Maskot dan Spesies Payung Indonesia: Melestarikan dan Memanfaatkan Berkelanjutan
-
Date:
05 Nov 2021 -
Author:
KEHATI
Ditulis oleh
Prof Jatna Supriatna Ph.D.
Guru Besar Biologi Konservasi
Dept Biologi, FMIPA, Universitas Indonesia, Depok 1642.
Setiap tanggal 5 November kita selalu memperingati Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional (HCPSN). Sampai tahun ini (2021) kita telah memperingatinya 27 kali. Tentu setiap tahun temanya berubah tetapi yang penting adalah tujuan yang ingin dicapainya, yaitu agar bangsa ini mengetahui, menghargai, mencintai, dan memanfaatkan puspa dan satwa nusantara kita. Dalam arti yang lebih sederhana adalah usaha untuk mengubah kesadaran dan kecintaan kita semua kepada tumbuhan atau puspa dan satwa atau hewan di seluruh nusantara. Usaha pemerintah ini harus dihargai karena diharapkan dapat mengubah pandangan kita mengenai carut marutnya pengelolaan puspa dan satwa nusantara. Kita juga harus secara objektif melihat keadaan puspa dan satwa kita saat ini, yang populasinya menurun drastis dari tahun ke tahun.
Keputusan Presiden RI Nomor 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional agar dapat meningkatkan rasa cinta dan kepedulian terhadap tumbuhan dan satwa nasional tiga satwa nasional Komodo (Varanus komodoensis), sebagai satwa nasional, Ikan Siluk Merah (Sclerophages formosus) sebagai satwa pesona dan Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) sebagai satwa langka. Tiga jenis bunga dinyatakan sebagai bunga Nasional, yaitu: Melati (Jasminum sambac), sebagai puspa bangsa, Anggrek bulan (Palaenopsis amabilis), sebagai puspa pesona; dan Padma Raksasa (Rafflesia arnoldi), sebagai puspa langka. Tahun 2020, HCPSN diberi tema “ Puspa dan Satwa Harapan untuk Ketahanan Pangan dan Kesehatan”. Sedangkan maskot puspa HCPSN tahun 2020 adalah kecombrang yang kaya akan manfaat, dan satwanya yaitu rusa timor (Rusa timorensis) sebagai pemenuhan sumber pangan protein hewani, yang hanya bisa didapatkan dari hasil penangkaran atau keturunan ke-2 (F2), bukan dari alam. Pada tahun 2021, saya belum mendengar tema dari perayaan HCPSN. Semoga tema yang dipilih bersama dengan keadaan lingkungan kita yang saat ini sedang prihatin. Penamaan puspa dan satwa tahun ini bertujuan agar pemerintah daerah dan pusat dapat memberikan perhatian terhadap kelestarian flora dan fauna, sehingga akan terlihat indah nan sejuk dengan kebun dan taman di tengah kota.
Apakah tahun ini 2021 tema akan sesuai dengan keadaan saat ini mengenai kerusakan yang parah flora dan fauna kita dan pandemi? Bocoran dari teman-teman mengindikasikan tema tidak jauh dari masalah flora dan fauna untuk pembangunan berkelanjutan. Tema ini sangat tepat untuk menggambarkan keadaan flora dan fauna saat ini, dalam arti positif. Dalam arti negatif bahwa keadaan atau kondisi ekosistem yang sudah parah dan perlu dilestarikan karena akan mempengaruhi keberlanjutan umat manusia. Saya ingin menggambarkan secara gamblang mengenai flora dan fauna nusantara saat ini, terutama kritikan-kritikan dari pakar dan pemerhati lingkungan dalam dan luar negeri.
Kritikan pedas mengenai kegagalan kita dalam melestarikan keanekaragaman puspa dan satwa seringkali terdengar di setiap konvensi internasional, koran-koran dalam dan luar negeri, maupun tulisan-tulisan ilmiah di jurnal-jurnal nasional dan international. Kritikan tersebut seringkali bermanfaat agar kita tahu apa yang bermasalah dengan pelestarian sumber daya hayati kita, khususnya akibat deforestasi yang sangat tinggi hingga membahayakan kelangsungan spesies dan ekosistem di Indonesia. Dua puluh tahun lalu, Bank Dunia memprediksi hutan dataran rendah Sumatra akan punah tahun 2005 dan hutan Kalimantan punah di tahun 2010. Prediksi ini tidak begitu meleset karena memang hutan dataran rendah hanya tersisa di kawasan konservasi dan sedikit di daerah terpencil yang sulit dijangkau.
