761 views PEKAN RAYA FLOBAMORATAS : Suara Iklim dari Nusa Tenggara Timur - KEHATI KEHATI

PEKAN RAYA FLOBAMORATAS : Suara Iklim dari Nusa Tenggara Timur



Pekan Raya Flobamoratas di Kupang NTT pada November 2022 lalu membawa misi membangkitkan kesadaran tentang dampak perubahan iklim yang meluas terutama sektor pangan.

  • Date:
    31 Mar 2023
  • Author:
    KEHATI

Dampak perubahan iklim di wilayah Nusa Tenggara Timur sangat mendesak untuk segera diatasi. Kondisi krusial ini berdampak pada kualitas hidup masyarakat.  Perubahan curah hujan dan kenaikan suhu mengakibatkan kekeringan, serta merebaknya hama dan penyakit tanamanan. Untuk itulah kesadaran tentang perubahan iklim dan dampaknya pada sektor pangan dan kehidupan sosial masyarakat NTT terus digaungkan.

 

Jika pada pertengahan Maret 2023 lalu diadakan pelatihan jurnalisme warga bagi anak muda NTT agar mereka bisa menyuarakan soal keadilan iklim secara aktif dan mandiri, maka pada bulan November 2022 lalu, di Kupang NTT diadakan Pekan Raya Flobamoratas.

Koalisi Pangan BAIK (Beragam, Adaptif, Inklusif & Kokreasi) menyuguhkan potensi pangan lokal berbagai daerah, seperti Flores Timur, Lembata, Manggarai, dan Manggarai Timur. (Foto : KEHATI)

Pekan Raya Flobamoratas digagas oleh Aliansi Voices for Just Climate Action (VCA). Yayasan KEHATI tergabung dalam aliansi VCA yang didukung oleh Yayasan Hivos untuk program Koalisi Pangan BAIK. Di Flores dan Lembata, KEHATI  bermitra dengan KRKP (Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan) dan organisasi lokal di NTT yaitu Yayasan AYO Indonesia, Ayu Tani Mandiri, serta YASPENSEL (Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Larantuka).

 

Dengan tema “Adil Untuk Semua Adil Untuk Bumi”, Pekan Raya Flobamoratas merupakan sebuah upaya untuk terus menyuarakan aksi iklim masyarakat desa dan kelompok marginal. Penyelia lapangan dari Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Larantuka (Yaspensel), Benedicto Reynalda Vili Brian, mengatakan, kegiatan pembelajaran ini diharapkan bisa diperluas secara nasional dan direplikasi oleh daerah lain.

 

Menurut Benedicto,  masyarakat di NTT selama ini sangat bergantung pada beras dan gandum untuk konsumsi sehari-hari. Meskipun mereka juga menanam tanaman lainnya seperti jagung dan umbi-umbian, namun hasil panennya dijual untuk dibelikan beras atau gandum.

 

Benedicto menjelaskan, dalam lima tahun terakhir, cadangan pangan penduduk di Manggarai, Manggarai Timur, Flores Timur, dan Lembata mengalami penurunan hingga 50 persen. Kondisi yang lebih memprihatinkan lagi adalah merebaknya wabah penyakit pada manusia, menurunnya kualitas dan kuantitas air. Kebutuhan rumah tangga menjadi terganggu karena hasil panen yang tidak menentu.

 

“Kami terus mengadakan kegiatan sosialisasi kepada para petani. Tujuannya agar mereka mengganti tanaman beras dan gandum dengan jenis tanaman sumber pangan lokal lainnya,” kata Benedicto kepada tim KEHATI. Salah satu bentuk sosialisasi yang dilakukan adalah mengadakan Pekan Raya Flobamoratas. Benedicto yang mendampingi di Flores Timur dan Lembata berharap festival iklim ini bisa diadakan setiap tahun.

 

Imroatul Mukhlishoh, Asisten Program Ekosistem Pertanian KEHATI, menambahkan, Koalisi Pangan BAIK, bertujuan untuk memperkuat dan mendorong anak muda dan perempuan menjadi pemimpin dalam lahirnya kebijakan. Selain itu juga mendorong terciptanya program perubahan iklim yang inklusif dan berkeadilan sebagai jalan peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama di sektor pangan dan pertanian. Inisiatif ini diharapkan mampu mendorong terjadinya perubahan kebijakan dan dukungan yang berpihak bagi kelompok rentan.

 

 

Kemerosotan pendapatan

 

KEHATI memberikan dukungan kepada mitra dan local champion untuk penguatan kapasitas dan pengembangan produk pangan lokal. Selain itu juga menghubungkan mereka dengan jaringan dan komunitas yang memiliki visi yang sama terkait perubahan iklim dan pelestarian pangan lokal.

