Hari Bumi dan Pembangunan Berkelanjutan
-
Date:
21 Apr 2022 -
Author:
KEHATI
Oleh
Dosen Magister Biologi, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Nasional, Pembina Yayasan KEHATI
Fachruddin Mangunjaya
Pada bulan Maret 2019, saya mengunjungi University of Wisconsin (UW), dan berkesempatan mengunjugi Nelson Institute, sebuah lembaga universitas yang memberikan perhatian pada tantangan lingkungan hidup dan juga mendidik mahasiswa pascasarjana S2 dan S3. Gaylord Nelson Institute for Environmental Studies (or Nelson Institute) di University of Wisconsin–Madison diberi nama untuk menghormati kecintaan Senator AS itu kepada alam.
Di sebuah ruang dosen, pimpinan program lingkungan hidup UW memperkenalkan kepada saya sebuah meja lebar berwarna coklat tua di sudut ruangnnya, dan sebuah foto Gaylord Nelson. Meja tersebut adalah kenangan, bahwa Nelson, adalah seorang birokrat yang mempunyai perhatian terhadap lingkungan hidup.
Gaylord Nelson adalah pencetus peringatan hari bumi (earth day) yang mencetuskan gerakan aksi turun ke jalan pada tahun 70an untuk memberikan perhatian pada pentingnya melestarikan lingkungan hidup. Sebuah legacy ditorehkannya, dengan membuat membuat gerakan hari bumi yang diperingati sepanjang tahun.
Bumi kita telah banyak mengalami perubahan, karena cara manusia dalam memanfaatnya tidak mempertimbangkan keberlanjutan. Telah banyak pelajaran tentang kealpaan manusia mengelola alam yang berdampak buruk pada kehidupan. Keterlanjuran degradasi lingkungan termasuk rusaknya ekosistem dan biodiversitas harus segera dihentikan dengan memahami dan menggunakan tools pemahaman kita atas sifat-sifat alam.
Alam telah lama menyediakan kebaikan untuk manusia. Sejak tahun 1970, pertanian kita sangat bergantung pada alam yang sehat. Alhasil, produksi pertanian, panen ikan, produksi bio-energi serta sumber daya material terus meningkat. Daya dukung lingkungan sangat memadai, dan ekosistem terjaga seimbang. Adapun, Indonesia sejak tahun 1970an mengambil kebijakan memanen hutan alam dan melakukan penebangan hutan alam sebagai sumber pendapatan negara yang terus berlanjut hingga masa 1990an. Dampaknya, degradasi lahan hebat melanda ekosistem Indonesia akibat illegal logging pada awal setelah era reformasi tahun 1998 hingga 2000an.
Masa Indonesia membangun dan pembukaan lahan sesungguhnya juga diikuti dengan intensifikasi pertanian. Laju kerusakan lahan yang sangat masif ditambah dengan gagalnya upaya reboisasasi mengembalikan hutan sebagaimana adanya, dan peralihan tutupan hutan menjadi pemanfaatan lain.
Akibatnya, kayu alam semakin pupus, bahkan, beberapa spesies kayu yang tadinya melimpah, seperti meranti dan ramin, kini tergolong tumbuhan langka. Indonesia bersama negara-negara berkembang dan maju, merupakan kontributor dalam membawa krisis dan perubahan lahan dan tutupan hutan. Jutaan meter kubik kayu diekspor ke negara-negara maju utuk memenuhi keperluan pembangunan mereka, terutama Jepang, Amerika Serikat dan Eropa.
Maka, pembukaan lahan untuk pemenuhan kebutuhan pangan menyebabkan nilai produksi tanaman pertanian menjadi $2,6 triliun pada tahun 2016. Meningkat dibandingkan dengan tahun 1970. Begitu pula pemungutan kayu alam telah meningkat 45 persen, mencapai sekitar 4 miliar meter kubik pada tahun 2017 (IPBES 2022).
Peningkatan produksi juga sejalan dengan penemuan pupuk dan bahan-bahan kimia pembasmi hama seperti pestisida, yang berdampak pada menurunnya populasi keanekaragaman serangga penyerbuk. Menurut catatan IPBES, saat ini, degradasi lahan telah mengurangi produktivitas di 23 persen wilayah terestrial global, dimana 235-577 miliar dollar hasil panen global tahunan terancam akibat hilangnya serangga penyerbuk.
Dilain pihak, upaya untuk memperoleh bahan-bahan materi, seperti tambang dan mineral seringkali dlakukan secara tidak berkelanjutan. Hilangnya habitat pesisir dan terumbu karang mengurangi area perlindungan pesisir, yang meningkatkan risiko banjir dan angin topan terhadap kehidupan dan harta benda bagi 100-300 juta orang yang tinggal di dalam zona banjir.
Melihat akselerasi kerusakan beberapa tahun terakhir, diperkirakan laju degradasi akan berjalan seiring dengan pertumbuhan penduduk. Namun, upaya itu pun dapat ditentukan juga oleh kemauan pengambil kebijakan (pemerintah) dan pemangku kepentingan dalam menahan diri untuk menahan laju kerusakan. Salah satu faktor penting dalam menahan upaya kerusakan yang masif adalah melakukan studi ilmiah tentang jasa ekosistem dan membandingkannya apabila ada upaya berkelanjutan dalam membangun sebuah kawasan. Misal, upaya untuk mempertahankan lahan produktif ekosistem mangrove, dapat dihitung secara keseluruhan secara ekonomi atas optimasi hasil jasa ekosistem yang dilakukan hutan mangrove, seperti pemijahan udang, ikan, dan penangkal abrasi. Karena itu dapat dilihat dari opsi yang lebih bekelanjutan, dibanding misalnya membuat kawasan tersebut menjadi tambak yang tidak berusia lama, atau menggunduli kawasan menjadi pelabuhan atau permukiman.
Pekerjaan mempertahankan keberlanjutan, adalah kompleks dan tidak mudah. Namun, upaya itu semestinya dapat dilakukan dengan menanamkan kepedulian dan upaya sinergi dan kerja sama. Beberapa studi kasus dan implementasi tentang upaya melakukan tawar menawar nilai ekosistem dan biodiversitas telah dilakukan di berbagai negara, misalnya melalui the economics of ecosystems and biodiversity (http://teebweb.org/publications/teeb-country-studies/).
Maka, beberapa kunci berkelanjutan adalah saling terkait, antara lain: 1. Sejauh mana kebijakan dan regulasi pemerintah dalam mengelola dan mengimplementasi pembangunan berkelanjutan, 2. Bagaimana kerja sama pemerintah, pebisnis, masyarakat, dan pihak lainnya dalam aksi pembangunan berkelanjutan. 3. Pelibatan peran pelaku bisnis dengan lembaga non pemerintah atau akademis dalam upaya pembangunan berkelanjutan. Termasuk bagaimana keterlibatan mereka dalam mengontrol kebijakan, atau memberikan kontribusi pada kebijakan yang berbasis sains (science-based Policy).