Hutan konservasi juga tidak luput dari jarahan karena hutan yang masih bagus hanya tersisa di hutan konservasi. UNESCO World Heritage Commision tahun 2011 telah memasukkan World Heritage Site (WHS) Hutan Tropis Sumatra (Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Kerinci Seblat, dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan) dalam kategori “endangered”. Hal ini terjadi disebabkan oleh meningkatnya perusakan hutan secara ilegal, pengalihan hutan untuk perkebunan, perburuan liar, dan pembuatan jalan di dalam taman nasional.
Respon terhadap kritikan tersebut bukan tidak ada, tetapi tampaknya tidak mempunyai dampak yang cukup kuat. Mungkin karena respon kita sangat reaktif dan defensif tanpa didasari oleh bukti ilmiah dan pandangan dari organisasi atau pakar independen. Buktinya, dalam pertemuan ilmiah masalah yang selalu muncul adalah masalah yang tidak terselesaikan sejak dulu mulai dari illegal wildlife trade, illegal poaching, overfishing yang mengakibatkan penurunan populasi nyata satwa langka dan terumbu karang. Bahkan sebagian sudah dalam kategori sangat genting atau critical endangered seperti harimau dan badak sumatra, badak dan kukang jawa, monyet yaki di Sulawesi Utara dan satwa lainnya di pulau-pulau Indonesia.
Sejak awal tahun 80an, kita telah mempunyai rencana yang sangat bagus untuk melakukan konservasi baik dengan bantuan ADB, World Bank, Uni Eropa, organisasi bilateral (USA, Inggris, Australia, Selandia Baru, Jepang) dan LSM internasional tetapi tampaknya rencana yang dibuat oleh pakar mancanegara dan Indonesia itu jarang menjadi acuan bagi pelaksanaan konservasi flora dan fauna. Sebenarnya strategi untuk memperbaiki konservasi di Indonesia sekaligus menangkal isu negatif sudah dimiliki Indonesia di dalam buku Rencana Strategi dan Aksi Keanekaragaman Hayati (Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan – IBSAP). Buku semacam ini merupakan buku acuan di setiap negara sesuai dengan amanat Convention of Biological Diversity (CBD), yang di Indonesia pembuatan buku tersebut didanai oleh Bappenas dan World Bank dan terakhir adalah IBSAP sampai tahun 2020.
Rencana tersebut merupakan sebuah revisi dari sebuah rencana aksi yang dibuat sbeberapa tahun sebelumnya, dimulai dari tahun 1993 dan setiap 5 tahun mengalami revisi. Buku IBSAP tersebut terdiri atas dua topik besar yaitu buku mengenai rencana aksi secara nasional dan sebuah buku lagi merupakan rencana aksi daerah. Apabila rencana aksi tersebut ditelusuri, maka diperlukan dana yang cukup besar, baik untuk penelitian yang mengarah kepada pemanfaatan maupun pelestariannya. Sayangnya, buku ini tidak banyak diacu karena proses sosialisasi dan diseminasinya yang kurang, dan memang dibuat lebih banyak pada tataran konsep bukan berupa program yang disiapkan dananya, sehingga mungkin tidak banyak diketahui oleh masyarakat luas. Akibatnya dana untuk kegiatan rencana aksi tidak pernah terwujud dan dana penelitian untuk penggalian dan pelestarian keanekaragaman hayati di Indonesia sampai saat ini sangat terbatas. Oleh karena itu kita harus membuat prioritas mana saja dari rencana aksi itu yang dapat diimplementasikan.
Mungkin juga keberadaan buku rencana aksi tidak tepat waktu, dimana pada waktu itu Indonesia sedang mengalami dekonsentrasi dan desentralisasi fiskal. Artinya banyak program beralih dari perencanaan pusat ke perencanaan daerah, sehingga tentu saja tanpa sosioalisasi yang luas, maka pemerintah daerah tidak akan mengacu buku IBSAP. Akibatnya keanekaragaman hayati tidak akan lagi dipandang sebagai aset tetapi menjadi beban. Harapan besar yang didambakan oleh pemangku kebijakan yang ikut membuat buku tersebut pupus, karena di buku tersebut dibuatkan prioritas-prioritas dalam melestarikan, meneliti, dan memanfaatkan sumber daya hayati.
