2,419 views Opini : Bahaya Sampah Antropogenik, Biodiversity yang Tergerus Minimnya Simpati - KEHATI KEHATI

Opini : Bahaya Sampah Antropogenik, Biodiversity yang Tergerus Minimnya Simpati



Burung Egrang Sayap Hitam berada di atas tumpukan sampah di Teluk Jakarta (Foto :Shutterstock)

  • Date:
    22 Feb 2024
  • Author:
    kehati administrator

OPINI

Oleh :

Alvin Putra Priyambodo

Solid Waste Management Campaign Strategist

Waste4Change

 

 

“Ketidakpedulian manusia terhadap alam tidak hanya merugikan lingkungan, tetapi juga mengancam keberlangsungan hidup spesies-spesies lain, termasuk manusia itu sendiri.”

– Dr. Sylvia Earle, Ahli Kelautan dan Penjelajah Laut.

 

Indonesia sebagai negara kepulauan yang dilalui garis Wales & Weber, menjadikannya kaya akan keanekaragaman hayati dan termasuk ke dalam negara mega biodiversitas. Diperkirakan 17 persen satwa di dunia hidup di Indonesia. Indonesia juga berada di coral triangle yang menyimpan lebih dari 75 persen jenis karang dunia. Kondisi tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki kekayaan biodiversitas tertinggi kedua di dunia.

 

Sayangnya, keanekaragaman hayati tersebut semakin terancam dengan berbagai macam perubahan yang terjadi pada dunia. Diperkirakan pada abad selanjutnya kita akan kehilangan 20-50 persen dari total spesies hayati yang ada, termasuk diantaranya spesies yang belum ditemukan (Rossi, 2014). Mengutip dari IUCN Red List, setidaknya terdapat 583 spesies di Indonesia yang saat ini terancam punah. Salah satu penyebab terbesar, hilang dan rusaknya hal tersebut adalah kegiatan manusia yang berdampak negatif bagi lingkungan (antropogenik).

 

Sampah yang tidak terkelola dengan baik merupakan keluaran terbesar dari aktivitas manusia yang sangat berdampak bagi lingkungan. Semakin bertumbuhnya populasi manusia, semakin tinggi pula tingkat konsumsi yang berbanding lurus dengan tingkat kontribusinya dalam peningkatan jumlah sampah di lingkungan.

 

Berdasarkan survei BPS, terdapat 72 persen masyarakat Indonesia tidak peduli dengan sampah yang dihasilkannya. Terdapat lebih dari 60 juta ton sampah yang dihasilkan Indonesia setiap tahunnya. Dari jumlah sampah tersebut, ironinya hanya 7,5 persennya yang mampu didaur ulang. Jika permasalahan ini tidak segera kita selesaikan, maka hal ini akan menjadi permasalahan akumulatif yang semakin memperburuk kondisi dan kualitas lingkungan hidup di sekitar kita.

 

Peningkatan Suhu Bumi

 

Sampah organik menjadi salah satu penyumbang emisi ke atmosfer. Indonesia memiliki jumlah sampah organik mencapai 40 persen dari total komposisi sampah harian. Sebagian besar sampah organik tersebut tidak terkomposkan atau diolah, melainkan berakhir langsung di TPA.

 

Sampah organik yang tidak terolah dengan baik akan menghasilkan gas metana (CH4), zat yang lebih kuat dari CO2 dalam menangkap panas. Mengutip laman Livescience, gas metana merupakan komponen utama gas alam yang mudah terbakar. Hal tersebut merupakan faktor utama terjadinya bencana kebakaran TPA di beberapa kota pada satu tahun terakhir. Selain itu, aktivitas pembakaran sampah juga masih sering dijumpai, bahkan 5 persen sampah di Indonesia berakhir dengan dibakar.

 

Emisi gas rumah kaca dari aktivitas manusia menyebabkan peningkatan suhu global sebesar 1,1°C sejak awal abad ke-20, dan diproyeksi akan mencapai 3°C pada tahun 2100 (IPCC, 2021). Peningkatan suhu bumi yang begitu cepat ini, tidak mampu diikuti oleh semua makhluk hidup. Tumbuhan dalam hal ini memiliki kemampuan beradaptasi pada perubahan suhu. Namun, jika perubahan tersebut terjadi dalam waktu yang sangat singkat, kemampuan adaptasi tumbuhan tidak akan bekerja lebih cepat daripada kepunahannya.

 

Sama halnya dengan yang terjadi di dalam lautan. Peningkatan suhu menyebabkan terjadinya coral bleaching, proses memutihnya karang yang akan berujung pada kematian dan hilangnya habitat dari berbagai spesies. Selain itu, kenaikan suhu juga dapat berdampak pada produsen oksigen terbesar di bumi, yaitu fitoplankton. Peningkatan suhu ekstrim mampu menghambat proses fotosintesis fitoplankton dalam memproduksi oksigen.

 

Scientific American juga melansir bahwa kenaikan suhu air laut membuat populasi zooplankton meningkat, yang dimana santapan utama mereka adalah fitoplankton. Jika terjadi ketidakseimbangan pada tingkat produsen utama, tentu saja hal ini akan mengganggu rantai ekosistem.

