembali estimasi populasi gajah dan diperkirakan hanya tersisa 1.724 individu. Pada strategi dan rencana aksi konservasi gajah di Indonesia terbaru yang belum dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, estimasi populasi turun kembali di bawah 1.700 individu dari estimasi perhitungan sampai tahun 2020.

 

Inovasi dan Masa Depan

Konservasi gajah di Indonesia dalam 20 tahun terakhir telah menghasilkan berbagai upaya yang dilakukan banyak stakeholder. Pemerintah Indonesia dalam hal regulasi ke dalam status perlindungan. Upaya konservasi di tingkat tapak secara in-situ dan ex-situ yang didukung berbagai lembaga konservasi, lembaga donor, berbagai NGO lingkungan internasional, nasional dan lokal dan kelompok swadaya masyarakat melalui aksi konservasi di lapangan. Universitas-universitas atau lembaga riset yang fokus pada aspek riset dan elemen kelompok masyarakat dan berbagai perusahaan yang juga berkontribusi dalam dukungan dan aksi langsung di lapangan.

 

Inisiatif, upaya dan metode yang dikembangkan oleh berbagai lembaga ternyata tidak mampu mengantisipasi penurunan populasi gajah terutama di alam. Persoalannya adalah memadukan strategi inovasi dan peningkatan dari sisi manajemen pengelolaan konservasi gajah dengan kebutuhan alih fungsi lahan dan pendanaan bagi aksi konservasi tersebut. Kebijakan pemerintah mengenai ketahanan pangan yang kemudian mendorong sebagian kawasan hutan masuk di dalam perhutanan sosial terutama di dalam wilayah jelajah gajah juga menjadi catatan tersendiri sebagai kesenjangan kebijakan terhadap konservasi gajah di Indonesia.

 

Beruntung, pada tahun 2019, berbagai lembaga terutama pemerintah Indonesia, Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI)  dan didukung oleh lembaga donor seperti TFCA (Tropical Forest Conservation Act), mendorong konsep dasar perlindungan di tingkat tapak dalam Rencana Tindakan Mendesak (RTM) terhadap perlindungan gajah di alam. Case study yang dilakukan adalah di Sumatra yang memiliki dampak terbesar penurunan populasi. Untuk Gajah Kalimantan, FKGI dan lembaga lokal lebih diarahkan dalam membangun tata kelola kolaboratif antara pemerintah daerah, stakeholder dan masyarakat dalam penurunan konflik, membangun pola ruang gajah partisipatif dan memastikan populasi gajah kalimantan. RTM ini seakan – akan sebagai refleksi pada pemerhati gajah dan aksi dasar dan prinsip yang bisa diterapkan dalam jangka waktu yang pendek untuk tujuan minimal mempertahankan populasi gajah di alam. Aksi ini bertujuan untuk mengerem ancaman-ancaman terhadap gajah Sumatra terutama dari konflik dan perburuan. Di lapangan, implementasi dari RTM ini adalah monitoring secara intensif populasi gajah di alam dan memantau ancamannya, menurunkan laju konflik gajah – manusia, antisipasi perburuan dan tindakan mendesak terhadap populasi yang kritis.

 

12 Agustus 2021 adalah tahun ke-10 peringatan Hari Gajah Sedunia yang bisa dipakai sebagai refleksi dalam upaya konservasi di masa datang. Tentunya membutuhkan banyak inovasi, teknologi dan filosofi didalamnya. Tulisan ini mencatat 4 hal penting inovasi ke depan yaitu pertama, memadukan hubungan gajah dan manusia dalam interaksi yang positif atau disebut koeksistensi gajah – manusia.  Kedua, menyelaraskan kehidupan gajah dan habitatnya dalam kondisi terkini yang lebih adaptif terhadap seluruh kondisi bentang alam, termasuk hubungannya dengan manusia. Ketiga, menyelaraskan tujuan dan visi bersama tata kelola gajah – ex situ untuk mendukung populasi in-situ. Keempat, persiapan habitat termasuk habitat baru yang orientasinya adalah tidak mengalami gangguan dalam jangka waktu 100 tahun ke depan.

