1,811 views Perubahan Iklim dan Gelombang Elektrifikasi Dunia Kedua - KEHATI KEHATI

Perubahan Iklim dan Gelombang Elektrifikasi Dunia Kedua



  • Date:
    20 Mar 2021
  • Author:
    KEHATI

Guru besar Argo Dahono dari Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB, dalam sebuah tulisan singkat menyampaikan keresahannya tentang kurangnya minat mahasiswa terhadap ilmu ketenagalistrikan. Kebanyakan mahasiswa STEI ITB memilih program studi terkait teknologi informasi, khususnya Teknik Informatika.

 

Sebetulnya ini bukan fenomena baru. Lebih seperempat abad yang lalu ketika saya menjadi mahasiswa ITB, program studi Teknik Tenaga Listrik (biasa dikenal dengan sebutan “arus kuat”) juga tidak terlalu populer. Pada saat itu mahasiswa berbondong-bondong memilih program studi Teknik Telekomunikasi, karena industri telekomunikasi memang tumbuh sangat pesat.

 

Pilihan mahasiswa STEI ITB untuk  memilih program studi terkait teknologi informasi tentu sangat dipahami dan bahkan perlu didukung, karena teknologi informasi akan terus menjadi salah satu mesin utama dalam mendorong pertumbuhan dan produktivitas ekonomi. Namun, apakah artinya ini dengan menggeser prioritas ketenagalistrikan?

 

Guru besar Pekik Argo Dahono mengingatkan pertumbuhan populasi dan ekonomi Indonesia akan membutuhkan tenaga listrik yang terus meningkat.  Namun, dalam pandangan saya sebagai praktisi lingkungan hidup, ada faktor lain yang akan lebih kritikal memicu ledakan investasi dan pertumbuhan industri ketenagalistrikan, yaitu: perubahan iklim.

 

Berbagai bencana perubahan iklim, yang disebabkan oleh pemanasan global, terus meningkat belakangan ini. Pemanasan bumi dipicu oleh semakin bertumpuknya gas rumah kaca, terutama CO2, di atmosfer. Gas rumah kaca yang semakin tebal di “atap” bumi, menyebabkan semakin banyak panas matahari terperangkap, dan menjadikan bumi semakin pengap dan panas.

 

Dari mana sumber gas rumah kaca tersebut? Sebagian besar, sekitar tujuh puluh persen, berasal dari penggunaan energi yang berbasis fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas. Emisi gas rumah kaca lainnya berasal dari deforestasi, pertanian dan peternakan, proses industri, sampah, dan lain-lain.

 

Ilmuwan dan pemimpin dunia telah sepakat bahwa pemanasan global harus dihentikan segera. Jika tidak, dunia akan menghadapi konsekuensi bencana iklim, ekologi, sosial, dan ekonomi yang sangat berat. Dalam konferensi mengenai perubahan iklim di Paris tahun 2015, para pemimpin dunia sepakat untuk menahan laju kenaikan suhu planet bumi. Agar kenaikannya tidak melebihi 2C, atau jika memungkinkan 1,5C, dibandingkan awal abad 20.

 

Saat ini suhu bumi telah naik sekitar 1C, jadi kita hanya punya “kuota” 0,5C-1C lagi. Karena kenaikan suhu berasal dari emisi gas rumah kaca, kita juga punya limit seberapa besar gas rumah kaca yang bisa kita lepaskan ke angkasa. Mengingat sebagian besar emisi gas rumah kaca ini berasal dari penggunaan energi berbasis fosil, artinya kita juga punya batas kuota berapa banyak lagi batu bara, minyak bumi, dan gas yang dapat kita pakai dalam tahun-tahun mendatang.

 

Idealnya, dunia harus mencapai net zero, yaitu tidak ada lagi tambahan emisi gas rumah kaca, pada tahun 2050. Dalam waktu kurang dari 30 tahun, kita harus meniadakan atau mengurangi secara signifikan, penggunaan energi berbasis fosil tadi. Kunci dari semua ini adalah listrik.

 

Pembangkit tenaga listrik dunia saat ini masih didominasi oleh bahan bakar fosil, terutama batu bara. Batu bara ini merupakan sumber energi yang paling kotor di antara bahan bakar fosil lainnya. Pembangkit listrik di seluruh dunia harus bertransformasi secara agresif, dengan mengganti batu bara, minyak, dan gas, dengan sumber energi bersih terbarukan yang tidak menghasilkan gas rumah kaca.

 

Transformasi ini telah mulai berlangsung, terutama di negara-negara barat. Sebagian besar sumber pembangkitan tenaga listrik baru di Eropa dan AS berbasis angin dan surya. Sementara PLTU, yang berbahan bakar batu bara, mulai dilengserkan satu persatu.

 

Untuk menyelamatkan bumi dari bencana iklim, dalam tahun-tahun mendatang dunia harus lebih agresif mentransformasikan sumber energi listrik dari batu bara dan bahan bakar fosil lainnya menuju energi bersih yang terbarukan. Transformasi ini akan membutuhkan investasi besar, membutuhkan keahlian baru, membutuhkan sumber daya manusia termasuk di bidang ketenagalistrikan.

 

Lalu, apakah kita berhenti di sini? Tidak. Perlu diingat bahwa listrik bukanlah satu-satunya sumber energi kita, dan hanya mencakup kurang dari sepertiga sumber energi yang kita gunakan sekarang. Kita juga mengkonsumsi energi dalam jumlah yang sangat besar untuk transportasi. Penggunaan mobil, truk, kapal, pesawat udara, berkontribusi hampir sepertiga dari total konsumsi energi dunia.

 

Saat ini, hampir semua sumber energi sektor transportasi secara langsung menggunakan bahan bakar fosil, seperti bensin atau diesel. Oleh karena itu, dalam rangka menuju net zero, sektor transportasi pun perlu bertransformasi seperti sektor pembangkitan tenaga listrik. Untuk mengganti sumber energi fosil dengan sumber energi bersih dan terbarukan, sektor transportasi membutuhkan media listrik.

 

Kendaraan dengan motor bakar yang menggunakan sumber energi bahan bakar fosil, perlu dirubah menjadi kendaraan dengan baterai yang menggunakan tenaga listrik. Kendaraan besar seperti pesawat atau truk yang membutuhkan energi sangat besar, kemungkinan lebih praktis menggunakan hidrogen daripada baterai.  Tentu, hidrogen yang “hijau”, yang diproduksi melalui proses elektrolisis dengan sumber energi listrik bersih dan terbarukan.

 

Saat ini ada sekitar 1,4 miliar kendaraan bermotor di seluruh dunia, dan diperkirakan masih akan tumbuh, yang nantinya harus bertransformasi menjadi kendaraan listrik. SPBU di jalanan akan digantikan oleh charging station, yang disuplai oleh pembangkit listrik.

 

Kita tidak hanya akan melihat kesibukan dunia mentransformasikan pembangkit listrik berbasis batu bara dan bahan bakar fosil lainnya dengan sumber energi bersih dan terbarukan, tetapi dunia juga perlu menambah kapasitas pembangkitan listrik.

 

Gelombang elektrifikasi dunia yang dimulai pada awal abad 20 berfokus untuk rumah tangga dan industri. Gelombang elektrifikasi kedua pada abad 21 akan dimulai segera untuk “menyalakan” miliaran alat transportasi di seluruh dunia.

 

Pertanyaannya, tentu, seberapa siap kita menyongsong ini semua, termasuk dengan kesiapan sumber daya manusia. Jika tidak, kita barangkali hanya akan menjadi penonton, atau berisiko menjadi tempat pembuangan sampah energi kotor, listrik kotor, atau kendaraan kotor dunia.

 

Artikel ini telah tayang di kolom.tempo.co