 

Pencemaran Laut

 

Mengutip dari sampahlaut.id, 80 persen sampah laut yang ada di perairan Indonesia berasal dari darat dan 30 persen di antaranya merupakan sampah plastik. Pada Konferensi Kelautan PBB tahun 2017 disebutkan bahwa setiap tahunnya limbah plastik yang bocor ke lautan telah membunuh 1 juta burung laut, 100 ribu mamalia laut, kura-kura laut, serta ikan-ikan yang tidak mampu dihitung jumlahnya.

 

Sampah yang dihasilkan manusia ketika berada di laut juga sama bahayanya, salah satunya adalah fenomena ghost fishing. Hal ini terjadi ketika alat tangkap nelayan (jaring, pukat, perangkap) terlepas ke lautan secara sengaja atau tidak sengaja dan menyebabkan kerusakan karang serta membuat banyak hewan laut terperangkap.

 

Beberapa satwa yang menjadi korban sampah (foto dok. penulis)

 

Bahaya bocornya sampah ke laut juga terjadi pada tingkat yang tidak kasat mata, seperti mikroplastik. Partikel plastik yang sangat kecil ini (0,3-5 mm) terbentuk dari hasil degradasi plastik, ataupun hasil man-made (contoh: microbeads). Mikroplastik yang tidak sengaja tertelan oleh hewan laut dapat menyebabkan masalah pencernaan, pertumbuhan, dan reproduksi.

 

Sesuai dengan cara kerja rantai makanan, tubuh manusia juga tercemar mikroplastik melalui hewan laut yang dikonsumsi. Dalam jurnal Environmental Pollution tahun 2021, disebutkan bahwa mikroplastik menyebabkan peradangan dan kerusakan sel pada tubuh manusia serta meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular.

 

 

Darurat TPA

 

Sampah yang dihasilkan di Indonesia sebanyak 69 persen dari total sampah harian diantaranya, masih berakhir langsung ke TPA (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015). Tanpa adanya solusi yang nyata untuk menanggulangi hal ini, TPA akan berperan sebagai bom waktu bagi lingkungan sekitarnya.

 

Bahkan banyak TPA di Indonesia yang saat ini terancam penuh, akan tetapi tetap beroperasi meskipun sudah melibihi kapasitas yang seharusnya. Hal ini berisiko akan menimbulkan bencana yang berdampak langsung bagi manusia terutama mereka yang tinggal di sekitar TPA. Dampak bencana tersebut seperti tercemarnya air tanah, polusi udara dari sampah, terciptanya sumber penyakit, longsoran gunung sampah, hingga ledakan dan akibat gas metana.

 

Bencana persampahan yang paling memukul Indonesia adalah tragedi longsornya TPA Leuwigajah pada 21 Februari 2005, yang disebabkan oleh curah hujan tinggi dan ledakan gas metana. Dampak dari bencana tersebut adalah 157 jiwa melayang dan 2 desa terhapus dari peta, sehingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan tanggal tersebut menjadi Hari Peduli Sampah Nasional (HSPN).

 

Dalam rangka memperingati HSPN dan memperjuangkan lingkungan hidup, mari kita mulai langkah sederhana dalam pengelolaan sampah.

Paradigma baru pengelolaan sampah

Mayoritas pengelolaan sampah yang diterapkan saat ini masih berfokus pada bagian hilir (TPA). Marilah kita bergerak untuk peduli terhadap lingkungan dengan beberapa langkah yang bisa dimulai dari diri sendiri, di antaranya melalui:

 

  • Reduce (Mengurangi), dapat dimulai dengan menjadi konsumen yang bijak dengan membeli barang berkualitas baik dan sesuai kebutuhan. Gunakan barang substitusi (tote bag, tumbler, lunch box, dll) untuk mengurangi produksi sampah.
  • Reuse (Menggunakan Kembali), memperpanjang usia suatu barang dengan menggunakan kembali barang yang masih bisa digunakan (wadah skin care, botol PP/HDPE, dll), atau memperbaiki barang yang masih layak pakai.
  • Recycle (Mendaur ulang), mulailah memilah sampah dari sumber dan menyetorkan/menyumbangkannya ke pendaur (pemulung, bank sampah, Waste4Change, dll)
  • Setelah melakukan 3R, harapannya sampah yang berakir di TPA adalah material yang memang belum bisa terdaur ulang atau terkelola.

 

 

Oleh:

Alvin Putra Priyambodo

Solid Waste Management Campaign Strategist

Waste4Change

 

Profil Singkat penulis :

 

Berkecimpung sebagai penggiat alam selama 4 tahun di Fakultas Pertanian UNPAD, Alvin membangun ketertarikan terhadap kelestarian lingkungan hidup. Pekerjaannya di bidang persampahan, yang saat ini dijalani, mendorongnya untuk berperan lebih aktif dalam mengurangi dampak buruk sampah terhadap lingkungan. Alvin telah bergabung dengan Waste4Change sejak 2021 dan telah memiliki pengalaman dalam mengedukasi komunitas, pelajar, dan karyawan perusahaan tentang pengelolaan sampah yang bertanggung jawab.