Kisah Greta Thunberg & Masa Depan Investasi Berkelanjutan
-
Date:
09 Des 2019 -
Author:
KEHATI
Akhir September lalu di New York, Amerika Serikat (AS), seorang anak remaja perempuan berteriak lantang, “kalian adalah pencuri!” katanya. “Kalian telah mencuri mimpi-mimpi saya,” teriaknya lagi. Ia menunjuk pada ratusan orang yang berada di depannya. Anak perempuan remaja 16 tahun itu bernama Greta Thunberg, berasal dari Swedia. Ia waktu itu berpidato di sebuah sidang PBB di New York mengenai perubahan iklim.
Umat manusia, terutama sejak revolusi industri di abad 18, acap kali mengabaikan prinsip keberlanjutan dalam hidup di planet bumi, dalam memanfaatkan kekayaan alam. Kita seringkali mengabaikan apakah planet bumi masih akan dapat memberikan dukungan bagi kehidupan dan kesejahteraan generasi mendatang. Dengan kata lain, kita mencuri masa depan anak-anak kita sendiri.
Jauh ke belakang, 66 juta juta tahun yang lalu, sebuah meteor raksasa menghantam planet bumi, tepatnya di Semenanjung Yucatan, Meksiko. Sebuah bencana maha dahsyat yang menyebabkan kepunahan sebagian besar species di bumi, termasuk Dinosaurus. Ini adalah kepunahan massal yang kelima dalam sejarah panjang kehidupan di planet bumi. Namun, banyak yang tidak menyadari, saat ini kita hidup pada sebuah masa di mana kita menjadi saksi mata sekaligus juga pelaku. Pelaku kepunahan massal yang keenam.
Laporan Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) pada Juli lalu memberikan gambaran yang kelam mengenai kehidupan di planet bumi. Tingkat kepunahan spesies saat ini ratusan kali lipat lebih tinggi dari yang biasa terjadi dalam 10 juta tahun terakhir. Hampir satu juta spesies terancam punah dalam beberapa dekade mendatang. Sungguh ironis karena kepunahan massal kali ini bukan karena hantaman meteor atau invasi aliens dari planet lain. Tapi karena ulah kita sendiri.
Sebanyak 75% daratan bumi telah mengalami degradasi karena intervensi manusia. Lebih dari dua pertiga sumber daya lautan telah kita eksplorasi secara maksimal, atau bahkan melebihi kapasitas maksimalnya. Berbagai aktivitas produksi, pola konsumsi, dan gaya hidup kita telah menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Seringkali ini semua terjadi karena kita belum sepenuhnya mengerti bagaimana planet bumi dan segala ekosistemdi atasnya, bekerja dalam mendukung eksistensi manusia.
Kiamat serangga
Kita membasmi serangga secara serampangan, karena mungkin kita anggap semuanya hama. The Insect Apocalypse is Here, demikian sebuah tulisan di “New York Times” akhir tahun 2018 lalu. Artikel ini memicu perdebatan, dan meningkatkan kesadaran lebih jauh betapa terancamnya kondisi serangga sebagai penyangga utama kehidupan manusia. Serangga adalah polinator (perantara) bagi penyerbukan tanaman. Serangga adalah pengurai limbah dan pengaya lahan. Serangga adalah bagian kritikal dari rantai makanan dan kehidupan di planet bumi.
Lahan gambut kadangkala dianggap lahan yang tersia-sia. Lalu kita keringkan lahan-lahan gambut tersebut dan kita tebas segenap tumbuhan yang ada untuk ditanami komoditas tertentu, seringkali dengan ceroboh. Kemudian, kita tidak hanya kehilangan ekosistem yang kaya, kita juga kehilangan serapan banjir yang luar biasa di musim hujan. Untuk kemudian diamuk api dimusim kering, yang meluluhlantakkan kehidupan dan perekonomian masyarakat kita, bahkan hingga ke negara-negara tetangga.
Kita juga seringkali menganggap enteng perubahan iklim. Apalah artinya suhu naik 1.5 celcius. Tapi kenaikan air laut karena pemanasan global tidak hanya menggeser kita makin jauh ke daratan, tapi akan memusnahkan tempat kehidupan bagi ratusan juta manusia bersama peradaban yang telah terbangun ribuan tahun lamanya. Perubahan iklim juga meningkatkan intensitas dan frekuensi bencana alam.
