785 views Anak Muda, Perjuangan Pangan Lokal dan Adaptasi Perubahan Iklim - KEHATI KEHATI

Anak Muda, Perjuangan Pangan Lokal dan Adaptasi Perubahan Iklim  



Beragam Suguhan Display Mengenai Pangan Lokal Khas Indonesia

  • Date:
    06 Jun 2024
  • Author:
    KEHATI

Anak Muda, Perjuangan Pangan Lokal dan Adaptasi Perubahan Iklim

 Christopel Paino

Dalam dua dekade terakhir, kakao telah menjadi primadona bagi masyarakat di Desa Hokeng Jaya, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Apalagi ditunjang dengan harga yang bagus ketika itu, sebagian besar warga berbondong-bondong menanam kakao. Mereka meninggalkan tanaman lokal dan menggantungkan nasib pada buah kakao.

Namun semuanya perlahan berubah sejak tahun 2011. Serangan hama pada buah kakao menghancurkan harapan-harapan yang telah membubung tinggi. Hasil panen tidak sesuai yang diinginkan. Bijinya menjadi kecil, hitam dan rusak. Produktifitas menurun.

Sementara di Desa Hewa, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, kondisi serupa juga terjadi. Program pencetakan sawah baru yang dibawa pemerintah sekira tahun 2015-2016 membuat masyarakat terlena dan mengabaikan kekayaan pangan lokal mereka sendiri. Seiring berjalannya waktu, mata air kering dan beberapa di antaranya mengalami penurunan debit.

“Progam pencetakan sawah baru ini sepertinya tidak siap karena air bermasalah. Lalu orang-orang mulai melupakan pangan lokal, mulai makan beras dan makanan instan yang datang dari luar. Padahal banyak sekali kekayaan pangan lokal di kampung sendiri,” ungkap Hengky Ola Sura, penanggung jawab lapangan dari Yayasan Ayu Tani Mandiri.

Yayasan Ayu Tani Mandiri adalah organisasi non pemerintah yang berada di Kabupaten Flores Timur dan melakukan pendampingan masyarakat di Desa Hewa dan Desa Hokeng Jaya. Serangan hama dan hilangnnya mata air itu seperti membuka mata semua orang bahwa pangan lokal dan keberagamannya tidak boleh ditinggalkan dan tidak boleh hanya menggantungkan pada satu tanaman komoditi saja.

Masyarakat etnis Lamaholot yang ada di dua desa tersebut, sebelumnya menggunakan lahan mereka untuk budidaya tanaman pangan lokal seperti padi, ubi, kacang-kacangan, pisang dan juga jagung jenis lokal. Namun mereka pada akhirnya beralih ke tanaman komoditi seperti kakao dan beras yang dipasok oleh pemerintah.

Lalu ketika serangan hama datang seiring dengan musim yang tidak menentu, masyarakat tidak bisa lagi mengandalkan dengan menimbang biji kakao untuk membeli kebutuhan hidup.

“Pangan menjadi persoalan mendasar di dua desa tersebut. Bahkan ada warga yang pergi keluar kampung sebelahnya untuk berladang, karena lahan mereka sudah penuh dengan tanaman komoditi,” ujar Hengky lagi.

 

Menggerakkan Anak Muda

Bagi warga, alam disebut tidak lagi bersahabat. Perubahan iklim seolah menjelma menjadi hantu yang tak terlihat keberadaannya, namun dampaknya sangat mereka rasakan. Untuk mengatasi persoalan tersebut, Yayasan Ayu Tani Mandiri mengajak anak-anak muda di dua desa itu untuk mengampanyekan pangan lokal dan dampak dari perubahan iklim yang sudah dialami oleh masyarakat Lamaholot.

Untuk memulainya, mereka menggelar diskusi secara reguler bersama anak-anak muda, mengidentifikasi permasalahan, dan bagaimana mencari cara menyelesaikan permasalahan tersebut. Kegiatan penyadaran ini melahirkan para champions muda di setiap desa yang mereka sebut sebagai penggerak lokal.

“Dampak perubahan iklim di tempat kami sangat merugikan masyarakat hingga memicu konflik sosial,” ucap Maria Mone Soge, perempuan muda dari Desa Hewa.

Maria Mone Soge atau yang sering disapa Shindy Soge adalah salah satu anak muda penggerak lokal yang merupakan hasil pendampingan dari Yayasan Ayu Tani Mandiri. Shindy aktif menyuarakan isu pangan lokal dan melakukan adaptasi perubahan iklim di kampung-kampung yang ada di Kecamatan Wulanggitang.

Anak-anak muda ini bersuara dan melakukan aksi menghadapi tantangan yang terjadi di kampung mereka, yakni ketergantungan masyarakat terhadap pangan instan. Selain itu, tantangan lainnya yang mereka hadapi adalah menurunnya kebanggaan anak muda terhadap pangan lokal. Hal itu disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang hanya mengutamakan beberapa komoditas tertentu seperti beras dan promosi besar-besaran dari industri makanan instan.

