453 views Opini : Satwa Langka Bukan Barang Ekonomi - KEHATI KEHATI

Opini : Satwa Langka Bukan Barang Ekonomi



Penyelamatan Pangolins di Pekanbaru, Riau (Foto : Arief Budi Kusuma/Shutterstock)

  • Date:
    26 Mei 2023
  • Author:
    KEHATI

Mohamad Burhanudin*

 

Dalam edisi 12 April 2023, Harian Kompas memberitakan bahwa 15 ekor badak jawa (Rhinoceros sondaicus) di Taman Nasional Ujung Kulon hilang dari pemantauan sejak tiga tahun terakhir. Perburuan liar diduga kuat menjadi penyebabnya.

 

Meskipun kabar tentang hilangnya spesies dilindungi di habitat liar sudah kerap terjadi sejak bertahun-tahun silam, namun hilangnya badak yang ikonik ini tetap membersitkan kesedihan mandalam. Terutama, betapa masih lemahnya perlindungan keanekaragaman hayati di negeri ini setelah begitu banyaknya kisah kepunahan.

 

Apa yang terjadi dengan badak jawa ini merupakan gambaran kecil dari kondisi yang banyak dialami oleh  satwa-satwa berstatus dilindungi di Indonesia, seperti harimau sumatera, orangutan, gajah, owa, dan lain sebagainya. Mereka tinggal di kantong-kantong konservasi yang luasnya terus tergerus dan rusak. Stok makanan hutan yang kian terbatas membuat mereka melangkah keluar dari habitatnya, sehingga rawan terbunuh dalam konflik dengan manusia.

 

Di sisi lain, rantai perdagangan satwa liar dari waktu ke waktu tak pernah putus. Permintaan yang tinggi dari pasar ilegal maupun legal, mendorong perburuan liar satwa dilindungi kian gencar. Jenis yang diburu pun makin beragam, mulai dari mamalia langka, spesimen karang, hingga spesies burung,. Metode perdagangan antara pemburu dan pedagang pun kian canggih. Dengan menggunakan platform daring, banyak pedagang satwa liar menemukan pemburu, pemasok, sekaligus pasar baru dalam jumlah yang kian masif.

 

Menurut data INTERPOL,  perdagangan ilegal satwa liar di Indonesia merugikan ekonomi negara sekitar Rp 12,8 triliun atau 852,4 juta dollar AS setiap tahun. Angka tersebut tumbuh antara 5-7 persen per tahun. Perburuan liar juga menjadi penyebab utama kelangkaan dan hilangnya satwa dilindungi di Indonesia.

 

Maraknya perdagangan satwa liar tidak saja berdampak pada kelangkaan dan kepunahan satwa liar, namun diduga turut memicu merebaknya penyakit baru. Perdagangan satwa liar untuk tujuan konsumsi di Wuhan, China, disinyalir menjadi awal munculnya virus Covid-19.

 

Terkait maraknya perburuan liar ini, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sesungguhnya telah mengambil langkah-langkah strategis, seperti melalui penguatan tata kelola dan penegakan hukum di habitat satwa liar, perburuan, dan pemungutan satwa. Dalam rentang waktu 2015-2022, KLHK mencatat sebanyak 438 kasus perburuan ilegal telah ditangani, dengan 358 kasus di antaranya telah berstatus P21 atau lengkap.

 

Namun, penegakan hukum terhadap pelaku perburuan liar kerap terbentur dengan rendahnya vonis yang dijatuhkan kepada pelaku. Selama ini, ketentuan mengenai tindak pidana perburuan liar merujuk pada Pasal 40 Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE), dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta.

 

Meskipun UU tersebut menegaskan hukuman penjara maksimal lima tahun, dalam praktiknya vonis yang kerap dijatuhkan hakim kepada pelaku perburuan tak lebih dari 2-3 tahun. Bahkan, di sejumlah kasus hanya di bawah dua tahun. Ini seperti yang terjadi di Pengadilan Negeri Liwa, Lampung Barat, pada Februari 2017 lalu, di mana dua terdakwa perburuan harimau hanya divonis satu tahun delapan bulan dan denda Rp 25 juta (Harian Kompas, 28 September 2017). Ringannya vonis dan hukuman bagi pelaku perburuan dan perdagangan satwa liar ini menghilangkan efek jera para pelaku.