 

Aspek koeksistensi ini menjadi hal yang strategis, meskipun dianggap utopia. Namun, realitasnya terjadi di beberapa elemen masyarakat yang memiliki konflik tinggi, dimana pada akhirnya masyarakat menerima konsekuensi keberadaan gajah. Konsep ini kemudian berkembang dalam pengembangan pola ruang untuk memisahkan konsentrasi aktivitas gajah dan manusia dan strategi pengaturan jenis tanaman yang relatif rendah rentan terhadap gangguan gajah. Isu konektivitas dan koridor gajah sebagai bentuk pengelolaan yang adaptif di dalam aspek realitas penggunaan lahan termasuk pengelolaan habitat gajah di konsesi hutan tanaman industri, di lahan pertanian dan kebun yang komplek dan pemukiman masyarakat. Hal ini dapat mengakomodir kebijakan pemerintah dalam pengembangan ketahanan pangan termasuk strategi perhutanan sosial dan tata kelola konsesi kehutanan. Di dalam aspek koeksistensi, Pemerintah Indonesia dan kelompok pemerhati gajah yang tergabung dalam FKGI telah menetapkan visi bersama untuk koeksistensi gajah – manusia selama 10 tahun sampai 2030. Dari visi ini, pembelajaran-pembelajaran dan hasil kegiatan yang suskes dalam membangun nilai-nilai koeksistensi ini dapat menjadi acuan atau pegangan bagi para stakeholder yang diharapkan memberikan dampak bagi gajah dan masyarakat secara lebih positif.

[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Megalit_Besemah

[2] Kompas.com.2009. Di Pasemah, Batu Gajah “Kutukan” Si Pahit Lidah. https://tekno.kompas.com/read/2009 /03/10/13182222/~Sains~Arkeologi?page=all.

[3] Kumparan. 2019. Berdamai di Rimba Gajah di rimba Sumatera. https://kumparan.com/kumparannews/berdamai-dengan-gajah-di-rimba-sumatera-1rFPT5XL2Ow

[4] Suhandri, Nur Anam, Sukmantoro W, Suhendra D, Charles J. 2014. 2014 – 2018 WWF Indonesia Sumatra Strategic Plan. WWF Indonesia

[5] https://foodsecurityindex.eiu.com/Country/Details#Indonesia

[6] Tempo.co. 2021.

[7] Rum IA, Komarfuzaman.2020. Konversi lahan hutan: Jawaban bijak untuk ketahanan pangan?. http://ceds.fe.unpad.ac.id/publications/analisis-ceds/325-alih-fungsi-lahan-hutan-jawaban-yang-bijak-untuk-ketahanan-pangan.html

[8] Wulandari D. 2021. OKI Siapkan 59.118 Hektare Lahan Sawah untuk Food Estate. https://sumatra.bisnis.com/ read/20210602/534/1400616/oki-siapkan-59118-hektare-lahan-sawah-untuk-food-estate.

[9] Rianti A, Garsetiasih R. 2017. Persepsi masyarakat terhadap gangguan Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di Kabupaten Komering Ilir. Jurnal Penelitian SOsial dan Ekonomi Kehutanan 14(2):83-99.

[10] Wibawa SW. 2017. Peringkat Kekayaan Ekologis Dunia Dirilis, di Mana Indonesia?https://sains.kompas.com/read/2017/ 05/08/17370001/peringkat.kekayaan.ekologis.dunia.dirilis.di.mana.indonesia

[11] Sjafari I. 2015. Gajah dan manusia dalam sejarah: Bukan hanya meninggalkangading. https://www.kompasiana.com/jurnalgemini/gajah-dan-manusia-dalam-sejarah-bukan-hanya-meninggalkan-gading_55c9aeb35197739205988bda

[12] Nyhus JP, Sumianto, Tilson R. 2000. Crop-raiding elephants and conservation implications at Way Kambas National Park, Sumatra, Indonesia. Faculty Scholarship 47.

[13] Desai AA, Syamsuardi. 2009. Elephant status in Riau Province, Indonesia. WWFIndonesia technical report.

[14] Sukumar R. & C. Santiapillai. 1993. Asian elephant in Sumatra Population and Habitat Viability Analysis. Gajah 11: 60 – 63.