Menurut Shindy, pangan lokal bagi masyarakat Lamaholot adalah identitas yang menjadi bagian dari nilai-nilai budaya. Melestarikan dan memperkuat pangan lokal berarti melestarikan budaya. Pangan lokal dapat menjadi peluang untuk mengenalkan lebih dekat soal isu perubahan iklim kepada generasi muda dan masyarakat desa.

“Awal mula perubahan iklim itu masyarakat belum tahu, tapi bisa mereka rasakan dampaknya. Misalnya dari sekian banyak mata air, ada dua kering total dan beberapa mengalami penurunan debit. Kekeringan mata air ini mengakibatkan penurunan produktifitas pertanian khususnya untuk lahan basah,” kata Shindy.

Di tempatnya masyarakat menggunakan dua model pertanian yakni dengan sistem pengelolaan lahan basah, yang memanfaatkan sumber mata air dan pengelolaan lahan kering yang bersumber dari hujan. Ketika terjadi perubahan iklim, baik lahan basah maupun lahan kering mengalami penurunan produktifitas panen; apalagi masyarakat hanya bergantung pada satu jenis pangan saja.

“Padahal di tempat kami memiliki keberagaman pangan yang melimpah. Tapi sebagian besar pangan lokal itu mulai ditinggalkan dan beralih ke pangan instan yang dibeli dari luar wilayah, misalnya beras yang dibeli dari luar,” kata Shindy.

Gerakan Adaptasi Perubahan Iklim

Perubahan iklim yang terjadi di kampungnya bahkan membuat hubungan kekerabatan masyarakat menjadi retak. Hal itu terjadi karena adanya perebutan sumber air. Masing-masing warga berebut air untuk bisa mengairi sawah mereka atau untuk kebutuhan sehari-hari. Perebutan air tersebut berujung pada adu mulut antar saudara, keluarga, hingga tetangga, dan bahkan tak jarang sampai pada adu fisik.

“Kondisi iklim membuat air susah dan hubungan masyarakat yang tadinya harmonis menjadi retak. Maka kami sebagai anak muda perlu mencari solusi menyelesaikan konflik,” ucap Shindy.

Shindy kemudian mengorganisir anak-anak muda di komunitas bersama karang taruna, melakukan konservasi mata air yang peruntukkannya untuk lahan pertanian dan konsumsi rumah tangga. Caranya dengan menanam tumbuhan berakar serabut yang bisa menyerap air, salah satunya adalah bambu. Tanaman multiguna ini juga dikenal sebagai tanaman konservasi yang mampu menyerap air hujan hingga 90 persen, serta memiliki nilai ekonomi tinggi.

Di Desa Hewa sendiri, Shindy dan anak-anak muda lainnya berhasil mengidentifikasi 17 jenis padi lokal dan 5 jenis jagung lokal yang dikelola di lahan kering. Pangan lokal itu disebut cocok dan mampu bertahan dengan kondisi iklim kering di Desa Hewa. Mereka kemudian berencana membuat perpustakaan benih lokal dengan harapan bisa menjadi tempat belajar, menggali potensi yang ada, dan menunjukkan keberagaman pangan lokal sebagai kekuatan dalam adaptasi perubahan iklim.

Tidak sampai di situ, gerakan aksi adaptasi perubahan iklim ini juga menyasar pada penghijauan kampung, pelestarian dan kampanye pangan lokal, serta inisiasi wirausaha hijau berbasis pangan lokal.

“Di komunitas kami mulai mengembangkan usaha kuliner pangan lokal yang diolah dalam berbagai jenis. Bahan bakunya kami tanam sendiri, kemudian olah sendiri, lalu bibitnya kita budidayakan lagi untuk regenerasi pangan selanjutnya. Kemasannya juga ramah lingkungan, mudah terurai, hingga tidak menimbulkan jejak karbon dari sampah olahan pangan kami,” jelas Shindy.

Selain melakukan gerakan tersebut, ia dan anak-anak muda lainnya menyuarakan aksi mereka kepada para pemangku kebijakan, mulai dari level desa, kecamatan, kabupaten hingga di level provinsi; mengingat NTT merupakan salah satu tempat di Indonesia yang paling terdampak perubahan iklim. Ia berharap kebijakan terkait iklim harus berpihak kepada kelompok rentan yang sering kali terdampak berat oleh perubahan iklim.

Aktifitas Shindy dan anak-anak muda ini kemudian menjadi bagian dari Koalisi Pangan BAIK, yang didalamnya bergabung berbagai lembaga, yakni Yayasan KEHATI, KRKP (Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan), Yayasan AYO Indonesia, Yayasan Ayu Tani Mandiri dan YASPENSEL (Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Larantuka). Shindy dan anak-anak muda lainnya menjadi inovator, fasilitator, sekaligus didorong sebagai pemimpin muda dalam melahirkan kebijakan dan program perubahan iklim yang inklusif dan berkeadilan sebagai jalan peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya dalam sektor pangan dan pertanian.