3,727 views Sorgum dan Kedaulatan Pangan Nasional - KEHATI KEHATI

Sorgum dan Kedaulatan Pangan Nasional



  • Date:
    26 Mei 2020
  • Author:
    KEHATI

Jakarta- Pandemi Covid-19 telah membuka kelemahan pondasi pangan kita. Hal ini terlihat dengan rencana kebijakan pemerintah untuk menyiasati defisit stok beras, dengan membuka lahan sawah untuk ditanami padi seluas 200.000 ha di Kalimantan Tengah. Hal ini tak akan terjadi jika Indonesia memiliki strategi ketahanan pangan yang tepat, yaitu salah satunya melalui program keragaman pangan dan kearifan lokal. Hal ini sebagaimana disampaikan pada webinar peluncuran Buku Sorgum Benih Leluhur untuk Masa Depan yang diselenggarakan oleh Yayasan KEHATI dan Kepustakaan Populer Gramedia/KPG (22/5).

 

Membuka sesi diskusi, Direktur Program Yayasan KEHATI Rony Megawanto menyatakan, bahwa seragamnya sumber pangan masyarakat Indonesia memiliki risiko ketergantungan pangan pada komoditas tertentu yang sangat tinggi, yaitu beras. Padahal, Indonesia memiliki sumber pangan lokal yang sangat beragam, salah satunya yaitu sorgum.

 

Rony mengambil contoh nyata perubahan yang dialami masyarakat Dusun Likotuden, Desa Kawalelo, Flores Timur, Nusa  Tenggara Timur yang mulai mengembangkan sorgum pada 2014. Masyarakat yang sebelumnya dililit kemiskinan dan tergantung beras subsidi, kini berdaulat pangan dengan sorgum dan menolak bantuan beras dari pemerintah. Sebelumnya, 63 dari 158 keluarga di desa ini digolongkan miskin dan mendapat beras subsidi 10 kilogram per keluarga per bulan.

 

Adalah sosok Maria Loretha dan suaminya Jeremias D Letor sejak sepuluh tahun lalu di Pulau Adonara, Flores Timur yang sangat berjasa dalam pengembangan varietas sorgum. Selain di Pulau Adonara, tanaman sorgum telah dikembangkan sekitar 200 ha di wilayah di Pulau Flores, Pulau Solor, hingga Pulau Lembata.

 

“Sorgum adalah solusi sumber pangan di Pulau Flores NTT. Sorgum adalah tanaman multi fungsi dengan kemampuan adaptasi dan budidaya yang cukup tinggi di lahan kritis. Selain itu, manfaatnya yang cukup tinggi membuat sorgum memiliki prospek yang cukup tinggi, baik di pasar domestik maupun internasional. Sehingga, menanam sorgum dapat menciptakan lapangan pekerjaan dan mencegah buru migran,” jelasnya Maria Loretha.

 

Pada kesempatan yang sama, Wartawan Harian Kompas Ahmad Arif yang turut menjadi pembicara pada sesi webinar ini menambahkan, bahwa jejak- jejak kearifan lokal masyarakat kita dalam mengelola pangan itu masih bisa dijumpai pada masyarakat-masyarakat adat di Nusantara, salah satunya masyarakat Boti di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Dengan mempraktikkan budidaya beragam jenis pangan lokal seperti jewawut, sorgum, jagung lokal, selain padi lokal, masyarakat Boti bisa berdaulat pangan. Mereka dengan tegas menolak setiap bantuan raskin atau yang kini dinamakan rastra. Tak hanya memenuhi kuantitas pangan, mereka juga terbukti bisa memenuhi kualitas pangan. “Tak ada kasus gizi buruk ataupun anak-anak stunting di wilayah adat ini,” jelas Arif.

 

Seluruh pembicara sepakat, bahwa untuk berdaulat pangan, Indonesia harus memanfaatkan keanekaragaman sumber pangan lokal yang dimilikinya. Pembina Yayasan KEHATI Emil Salim mengatakan bahwa kebijakan yang ada selama ini harus dirombak. Keanekaragaman hayati yang dimiliki oleh Indonesia harus mendukung keanekaragaman pangan Indonesia.

 

Terkait budidaya sorgum, Emil mengatakan peranan yang tinggi berada di tangan pemerintah daerah. Bupati harus memberikan informasi sejelas-jelasnya kepada masyarakat sumber pangan yang cocok untuk ditanam di daerahnya. Senada dengan Emil, Maria Loretha menganggap terkait pengembangan sumber pangan lokal, dukungan pemda lebih diperlukan, sehingga tidak perlu mengandalkan pemerintah pusat.