 

Local Champion adalah generasi muda yang aktif menyuarakan isu perubahan iklim dan pelestarian pangan lokal di Kabupaten Manggarai, Manggarai Timur, Flores Timur, dan Lembata. Mereka kemudian melibatkan pemangku kepentingan serta mengidentifikasi sumber pendanaan. Secara umum mereka melaksanakan aksi-aksi iklim sesuai dengan potensi di daerahnya masing-masing.

eserta memberikan edukasi varian pangan lokal kepada pengunjung Pekan Raya Flobamorantas. (Foto : KEHATI)

Terkait perubahan iklim, Iim mengatakan, hasil produksi pangan menunjukkan grafik menurun secara signifikan akibat cuaca yang tidak menentu. Tangkapan ikan di wilayah pesisir juga menurun karena curah hujan yang tinggi dan badai mengganggu aktivitas nelayan. Sekitar 85 persen petani mengubah jadwal penanaman mengikuti perubahan cuaca. Sedangkan 70 persen mengubah jenis tanaman yang dibudidayakan.

 

Salah seorang local champion dari Desa Hewa, Maria Mone Soge yang akrab dipanggil Shindy Soge, mengatakan, perubahan iklim menyebabkan pendapatan masyarakat mengalami kemerosotan sehingga berimbas kepada daya beli, kesulitan membayar sekolah dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial, misalnya saja kegiatan adat.

 

Hal tersebut tentu saja berpotensi menimbulkan konflik sosial.  Sebagai contoh adalah kehidupan penduduk di Desa Hewa Kecamatan Wulanggitang Kabupaten Flores Timur yang sangat bergantung pada alam.

 

Kata Shindy Di desa itu bukan hanya laki-laki yang mencari nafkah, tetapi juga perempuan. Kaum perempuan turut andil menambah penghasilan keluarga dengan bekerja sebagai buruh. Lokasi tempat mereka bekerja rata-rata jauh dari rumah hingga ada resiko kesehatan yang terganggu, pelecehan seksual, bahkan sudah banyak terjadi kasus pemerkosaan.

 

Sebagai local champion, Shindy memberikan edukasi kepada masyarakat untuk mencari solusi sebagai persiapan dini menghadapi perubahan iklim. Shindy juga melakukan konservasi bersama generasi muda di Flores Timur dan Lembata yang tergabung dalam wadah Kame Gelekat Lamaholot.

 

Sehari-hari Shindy bekerja sebagai seorang guru honorer di SMAN 1 Wulanggitang. Ia juga seorang petani dan menambah penghasilan dari jasa ojek. Shindy mengajak anak-anak didiknya memanfaatkan halaman sekolah untuk berkebun yaitu menanam tanaman Holtikultura. Setelah satu tahun menjadi duta iklim dari desanya, kini Shindy semakin mengenal pengelolaan lingkungan dengan baik, serta lebih mengenal keberagaman pangan lokal yang bersifat lestari  dan sehat untuk konsumen.

 

Adaptasi Perubahan Iklim

 

Pekan Raya Flobamoratas membawa misi membangkitkan kesadaran tentang dampak perubahan iklim yang meluas terutama sektor pangan. Masyarakat juga diedukasi untuk beradaptasi dengan perubahan iklim serta diperkenalkan pada varian sumber pangan lokal beserta produk olahannya. Variasi pangan lokal penting untuk ketahanan masyarakat setempat.

Flobamorantas membuka ruang diskusi antar anak muda penggerak adaptasi perubahan iklim. (Foto : KEHATI)

Dengan kemasan anak muda, pertunjukan festival yang ditampilkan adalah konser musik dan budaya, sajian infografis serta tari-tarian. Selain itu juga diselipkan konferensi pers dan diskusi. Kegiatan Pekan Raya ini mengikutsertakan media massa lokal dan nasional untuk meliput cerita-cerita tentang perubahan iklim di daerah NTT dan bagaimana masyarakat beradaptasi.

 

Dari koalisi Pangan BAIK menyuguhkan potensi pangan lokal berbagai daerah, seperti Flores Timur, Lembata, Manggarai, dan Manggarai Timur. Koalisi Pangan BAIK membawa tanaman serealia seperti sorgum, jemawut, jail-jali, kacang lebah, mesak dan beberapa macam olahan pangan  seperti siput kering/kerang kering, ikan pari kering, nasi kaget dan kue putu.

 

Salah satu yang menarik adalah pojok festival Dapur Mama. Kreativitas anak muda ini menyampaikan pesan bahwa dampak perubahan iklim sudah terjadi di wilayah terkecil yaitu rumah tangga. Pojok festival Dapur Mama menampilkan pengolahan berbagai pangan lokal dengan peralatan tradisional.

 

Selain generasi muda sebagai sasaran utama, banyak orang tua bahkan lansia mengunjungi festival ini. Mayoritas kalangan anak-anak muda tersebut belum mengetahui potensi sumber pangan lokal. Prospek mereka sebagai pelopor aksi iklim diharapkan untuk mengenal lebih jauh tentang varian pangan lokal dari tiap daerah.

 

Sedangkan para pengunjung berusia lanjut lebih banyak bernostalgia dengan berbagai makanan yang dulu pernah familiar, sebelum nasionalisasi beras oleh pemerintah. Semoga suara iklim dari wilayah Indonesia bagian timur ini segera menggema ke seluruh nusantara tercinta.

 

LV Listyo (Tim KEHATI)