1,218 views
Istilah Perhutanan Sosial merupakan aplikasi dari konsep “forest for people” yang dicanangkan pertama kali dalam Kongres Kehutanan Sedunia VIII di Jakarta tahun 1978.
Konsep tersebut mengatakan bahwa masyarakat diberi akses untuk terlibat langsung dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Lalu pemikiran tersebut berkembang, dimana pada tahun 2000-an muncul program yang disebut “Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM)” dan dilaksanakan oleh Pemerintah ataupun Badan Usama Milik Negara (BUMN). Kemudian pada tahun 2014, diterbitkan Permenhut 88 tahun 2014 tentang Hutan Kemasyarakatakan (HKm) dan disempurnakan kembali menjadi Permen LHK 83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Skema tersebut memudahkan proses pengusulan Hutan Desa, HKm, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan oleh masyarakat.
Pada tahun 2011 TFCA-Sumatera mulai mendorong skema PHBM lewat mitranya KKI-WARSI dengan skema Hutan Nagari/Desa di Jambi dan Sumatera Barat. Tahun 2012 mitra Akar Network mendorong 2 Hutan Adat untuk dimasukkan dalam skema Perhutanan Sosial. Tahun 2013 mendukung program Hutan Kemasyarakatan (HKm) KORUT. Tahun 2014 mendorong program HKm Yayasan Caritas. Tahun 2015 mendorong HKm PETRA dan PETAI.
Hingga dengan tahun 2019, TFCA-Sumatera telah mendorong izin perhutanan sosial seluas 66.884 ha dari kontribusi 6 mitra di seluruh Sumatera. Jika dikonversi ke dalam capaian nasional, maka TFCA-Sumatera dan mitra-mitranya berkontribusi sebesar 2,5 % (Statistik Perhutanan Sosial, Agustus 2019).
Perhutanan Sosial yang telah didorong TFCA-Sumatera terdiri dari 46 jenis Persos yang meliputi 9 izin Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD)/Hutan Nagari seluar 19.907 ha, 35 izin IUPHKm seluas 46.249 ha, dan 2 izin Hutan Adat seluas 728 ha. Proses mendorong 46 izin Persos tersebut telah melibatkan 73 jenis kebijakan mulai dari SK Kepala Desa sampai dengan SK Menteri LHK yang diupayakan oleh para mitra.
Perhutanan Sosial TFCA-Sumatera tersebar ke dalam 4 provinsi dan 7 kabupaten yaitu Pakpak Barat, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan – Sumatera Utara, Kerinci, Bungo – Jambi, Solok Selatan – Sumatera Barat, Tanggamus – Lampung; yang termasuk dalam 4 Bentang Alam (TN Batang Toru Batang Gadis, Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, dan DAS Tobat Barat).
Masyarakat yang terdampak baik langsung maupun tak langsung adalah 28.508 Kepala Keluarga (KK) dengan membentuk atau mendorong pembentukan lembaga Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) sebanyak 46 gapoktan. Serta membangun 12 koperasi. Mayoritas komiditi yang dikembangkan oleh masyarakat adalah kopi, pala, jernang, kayu manis, karet, durian, petai, dan rotan. Kopi menjadi primadona komiditi untuk masyarakat dampingan seperti kopi Robusta Tanggamus, Kopi Arabika Kerinci di Sungai Penuh, dan Kopi Sopirok di Tapanuli Utara.
Melalui skema perhutanan sosial ini, telah menumbuhkan ekonomi mikro masyarakat. Misalnya di Tanggamus, penelitian KORUT tahun 2008 memperlihatkan bahwa pendapatan terendah masyarakat dari HHBK adalah Rp 1,1 juta tiap tahun tetapi setelah ada HKm, pendapatan terendahnya menjadi Rp 4,1 juta tiap musim panen.
Selain itu, melalui komoditas-komoditas unggulan tersebut, masyarakat juga mendapatkan bantuan sampai dengan Rp 5,65 Miliar diantaranya melalui Bank BRI Indonesia dengan skema Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE), Bank Indonesia, BLU Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (P2H), Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Kementerian Desa, dan lain-lain. Pinjaman digunakan sebagai modal masyarakat untuk mengelola lahannya.
Selain dampak yang berupa materi, ada pula dampak yang terkait dengan konservasi, misalnya pengelolaan hutan sebagai daerah tangkapan air dan sumber listrik masyarakat seperti di HKm Aek Rau Lestari di Tapanuli Utara. Sumberdaya air dari kawasan hutan tersebut mampu menggerakan turbin mikrohidro sebesar 10.000 watt dengan daya terbangkit hingga 30.000 watt. Masyarakat mendayagunakan air untuk memutarkan kincir turbin sehingga dapat menerangi 44 rumah di daerah.
Mereka dapat memanfaatkan sumberdaya listrik setelah berpuluh-puluh tahun desa mereka gelap tanpa penerangan. Selain turbin mikrohidro milik masyarakat Aek Mateo, HKm tersebut juga menjadi sumber air dan perlintasan sungai untuk Aek Into dan Aek Huccim. Keseluruhan aliran sungai ini akan bergabung menjadi satu DAS yakni Aek Raisan. Keberadaan sungai Aek Raisan sangat strategis karena aliran sungai ini menjadi suplai debit air untuk PLTA Aek Raisan I sebesar 20 MW, PLTA Aek Raisan II sebesar 20 MW hingga berkontribusi pada PLTA Sipan Sipahooras sebesar 220 MW.