 

Pada sesi acara, Emil Salim juga mengungkapkan pemikirannya terkait masalah ketahanan pangan di tengah pandemi Covid 19 ini. “Masyarakat Indonesia akan memiliki imunitas yang cukup dalam menghadapi masalah Covid 19 jika memiliki kecukupan pangan. Pun dengan masalah pengangguran. Oleh karena itu, Emil menyarankan agar pemerintah mau membuka lapangan kerja di bidang pangan, sehingga secara bersamaan, permasalahan kecukupan pangan, dan pengangguran dapat diatasi,” tutup Emil.

 

Buku Sorgum Benih Leluhur untuk Masa Depan

 

Sagu di Nusantara memiliki beragam nama.  Di Banten dan Jawa Tengah sagu disebut Ambalung dan Kersula, sedang orang Melayu di Sumatera menyebutnya rembulung, tembulu, bolu atau toan, dan orang Kalimantan menyebutnya rambia atau rumbia. Luasan sagu di Indonesia saat ini 5,2 juta ha, atau 60 persen cadangan sagu global, dimana 4,7 juta ha terdapat di Papua dan 0,5 juta ha di Papua Barat.

 

Sorgum (Sorghum bicolor) sendiri  berasal dari kawasan subtropis di Afrika (Wet dan Huckabay, 1996; Poehlman and Sleper, 2006). Domestikasi awal di perbatasan Mesir dan Sudan pada sekitar 5.000–8.000 tahun yang lalu (Mann et al., 1983). Memiliki karakter yang tahan dengan iklim panas dan kering, India dapat  memanfaatkan sorgum sebagai pengganti beras, dan mengatasi permasalahan kelaparan, tekanan air kronis serta meningkatkan nutrisi (Frankel Davis, et al, Science Advance, 2018). Selain itu, sorgum memiliki keragaman pemanfaatan serta kandungan nutrisi yang baik.

 

Jejak sorgum sendiri di nusantara dapat terlihat dengan terlihatya di relief Candi Borobudur. Georg Eberhard Rumphius yang tinggal dan meneliti keragaman hayati di Ambon sejak 1654  juga telah menuliskan tentang keberadaan sorgum.  Thomas Stamford Raffles dalam History of Java menyebutkan bahwa masyarakat Jawa  tidak sepenuhnya bergantung pada beras dengan cara membudidayakan berbagai tanaman penyangga lain seperti sorgum, jagung, hingga jawawut (panggilan sorgum di Jawa).

 

Buku Mustika Rasa: Resep Masakan Warisan Sukarno yang terbit pada tahun 1967 menyebutkan bahwa tjantel (sorgum) merupakan salah satu makanan utama di daerah Yogyakarta, terutama di kulon Progo. Biji cantel dipanen dari pohon yang sangat tahan kekeringan. Jika jagung membutuhkan air hujan untuk tumbuh, cantel cukup dengan air yang ada di dalam tanah saja. Seperti jagung, ia hanya memerlukan waktu 3 bulan saja untuk menghasilkan buah yang tua.

 

Untuk pengembangan  sorgum di Flores, beberapa alasannya yaitu, pertama, sorgum cocok secara agroklimatologis dengan daerah ini sehingga bisa memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan tanaman pangan lain. Kedua, sorgum bisa ditanam di lahan marjinal dan tidak membutuhkan input pertanian tinggi sehingga bisa menjadi peluang bagi ekonomi petani. Ketiga, sorgum memiliki kaitan dengan budaya lokal, Keempat, sorgum menjadi sumber pangan lokal yang sehat.

 

Buku ini juga memuat pemikiran Presiden RI pertama, Soekarno tentang pentingnya keberagaman pangan yang menyatakan bahwa “pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa.” Pernyataan ini disampaikan Soekarno saat peletakan batu pertama gedung Fakultas Pertanian Universitas Indonesia, yang kini menjadi Institut Pertanian Bogor, pada 27 April 1952. Saat itu, dia dilanda kegelisahan karena melihat ketergantungan pangan dari luar. “…kenapa kita harus membuang devisen 120 juta sampai 150 juta dolar tiap tahun untuk membeli beras dari luar negeri? Kalau 150 juta dolar kita pergunakan untuk pembangunan, alangkah baiknya hal itu,” sebut Soekarno.