Jangan Biarkan Menara Pohon Air Terus Kerontang: Mata Air dan Air Mata
Di sepanjang perjalanan selama siklus itu, air memberi kehidupan. Di pegunungan dan pesawahan menghidupi sumber pangan kita, di sungai dan danau menghasilkan berbagai jenis ikan dan perikanan, demikian juga di lautan. (Foto : Muhamad Rifandy)
-
Date:
21 Mei 2024 -
Author:
KEHATI
Prof. Dedy Darnaedi. Dosen Biologi, Universitas Nasional, Jakarta
Indonesia mendapat kehormatan menjadi tuan rumah World Water Forum ke 10, atau Forum Air Sedunia yang diperingati setiap tiga tahun. Perhelatan akbar ini akan dilaksanakan selama beberapa hari dalam bulan Mei, di Pulau Dewata, Bali. Tema yang dipilih adalah Water for Face, mengandung makna yang sangat luas dan dalam, Air untuk Perdamaian.
Kepercayan Dunia kepada Indonesia menjadi tuan rumah perhelatan penting ini tentunya beralasan. Boleh jadi karena Indonesia mampu mengelola dengan baik sejumlah air yang melimpah, tersebar di pegunungan, lembah, danau, sungai dan lautan. Hingga dunia perlu melihat, mendengar dan belajar dari Indonesia bagaimana Tata Kelola Air yang baik, dan adil. Atau, boleh jadi perhelatan ini menyiratkan makna, agar Indonesia lebih berhati-hati dalam tata kelola air, menjaga siklus air, membaginya dengan adil untuk seluruh masyarakat. Dengan harapan tentunya, rakyat tidak menjerit kekeringan saat kemarau, juga tidak meratap saat diterjang banjir bandang, tanah longsor di musim penghujan.
Air yang melimpah adalah anugerah, hadiah dari alam. Karena hadiah ini terus menerus kita terima gratis, nyaris tanpa usaha untuk mendapatkannya. Kita terlena, lupa atas karunia alam yang luar biasa itu. Tanpa air, hampir pasti tidak ada kehidupan. Volume air di dunia konon katanya selalu tetap, menempati berbagai relung kehidupah jagat raya sampai ke isi tiap cell tubuh tiap organisme hidup termasuk kita, manusia. Yang berbeda adalah bentuk, sifat, dan fungsinya di tiap relung kehidupan itu sendiri. Kini, kualitas air telah berubah, tercemar, beracun, tak layak pakai, selain itu distribusinya juga tidak adil dan tidak merata memenuhi kebutuhan.
Air yang merupakan keperluan hajat hidup orang banyak, telah begeser dari hadiah alam gratis, mejadi komoditas ekonomi yang semakin mahal, dan di banyak tempat tak mudah didapat. Kemudahan akses untuk mendapatkan air secara adil untuk perdamaian itulah yang ternyata perlu lobi politik, lobi ekonomi dan kolaborasi tingkat tinggi, antar instansi bahkan antar negeri. Cadangan makan dunia, terutama beras untuk Indonesia teramat sangat ditentukan oleh tersedianya air yang memadai dan tepat waktu, termasuk untuk budidaya tanaman pangan lainnya seperti jagung, kedelai, ubi, kelapa sawit, buah dan sarur sayuran.
Catatan BPS, awal th 2023 sektor tanaman pangan tumbuh minus 3 pesen. Sementara itu volume beras tiga bulan pertama tahun 2024 anjlok 38 persen dibandingkan dengan bulan yang sama tahun 2023. Penyebab anjloknya produksi beras ditengarai karena El Nino yang di dalamnya termasuk ketersediaan dan distribusi air, antara kekeringan saat kemarau panjang dan kebanjiran saat musim hujan. Untuk memenuhi keperluan dalam negeri, tak ada jalan lain kecuali buka keran import beras besar-besaran lagi. Awal tahun ini sebanyak 1,41 juta ton beras sudah didatangkan dari target 3.76 jutaton sampai Desember 2024. Cita-cita mandiri pangan, masih tertatih, bahkan masih berjuang di ketersediaan pangan. Perjuangan mandiri pangan masih panjang.