Perubahan iklim tidak saja mereduksi keanekaragaman hayati, tetapi juga akan merubah pola sebarannya. Jangan sesali jika di masa yang akan datang kapal-kapal nelayan anak cucu kita ditenggelamkan oleh China atau Vietnam. Karena ikan-ikan tak kuat lagi bertahan di iklim tropis yang semakin panas, sehingga nelayan kita terpaksa mengejarnya ke area sub tropis. Namun, sepertinya belum terlalu terlambat untuk berbuat sesuatu, termasuk di dunia pasar modal dan investasi. Saat ini terjadi sebuah gelombang perubahan besar.
Ada apa dengan investasi berkelanjutan?
Awal September lalu, sekitar 2.000 pengelola dana atau fund manager terkemuka dan eksekutif senior dari berbagai perusahaan investasi memadati konferensi investasi tahunan PRI (Principle for Responsible Investment) di Paris. Tidak seperti layaknya sebuah konferensi tentang investasi dan pengelolaan dana, tidak ada satu sesi pun yang membahas, misalnya, tentang kondisi perekonomian atau prospek laba perusahaan. Mereka, selama 3 hari bertukar fikiran mengenai perubahan iklim, bencana keanekaragaman hayati, pekerja anak, perbudakan modern, kesetaraan gender, dan berbagai isu lingkungan, sosial, dan tata kelola lainnya. Karena mereka percaya tanpa kepedulian pada aspek lingkungan hidup dan sosial, tidak ada jaminan bagi keberlanjutan investasi mereka.
Gelombang besar investasi yang berkelanjutan dan bertanggungjawab, yang mengintegrasikan aspek lingkungan hidup, sosial, dan tata kelola yang baik (ESG/Environmental, Social and Corporate Governance) tumbuh pesat dalam tahun-tahun terakhir. Menurut PRI, saat ini lebih dari 1.900 pengelola dan pemilik aset keuangan yang mengontrol dna sebesar US$ 89 triliun, telah berkomitmen untuk mengadopsi prinsip-prinsip keberlanjutan. MSCI (Morgan Stanley Capital International) mengatakan bahwa dana kelolaan reksa dana ETF (exchange traded fund, reksa dana yang bisa diperdagangkan di bursa) berbasis ESG di seluruh dunia naik lebih dari 12x lipat dalam 5 tahun terakhir.
Survei US-SIF (Sustainable Investment Forum) tahun 2019 mengungkapkan dana kelolaan investasi di AS yang mengacu pada prinsip-prinsip keberlanjutan tumbuh 38% dibandingkan survei 2 tahun sebelumnya, dan telah mencakup lebih dari seperempat total dana kelolaan. Di Indonesia pasar memang lebih lambat merespons, meskipun OJK pada tahun 2014 yang lalu telah meluncurkan peta jalan keuangan berkelanjutan. Kerangka regulasi dan pilot project penerbitan obligasi hijau juga telah dieksekusi. Dalam 5 tahun sebelumnya, pada tahun 2009, Yayasan KEHATI merintis insiatif investasi berkelanjutan di pasar modal Indonesia dengan meluncurkan Indeks SRI KEHATI, indeks saham berkelanjutan berbasis ESG yang pertama di Indonesia, bahkan di ASEAN.
Yayasan KEHATI juga berusaha menggaet manajer investasi (MI) untuk mengeluarkan produk reksa dana berkelanjutan. Dalam 2 tahun terakhir dana reksa dana ESG yang mengacu pada Indeks SRI KEHATI tumbuh lebih 7 kali lipat menjadi Rp 1,5 triliun. Jumlah reksa dana pun bertambah pesat dari 2 menjadi 9. Ini adalah sebuah tren yang sangat menggembirakan, namun secara proporsional masih belum signifikan dibandingkan jumlah kelolaan reksa dana di tanah air.
Para pebisnis dan pengelola investasi perlu bergerak lebih cepat karena gelombang investasi berkelanjutan yang berbasis ESG, tidak akan terbendung lagi. Pada akhirnya, investasi dan bisnis yang peduli lingkungan dan sosial, bukanlah sesuatu yang akan dipaksakan lagi oleh regulator, diteriak-teriakkan oleh LSM. Ia kelak akan menjadi norma-norma, nilai-nilai yang akan sendirinya diadopsi pasar. Suatu saat perusahaan akan kesulitan mengeluarkan obligasi jika rating ESG atau rating sosial dan lingkungannya tidak memenuhi persyaratan investor. Demikian juga di pasar saham, pintu akan tertutup rapat-rapat bagi perusahaan-perusahaan yang tidak ramah lingkungan, yang tidak peduli pada masyarakat di sekitarnya, yang tanpa malu-malu mencuri masa depan anak-anak mereka sendiri.
Sumber: cnbcindonesia.com