Sejalan dengan peningkatan jumlah populasi penduduk Indonesia, peningkatan kebutuhan sumber daya alam ditandai dengan peningkatan kegiatan eksplotasi besar-besaran sejak tahun 1970-an. Kerusakan hutan, fragmentasi habitat, pemanfaatan spesies yang berlebihan, perburuan liar, dan invasi spesies asing menjadi penyebab kepunahan banyak jenis flora dan fauna di Indonesia. Deforestasi yang tinggi menyebabkan tingkat keterancaman biota kita meningkat setiap tahun. Jumlah biota terancam kita menjadi jumlah terbanyak di dunia. Indonesia menjadi urutan pertama jumlah mamalia terancam di dunia dengan 128 jenis di atas Cina dan India dan juga urutan pertama keterancaman jenis burung di dunia dengan 104 jenis di atas Brazil (103 jenis) (IUCN Redlist). Indonesia pun ditetapkan menjadi kawasan penting (hotspot) keanekaragaman hayati yang sedang terancam, yakni Paparan Sunda dan Wallacea, juga sebagian kawasan hutan tropis utama di Papua (Whittens dkk. 1999). Ancaman utama keberadaan flora dan fauna di Indonesia maupun dunia adalah kepunahan spesies. Suatu spesies dikatakan punah ketika tidak ada satu pun individu spesies itu yang masih hidup di dunia, seperti contohnya di Pulau Jawa, burung trulek jawa (Vanellus macropterus) pun dipercaya telah punah. Harimau bali (Panthera tigris balica) terakhir diketahui keberadaannya sekitar tahun 1950-an, dan telah digolongkan punah. Harimau Jawa (Panthera tigris sondaicus) pun dikatakan telah punah, terakhir terlihat pada tahun 1979.
Kini para ilmuwan menyadari bahwa kebanyakan ancaman terhadap flora dan fauna itu bersifat sinergis. Dalam arti efek negatif dari berbagai faktor yang berbeda misalnya kemiskinan, pembalakan hutan (logging), kebakaran, dan perburuan yang berlebihan (overhunting) menjadi kombinasi yang meningkatkan bahkan melipatgandakan kerusakan terhadap keanekaragaman hayati. Ancaman keanekaragaman hayati juga mengancam populasi manusia karena manusia bergantung pada lingkungan alami untuk bahan baku, makanan, obat-obatan, bahkan untuk air minum.
Ancaman tersebut dapat dihilangkan dengan memberikan kesadaran mengenai pentingnya peran dari flora dan fauna bagi kehidupan kita. Bayangkan saja, Indonesia hanya 1,3% dari luas dunia, tetapi di dalamnya terkandung 12% jenis mamalia, 7,3% jenis reptil dan amfibi, dan 17% jenis burung yang ada di dunia. Seiring dengan banyaknya informasi keanekaragaman hayati yang masuk, maka jumlah jenis tumbuhan, ikan, reptil, amfibi, dan avertebrata akan terus bertambah, begitu juga untuk jenis-jenis mamalia dan burung. Lengkaplah sudah puja-puji mengenai kelengkapan khazanah keanekaragaman hayati Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda sampai sekarang dengan adanya makalah mengenai pertelaan dan distribusi fauna dan flora Indonesia. Apalagi buku seri ekologi Indonesia sudah lengkap mulai dari Sumatra (1984), Sulawesi (1987) Jawa dan Bali (1996), Kalimantan (1996), Maluku dan Nusa Tenggara (2000) serta terakir Papua (2007). Selain itu juga ada seri buku mengenai berbagai macam keanekaragaman hayati diterbitkan oleh LIPI, pakar dalam dan luar negeri serta PROSEA, program keanekaragaman hayati untuk Asia Tenggara. Sehingga sebenarnya kita mempunyai data acuan yang sangat lengkap mengenai keanekaragaman hayati dan ekologi semua kepulauan di Indonesia.
Kelengkapan buku, strategi aksi dan dana yang ada di pemerintah sebenarnya cukup bagus untuk menyelamatkan flora dan fauna. Bahkan harus dipertimbangkan sebagai aset untuk pembangunan berkelanjutan. Bayangkan saja, kalau kita akan melihat gorilla gunung di negeri Ruwanda dan Uganda, maka kita harus merogoh kocek kita $150 per hari belum termasuk makan, penginapan dan perjalan ke Afrika. Apabila kita dapat menghargai orangutan kita, sepadan dengan gorilla gunung Afrika, maka seharusnya kita juga menerapkan prinsip yang sama. Sehingga wisata hidupan liar dapat berkembang dan menghasilakan dana cukup besar untuk dikembalikan sebagian dari dana yang dihasilkan ke dalam program pelestarian satwa tersebut selain pundi-pundi pemerintah daerah dan swasta kita juga dapat berkembang.