Indonesia yang berada di kawasan tropika di antara dua benua dan dua samudra, dengan bentang hutan hujan tropis dan keanekaragaman hayati yang jumlah jenis maupun endemisitasnya sangat tinggi, mustinya tidak harus ikut-ikutan kekurangan air dan pangan. Keanekaragaman hayati bersama air menyertai kita menempati berbagai relung ekosistem pegunungan, sungai, danau, sampai pantai dan lautan. Siklus air melalui bentang alam dan hutan yang luas mudah dicermati. Katakan saja, jika mulai dari lautan, air menguap membentuk awan, awan bergerak berubah jadi hujan, air hujan jatuh di bumi, meresap di lantai hutan, lempeng bumi, muncul sebagai Mata Air, atau langsung ke sungai mengalir ke danau dan lautan. Melalui penguapan karena panas sinar matahari, atau pernapasan mahluk hidup, air kembali ke udara menjadi awan dan kembali ke bumi demikian seterusnya. Siklus itu begitu sempurna.
Di sepanjang perjalanan selama siklus itu, air memberi kehidupan. Di pegunungan dan pesawahan menghidupi sumber pangan kita, di sungai dan danau menghasilkan berbagai jenis ikan dan perikanan, demikian juga di lautan. Rantai siklus air itu mulai terusik, dan tata kelola air nyaris mulai tak terkendalikan. Mata air yang berasal dari menara pohon air di hutan kering kerontang saat kemarau panjang, namun banjir dan bencana tanah longsor menerjang saat musim hujan datang. Mata air kehidupan, telah menjadi air mata penderitaan. Fenomena nyata kita saksikan di depan mata, konon penyebabnya adalah El Nino dan Perubahan iklim global sedang melanda dunia. Kita hampir tak bedaya, namun harapan harus tetap menyertai.
Hutan dengan barisan pepohonan yang menjulang tinggi adalah menara air yang pertama menangkap air hujan, menyimpannya dalam batang tubuh, atau di berbagai jenis tumbuhan epifit, mengalirkannya perlahan ke lantai hutan dan lempeng bumi, dan muncul sebagai Mata Air. Lantai hutan selalu basah dan lembab di musim penghujan, dan menjaganya sampai kemarau. Air dilepas perlahan menuju mata air di hulu sungai dan memenuhi kebutuhan selama musim kemarau. Sepanjang tahun, baik musim hujam maupun kemarau air tetap tersedia.
Tingginya laju pembukaan hutan (deforestasi), perubahan tata kelola dan konversi lahan, membuka lapisan hijau telah menumbangkan menara-menara air di hutan, menjadikan rusaknya siklus air. Saat air hujan tiba, hutan tak mampu meredam derasnya air dan menyimpannya di menara air, lantai hutan dan serasah. Air berlebihan untuk mengalirkannya ke bawah lempeng batuan, maka terjadilah banjir. Menerjang pemukiman, memporak-porandakan infrastruktur dan menenggelamkan pembangunan ekonomi. Tak hanya saat air berlebihan yang menyebabkan banjir, demikian juga saat musim kemarau panjang, tak ada simpanan air di menara pohon, lantai hutan kerontang, serasah kering mengundang kebakaran. Semua meratap, karena yang tersisa hanya butiran air di sudut mata, Air Mata kesedihan.
Semoga tidak seperti sumber daya alam lainnya, batubara, minyak, nikel yang dimonopoli sekelompok orang, air yang menjadi hajat hidup orang banyak tetap dikuasai negara untuk kehidupan dan kesejahteraan masyarakat luas. Walaupun demikian, perusahaan Air Kemasan mulai bermunculan, puluhan atau mungkin ratusan jumlahnya. Beberapa di antaranya mengusung tema, Mata Air Alami dengan latar belakang gunung dan hutan nan hijau. Tetesan air alami itu dengan cantik digambarkan megikat mineral penting, jernih dan menyegarkan. Dikemas dengan apik, layak dan segar diteguk langsung untuk kesehatan. Hadiah gratis dari Alam. Harganya masih terjangkau untuk orang banyak, walaupun lumayan jika disajikan di hotel berbintang. Satu liter air kemasan tidak jauh berbeda harganya dengan satu liter pertalite, minuman mobil kita. Maka sesungghnya air kemasan itu sudah tidak murah lagi harganya. Padahal air itu melimpah ada di sekitar kita, namun karena kualitas air yang sudah rusak maka hanya mata air alami itu yang dapat kita minum langsung.
Sebelum semuanya berakhir, kini kita berada pada posisi tidak lagi melihat hutan dan bentang alam hanya sebagai sumber daya dan aset keuntungan semata, tapi harus memandangnya sebagai penopang kehidupan bersama. Gerakan penghijauan di darat, di pantai, lahan gambut dan mangrove, restorasi spesies dan ekosistem, menanam pohon di pekarangan harus terus digelorakan, menjadi napas pembangunan. Water for Face tak terlepas dari Menara Pohon Air Kehidupan.
Bogor, 17 Mei 2024.