 

Eksploitasi ekonomi

 

Kepunahan dan hilangnya satwa langka dan ragam hayati di Indonesia sesungguhnya lebih dari sekadar permasalah perburuhan dan konflik satwa vs manusia. Di balik itu semua adalah hikayat tentang rusaknya hutan dan lingkungan hidup (ekologi) ketika harus bertarung melawan kepentingan dan kekuatan ekonomi. Lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati di dalamnya tak hanya dikalahkan, tapi juga dieksploitasi demi mendongkrak pencapaian pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dan akumulasi kapital. Akibatnya, lingkungan hidup rusak, keanekaragaman hayati di dalamnya terdegradasi, bahkan, sebagian mengalami kepunahan.

 

Ekonom dari Universitas Cambridge Inggris, Partha Dasgupta, dalam kajiannya bertajuk “The Economics of Biodiversity: The Dasgupta Review” (2021), mengungkapkan, kebijakan ekonomi yang hanya mengejar pertumbuhan PDB sesungguhnya tidak relevan lagi untuk menilai kesehatan ekonomi suatu negara karena tidak memasukkan depresiasi aset, seperti degradasi biosfer. Pertumbuhan dan pembangunan ekonomi berkelanjutan semestinya adalah penyeimbangan kembali permintaan kita akan barang dan jasa dari alam dengan kemampuan alam untuk memasoknya.

 

Dengan demikian, kebijakan ekonomi dan lingkungan harus memperhatikan daya dukung alam. Termasuk di dalamnya mempertimbangkan adanya degradasi biosfer. Dengan cara ini, kita dapat mengontrol perubahan lingkungan hidup kita dan melindungi ekosistem dan keanekaragaman hayati, termasuk satwa langka, lebih baik lagi.

 

RUU KSDHAE

 

Terkait kebijakan perlindungan sumber daya alam hayati, Indonesia sesungguhnya telah memiliki UU 5 Tahun 1990. Namun, UU yang didesain lebih dari 33 tahun lalu tersebut dalam banyak hal dinilai telah tak relevan lagi dengan perkembangan zaman dan tantangan konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia dan dunia.

 

UU KSDAHE tersebut juga dinilai tidak lagi bisa mengimbangi ancaman kerusakan pada hutan beserta keberadaan biodiversitasnya, termasuk kejahatan terhadap satwa liar yang meningkat 5-7% per tahunnya dengan modus yang kian canggih. Hukuman yang diatur dalam UU tersebut juga tergolong rendah sehingga tak menimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan lingkungan. UU ini juga perlu memperlebar jangkauan pada upaya  pencegahan lainnya, seperti pendekatan peningkatan sosial-ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan.

 

Sebagai bagian dari proses mewujudkan perubahan tersebut, pada 11 April 2023 lalu, Komisi IV DPR mengundang  Kelompok Kerja Kebijakan Konservasi (POKJA Konservasi), yang beranggotakan sejumlah organisasi masyarakat sipil peduli lingkungan di Indonesia, dalam rapat dengar pendapat membahas rencana pengesahan RUU KSDHAE yang baru.

 

Dari pertemuan tersebut, setidaknya ada enam fokus isu yang perlu menjadi perhatian DPR dan pemerintah terkait substansi RUU KSDHAE yang kini sedang digodok, yaitu perlindungan ekosistem, perlindungan spesies, perlindungan genetik, medik konservasi, penegakan hukum, dan pendanaan konservasi.

 

Di samping itu, guna memperkuat perlindungan keanekaragaman hayati, pelaksanaan konservasi juga perlu ditegaskan untuk dilakukan dalam maupun di luar kawasan konservasi. Hal ini karena UU KSDHAE yang lama hanya mengatur perlindungan keanekaragaman hayati di dalam kawasan konservasi.

 

Hal lain yang perlu ditegaskan dalam RUU KSDAHE adalah perlunya mempertahankan tiga kategori status perlindungan tumbuhan dan satwa liar: dilindungi, dikendalikan, dan dipantau, serta pembagian kewenangan dan tanggung jawab konservasi yang proporsional antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, korporasi, serta masyarakat. Kolaborasi ini penting karena pemerintah pusat tidak mungkin bekerja sendirian untuk melakukan konservasi ekosistem, spesies, sekaligus genetik.

 

Ketertiban, keamanan, dan keteraturan berawal dari perundang-undangan yang baik. RUU KSDAHE baru menjadi kesempatan besar bagi kita untuk memulai perlindungan sumber daya alam hayati secara lebih baik.

 

RUU ini juga diharapkan tidak hanya relevan dengan perkembangan dunia, tapi juga membangun inspirasi publik bahwa sumber daya alam hayati bukanlah semata barang ekonomi, melainkan titipan dari anak cucu kita. Dengan begitu, mereka masih bisa melihat badak jawa, harimau sumatera, dan ragam hayati lain, yang kini terancam punah.

 

 

*Penulis adalah Spesialis Lingkungan di Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI)