1,368 views Ekowisata Mangrove : Keuntungan dari Kegiatan Rehabilitasi dan Restorasi - KEHATI KEHATI

Ekowisata Mangrove : Keuntungan dari Kegiatan Rehabilitasi dan Restorasi



Kepiting menjadi salah satu sumber pangan protein dari ekosistem mangrove di Kab. Donggala Prov. Sulawesi Tengah

  • Date:
    10 Jul 2023
  • Author:
    KEHATI

Sebagai salah satu ekosistem karbon biru, potensi hutan mangrove di Indonesia sangat besar sebagai penyimpan karbon yang paling efektif untuk menjaga wilayah pesisir. Banyak masyarakat yang belum memahami bahwa pantai adalah garda depan dalam melindungi bumi dari kerusakan akibat perubahan iklim.

 

Mangrove disebut juga hutan pasang karena tumbuh di antara garis pasang surut. Meskipun Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia, tetapi keberadaanya tidak dianggap sebagai aset penting sehingga hutan mangrove mengalami kerusakan setiap tahunnya. Proses rehabilitasi mangrove membutuhkan waktu minimal 10 tahun, tergantung lokasi penanaman dan ancaman yang dihadapi.

 

Manajer Ekosistem Kelautan yayasan KEHATI, Toufik Alansar, dalam sebuah kesempatan menjelaskan tentang fase-fase yang harus dilalui sebelum ekosistem mangrove dapat bermanfaat bagi masyarakat lokal maupun sebagai mitigasi bencana. Menurut Toufik, beberapa indikasi kesuksesan rehabilitasi ekosistem mangrove terbagi dalam tiga fase.

 

Fase jangka pendek, setelah penanaman terlihat mulai mendapatkan debit air dan disusul dengan munculnya ikan dan makroinvertebrata seperti kepiting, udang dan rajungan. Fase mid-term menunjukkan bertambahnya jenis biota, kadar garam dalam air, dan bibit yang mampu bertahan dan tumbuh. Terakhir fase long-term diindikasikan dengan bertambahnya tutupan lahan, konektivitas lanskap, bahan organik dan penyedia nutrisi, serta semakin komplitnya varian biota.

 

Yayasan KEHATI mencoba membangun tiga kunci utama dalam melakukan restorasi. Integrasi faktor ekologi, sosial, dan ekonomi harus berjalan dengan baik agar manfaatnya bisa didapatkan. Yayasan KEHATI akan terus mendorong dan mengkampanyekan bagaimana upaya ini bisa dilakukan secara bersama-sama.

 

Tantangan Pengelolaan

 

Sementara itu, tantangan dalam pengelolaan mangrove selalu ada, yaitu berupa pendanaan, alih fungsi lahan, kewenangan lembaga serta peraturan di tingkat desa hingga nasional. Intervensi banyak pihak sangat dibutuhkan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat lokal. “Peningkatan kesejahteraan penduduk ini melalui penggabungan perlindungan ekosistem dan keuntungan ekonomi, yang biasanya melalui jasa ekosistem,”tutur Toufik.

 

Ia mengatakan, dampak positif dari terbentuknya ekosistem mangrove sudah dirasakan oleh masyarakat lokal. Sebagai contoh kehidupan masyarakat di Palu yang dulu memandang sebelah mata keberadaan mangrove. Namun bencana tsunami yang memakan banyak korban membuktikan ekosistem mangrove ternyata mampu menjadi pelindung bagi desa mereka. Wilayah-wilayah terdampak tsunami dengan mangrove yang masih bagus hanya memakan sedikit korban. Setelah itu masyarakat di Palu merestorasi kawasan-kawasan mangrove yang rusak sambil memanfaatkan mangrove yang masih tersisa.

 

Di Provinsi Jawa Tengah terdapat desa wisata “Dewi Mangrove Sari” yang berlokasi di Desa Kaliwlingi Kabupaten Brebes. Lokasi wisata tersebut menghasilkan omset Rp 3-5 milyar per tahun, baik dari wisatawan lokal maupun internasional. Kawasan wisata ini dulu merupakan tambak yang terus-menerus mengalami abrasi.

 

Mata pencaharian utama penduduk Desa Kaliwlingi hilang. Hal tersebut mendorong beberapa warga untuk mengawali aksi penanaman mangrove agar abrasi tidak semakin parah dan mengembalikan habitat biota laut. Penanaman mangrove di awali pada tahun 2005 dan mendapatkan dukungan dana dari yayasan KEHATI.

 

Studi Belajar Banten-Majene

 

Tidak hanya dari masyarakat sekitar, para akademisi turut serta memberikan perhatian pada ekosistem mangrove. Di tahun 2022 Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA) berkolaborasi dengan PT. Asahimas dan yayasan KEHATI melakukan aksi penanaman 18.000 bibit mangrove. Aksi ini adalah bagian dari program Blue Carbon PT. Asahimas dalam rangka upaya mitigasi dan rehabilitasi mangrove pasca tsunami 2018.

 

Masih dari kolaborasi yang sama, pada tanggal 8-11 Mei 2023, UNTIRTA mengadakan studi belajar di Kelompok Masyarakat Pelestari Hutan Pesisir (KMPHP) di desa wisata Mangrove Sari. Studi bersama ini dalam rangka peningkatan kapasitas sumber daya manusia dalam mengelola, memanfaatkan dan melestarikan mangrove.

 

Dosen Fakultas Pertanian Untirta, Adi Susanto mengaku sengaja membawa masyarakat yang peduli dengan mangrove untuk belajar mengolahnya agar menjadi pendapatan tambahan. Apalagi, KMPHP sudah melakukan aktivitas pengelolaan dan pemanfaatan mangrove selama lebih dari 20 tahun. Harapannya, masyarakat Banten bisa belajar dan berinovasi untuk mengembangkan potensi mangrove di Banten.

 

“Para peserta mendapatkan pengalaman berharga bahwa ekosistem mangrove harus dijaga, dilestarikan dan dimanfaatkan dengan tetap mengedepankan aspek keberlanjutan,” katanya.

 

Pelestarian mangrove tidak hanya memberikan dampak ekologis bagi ekosistem, namun juga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat lokal. Setiap individu harus memiliki kesadaran untuk mengelola dan melestarikan mangrove. “Dari kesadaran individu ini akan terbentuk komunitas yang memiliki pemahaman sama bahwa upaya mereka akan berkembang di masa yang akan dating,” pungkas Adi.

 

Dengan bentang alamnya yang indah, Selat Sunda juga berpotensi untuk mengembangkan ekowisata mangrove. Keberadaan mangrove di pesisir Selat Sunda telah menyedot perhatian masyarakat dan stakeholder, terutama pasca tsunami. Oleh karena itu, kata Toufik, perlu dibentuk Mangrove Learning Centre sebagai pusat studi dan pengembangan, pemanfaatan, serta pengelolaan mangrove baik fungsi ekologi maupun pengembangan ekonomi produktif masyarakat pesisir.

 

Seorang local champion peraih penghargaan Kalpataru tahun 1993  Asiil Anwar adalah penggagas Mangrove Learning Centre di Majene Sulawesi Barat. Asiil Anwar selama tiga dekade melakukan aksi pelestarian mangrove hingga mengembalikan si migran burung Pelikan dan bermacam-macam burung lainnya kembali ke pesisir Baluno. Pada tahun 2019 Pemerintah Kabupaten Majene menetapkan Mangrove Baluno sebagai Kawasan Ekosistem Esensial (KEE)

 

Beberapa contoh aktivitas ekonomi dalam upaya pengelolaan dan pemanfaatan mangrove antara lain, budidaya kepiting dan budidaya udang vaname dengan sistem bioflok, garam rebus hingga kerajinan batik mangrove. Kegiatan-kegiatan ekonomi tersebut terbukti telah mampu menyerap tenaga kerja dari masyarakat sekitar. Agar lebih berkembang dan maju, sebaiknya dilakukan upaya-upaya peluang produk turunan melalui kerja sama dengan para stakeholder.

 

Berkembangnya ekosistem mangrove menjadi objek ekowisata yang cukup menjanjikan. Potensi ekonomi dari sektor wisata mangrove mampu menarik masyarakat sekitar untuk menjaga mangrove dan mengelolanya dengan baik. Ekowisata mangrove ini juga memberikan kontribusi pada sektor jasa lainnya apabila masyarakat melakukan ko-aksi dengan pemerintah setempat dan para pemangku

kepentingan.

LVListyo (Tim KEHATI)