Pariwisata Berkelanjutan: Semoga Bukan Sekedar Slogan
-
Date:
27 Sep 2021 -
Author:
KEHATI
Ditulis Oleh:
Ary S.Suhandi
Pendiri dan Direktur Indonesia Ecotourism Network (INDECON)
Mendiskusikan pariwisata selalu saja menarik untuk diikuti, gimana tidak, karena sektor ini bukan saja mampu menyediakan lapangan pekerjaan dan peningkatan pendapatan para pelakunya, bahkan mampu mendatangkan devisa bagi sebuah negara. Maka tidak heran sektor ini sering dimasukkan sebagai salah satu sektor unggulan oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Badan Dunia Bidang Pariwisata/United Nation World Tourism Organization (UNWTO) menyatakan bahwa pertumbuhan wisatawan global mencapai 4% pada tahun 2019, atau sekitar 1,5 miliar orang melakukan perjalanan. Walaupun tetap kuat di tahun 2019, namun pertumbuhan ini sebenarnya menurun dari pertumbuhan pada tahun 2017 (+6%) dan tahun 2018 (+6%). Secara umum pertumbuhan pariwisata global di tahun 2019 memperlihatkan peningkatan di seluruh dunia, Kawasan Timur Tengah (+ 8%) memimpin pertumbuhan, diikuti oleh Asia dan Pasifik (+ 5%). Pertumbuhan kedatangan wisatawan internasional di Eropa dan Afrika (keduanya + 4%), sedangkan Amerika mengalami pertumbuhan sebesar 2%. (https://www.unwto.org/barometer);
Namun, fakta memperlihatkan hal yang berbeda sama sekali untuk tahun 2020, pada Februari 2020 hingga saat tulisan ini dibuat, pariwisata global runtuh sebagai dampak dari pandemi Covid-19. Pariwisata global menurun hingga 73% pada tahun 2020 dan pada semester 1 tahun 2021 (Januari-Mei 2021) menurun hingga 85% jika dibandingkan dengan tahun 2019 sebelum Covid-19. Sementara itu di kawasan Asia dan Pacific di tahun 2020 menurun hingga 84% dan dari Januari-Mei 2021 tercatat mengalami penurunan paling tinggi yaitu sebesar 95% dibandingkan tahun 2019. Di Indonesia pada tahun 2020, menurun hingga 78%, dan diperkirakan lebih pada semester satu tahun 2021. Hal ini memberi dampak pengurangan pendapatan pada sekitar 32 juta orang yang terlibat dalam pariwisata dan lebih dari 1 juta orang kehilangan pekerjaan.
Kebangkitan sektor pariwisata sangat tergantung pada percepatan vaksinasi dari setiap negara, kolaborasi banyak pihak serta inovasi dan kreativitas. Vaksin akan menjadi prasyarat utama bagi orang yang ingin berwisata, disamping syarat lain berupa tes kesehatan bebas Covid-19. Restriksi perjalanan diprediksi akan menjadi tantangan tersendiri untuk pemulihan sektor pariwisata, karena berdampak pada ketidak nyamanan dan biaya yang tinggi bagi wisatawan. Namun, dibalik itu Covid-19, telah menyadarkan banyak pihak akan pentingnya penerapan konsep pariwisata berkelanjutan, pentingnya menerapkan kuota selain untuk memberikan ruang yang nyaman untuk berwisata, juga meminimalkan dampak negatif terhadap sumber daya alam; pentingnya penerapan standar pelayanan, terutama kebersihan dan kesehatan. Selain itu, Covid-19 juga menyadarkan semua pelaku pariwisata akan pentingnya menjaga ketahanan destinasi, pentingnya integrasi pariwisata dengan sektor lain. Menyadarkan para pelaku pariwisata untuk tidak hanya fokus pada aspek ekonomi saja, melainkan juga penting mengelola dampak terhadap lingkungan dan sosial budaya. Covid-19 juga menyadarkan kita akan pentingnya kolaborasi dengan berbagai pihak di dalam mengelola pariwisata.
Apa yang di uraikan di atas, sebenarnya merupakan hal hal yang memang sewajarnya dilakukan para pelaku pariwisata, mengedepankan standar dalam pelayanan dan fasilitas pariwisata agar kegiatan berwisata dapat dilakukan dengan nyaman dan aman. Pariwisata memiliki dorongan kuat yang sering melenakan pengelolanya, karena pendapatan yang cepat meningkat terkadang tanpa sadar mendorong pengelola terus menerima pengunjung tanpa batas, yang pada akhirnya berdampak pada ketidak nyamanan dan juga menurunnya kualitas daya tarik karena kerusakan. Pengelola biasanya sulit berkata cukup dan sulit melakukan pembatasan, lebih berfikir keuntungan jangka pendek, dan kurang membuat strategi untuk jangka panjang. Fenomena ini sebenarnya telah terjadi sebelum ada pandemi Covid-19, terjadinya penumpukan wisatawan pada satu waktu di daya tarik. Fenomena ini dikenal dengan Overtourism, yang oleh para ahli dianalogikan sebagai iritasi dalam pengelolaan dan perlu segera untuk di atasi. Masalah yang ditimbulkan tidak kecil, bukan saja masalah lingkungan, tetapi juga sosial, seperti bersaing mendapatkan tempat di transportasi umum antara wisatawan dan anak sekolah, pekerja harian atau kebisingan karena kelompok wisatawan menikmati liburannya hingga tengah malam serta kemacetan. Kota Barcelona, Fenice dan juga kampung di tengah kota Seoul, juga banyak daya tarik di Indonesia telah berkembang dengan kendali yang sulit dan selalu menjadi bahan diskusi hangat untuk mencari solusinya.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa pariwisata seperti dua mata pedang yang tajam, satu sisi membuka peluang kerja yang besar, meningkatkan ekonomi daerah, pelaku dan masyarakat lokal, serta dapat menjadi magnet bagi sektor sektor lain untuk berkembang. Pariwisata juga dapat dimanfaatkan untuk berkontribusi pada upaya pelestarian alam maupun budaya. Namun hal itu jika pariwisata dikelola dengan baik dan benar. Jika tidak, maka pariwisata juga memiliki resiko menimbulkan dampak negatif baik pada lingkungan maupun sosial budaya. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas dan kesadaran masyarakat menjadi krusial didahulukan. Hal ini menjadi salah satu tugas utama yang seharusnya di emban oleh Pemerintah, seperti yang telah dicanangkan dalam misi kabinet saat ini, yaitu pengembangan sumber daya manusia. Sebagus apapun alam yang dimiliki suatu destinasi atau semenarik apapun budaya yang dimiliki, jika manusia yang mengelolanya tidak bermental baik, maka lokasi wisata itu rentan untuk berkembang. Salah satu pilar utama pariwisata berkelanjutan adalah pengelolaan yang berkelanjutan, dimana pengelola dituntut untuk mendemostrasikan penerapan sistem kelola yang sesuai dengan indikator berkelanjutan, Dalam hal ini tentunya dibutuhkan kelembagaan yang kuat serta sistem kelola yang memastikan keterlibatan banyak pihak, pengelolaan dampak dari kegiatan serta distribusi manfaat dari pariwisata.