Solusi Pemanfaatan Lestari: Wisata Hidupan liar berkelanjutan
Tujuan mulianya adalah kita dapat melestarikan keanekaragaman hayati Indonesia sekaligus membantu pemerintah Indonesia mengembangkan wisata alam baik bagi pelancong dalam dan luar negeri. Diharapkan bahwa uang yang akan diperoleh dari hasil kunjungan wisata alam ini dapat melestarikan alam baik oleh masyarakat yang mendapat keuntungan dari amenitas ekonomi maupun bagi pemerintah pusat dan daerah. Nilai ekonomi kawasan konservasi dan seisinya yang dirilis oleh BBC, pada awal tahun 2015, adalah bahwa dunia mendapat keuntungan senilai $600 Milyar per tahun dari hasil investmentnya yang hanya bernilai $10 Milyar per tahun. Oleh karena itu bisnis konservasi khususnya wisata alam merupakan bisnis yang sangat besar yang sangat mengandalkan keindahan alam.
Tentu saja di Indonesia potensi ini sudah mulai banyak dibicarakan baik oleh pakar pariwisata maupun pakar konservasi alam. Sudah banyak diskusi mengenai kegiatan wisata alam di dunia dan juga di Indonesia dimana wisatawan yang datang menikmati keindahan, keunikan dan kemistikan mengenai alam Indonesia. Oleh karena itu dalam pengantar beberapa buku seri ini kami berkali-kali lebih memfokuskan kepada; pertama potensi hubungan wisata alam dan keanekaragaman hayati, kedua adalah dampak dari wisata alam terhadap keanekaragaman hayati, ketiga adalah perkembangan kawasan konservasi di Indonesia dalam hubungannya dengan wisata alam khususnya yang merupakan habitat hidupanliar.
Wisata hidupan liar (Wildlife Tourism) adalah wisata yang sangat besar dan populer sejak dulu. Wisata hidupan liar dapat memberikan kontribusi yang besar untuk konservasi keanekaragaman hayati. Pertama dapat menjadi sumber untuk konservasi keanekaragaman hayati dari penghasilan langsung dari wisatawan berupa pembayaran uang masuk kawasan, pajak, dan lainnya. Kedua, sebagai penghasilan alternatif bagi masyarakat sekitar kawasan pariwisata. Ketiga, memberikan suatu justifikasi bagi aktivis lingkungan untuk berusaha melestarikan keanekaragaman hayati Indonesia. Keempat, justifikasi bagi pemerintah pusat dan daerah untuk mengembangkan kawasan yang lestari dan sinambung. Kelima, menyediakan kegiatan berbasis ekonomi di kawasan konservasi bagi sektor swasta yang terlibat dalam konservasi keanekaragaman hayati. Oleh karena itu sering dikatakan wisata alam juga merupakan wujud pembangunan berkelanjutan dalam bentuk wisata di mana aspek lingkungan, sosial dan ekonomi mendapatkan perhatian yang proporsional
Salah satu bentuk pemanfaatan nilai konsumsi kawasan konservasi langsung adalah wisata alam. Wisata alam dapat berupa wisata hidupan liar, wisata petualangan, ataupun wisata olahraga di alam. Sementara wisata petualangan yang menitikberatkan pada aktivitas rekreasi dari wisatawan, wisata hidupanliar lebih menitikberatkan pada keuntungan konservasi dan masyarakat dari wilayah yang dikunjungi. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, daya tarik utama dari wisata alam khususnya satwa liar di beberapa negara berkembang adalah bahwa wisata alam dapat mensubstitusi keuntungan yang hilang dari perburuan dan pada saat yang bersamaan berkontribusi terhadap konservasi satwa. Perburuan dan perdagangan satwa tidaklah memberi manfaat secara berkelanjutan. Lain halnya dengan wisata alam. Dengan manajemen yang baik, bukan hanya populasi satwa yang terselamatkan, namun juga manfaat secara ekonomi yang didapat akan lebih berupa pengembangan kawasan konservasi berkelanjutan.
Manfaat lainnya adalah terjadinya pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia sehingga meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat di wilayah wisata, selain peningkatan mutu pendidikan dan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan, pemeliharaan terhadap identitas budaya, serta mengonservasi satwa dan lingkungan alami. Bila dikelola dengan baik, wisata alam dapat merupakan sumber pemasukan bagi pemerintah lokal dan negara. Negara Costa Rica mempunyai penghasilan wisata alam liarnya hampir 10 % dari pemasukan negara. Rencana pemerintah tahun 2014-2019, diharapkan peningkatan devisa dari pariwisata empat kali lipat, yaitu dari 100 menjadi 400 trilyun rupiah. Peningkatan devisa ini sangat berat tetapi bila didukung oleh meningkatnya kunjungan wisatawan ke beberapa taman nasional dan melihat spesies-spesies endemik dan unik Indonesia, seyogyanya tujuan itu dapat tercapai.