Di Indonesia saat ini sedang didorong oleh pemerintah Pusat dan Daerah pengembangan desa wisata. Pariwisata digadang gadang menjadi salah satu sektor potensial untuk meningkatkan pendapatan desa dan masyarakat desa. Hal ini didorong karena desa telah memiliki dana yang dikelola sendiri, kemudian didukung kebijakan yang mendorong badan usaha milik desa dapat mengelola peluang usaha dari keunggulan yang dimiliki desa. Hal ini tentunya sangat menggembirakan karena konsep pariwisata berbasis masyarakat dapat diterapkan. Namun demikian perlu diingat bahwa pengembangan pariwisata di desa, perlu mempertimbangkan faktor sosial budaya. Pariwisata harus dapat menjadi perekat keharmonisan masyarakat desa dan bukan sebaliknya. Diperlukan upaya untuk menyamakan cara pandang dan visi pengembangan pariwisata dari para pihak yang berkepentingan di desa, termasuk Pemerintah Daerah. Saat ini banyak terlihat pengembangan lebih berorientasi pada pembangunan fasilitas dan bisnis semata, akan tetapi kurang memperhatikan prinsip pariwisata berkelanjutan, untuk mengintegrasikan sektor lain yang ada di desa. Pembangunan fasilitas sebaiknya mengikuti kebutuhan dari kegiatan wisata yang akan dikembangkan. Wisatawan berkunjung ke desa ingin menikmati suasana perdesaan, beriteraksi dan mempelajari kehidupan keseharian di perdesaan. Desa yang bersih dan ramah akan menjadi pilihan.
Prinsip pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan perlu dibangun bersama masyarakat, sehingga para petani, peternak, pengrajin, seniman dan lainnya tetap fokus pada mata pencahariannya, pariwisata hadir untuk menciptakan nilai tambah, sebagai daya tarik wisata. Jika hal ini dikembangkan maka, secara alamiah peternak akan membersihkan kandangnya, karena akan dikunjungi wisatawan untuk memerah susu dari ternaknya, sementara untuk wisatawan mendapatkan pengetahuan baru tentang kehidupan desa. Disisi lain perencanaan pariwisata desa, sepertinya banyak terlupa, padahal ini merupakan pondasi penting dalam membangun pariwisata. Pengaturan ruang sesuai dengan kegiatan wisata yang akan dikembangkan sangat penting dilakukan. Menyusun kode etik atau aturan aturan untuk wisatawan yang berkunjung sangat penting dalam upaya mempertahankan keharmonisan masyarakat desa serta memelihara kearifan lokal yang dimiliki masyarakat desa. Kolaborasi pengelola desa wisata dengan kalangan akademisi dan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat, menjadi penting untuk dilakukan. Perkembangan terakhir dengan kemajuan teknologi informasi dan media sosial, menuntut seluruh pengelola pariwisata untuk bertransformasi memanfaatkan kemajuan teknologi digital. Pengelola daya tarik/desa wisata dapat mengembangkan sistem digital untuk reservasi, pembayaran, pemantauan dan juga interpretasi.
Paska Pandemi Covid-19, dikhawatirkan akan terjadi wisata balas dendam, dimana banyak para pelancong yang sudah rindu untuk berwisata. Hal ini telah terjadi di beberapa negara, sebut saja seperti di China. Hal ini tentunya perlu di antisipasi sehingga dampak negatif dari kunjungan pada lingkungan dan potensi meningkatnya penularan Covid-19 dapat dihindari. Jika kita sadar maka Covid-19, telah mengingatkan pada kita semua untuk menerapkan prinsip pariwisata berkelanjutan, dengan tetap memaksimalkan manfaat dari sektor pariwisata. Semoga “Pariwisata Berkelanjutan” bukan sekedar slogan para pihak yang berkepentingan, akan tetapi benar benar diterapkan untuk memastikan keberlanjutan destinasi/daya tarik dan desa wisata. Hal ini telah direspon oleh pihak Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/ Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif No.9 tahun 2021 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan serta program sertifikasi untuk Desa Wisata. Hal ini tentunya diapresiasi, walaupun program peningkatan kapasitas bagi para pelaku dan masyarakat lokal tentang pariwisata berkelanjutan harus terus dilaksanakan. Semoga.