Faktor Sosio-Ekologis Sangat Berpengaruh Terhadap Keberhasilan Konservasi
Seorang anak membantu neneknya membuat atap rumah (Foto Ilustrasi : Ninja SS/Shutterstock)
-
Date:
04 Apr 2023 -
Author:
KEHATI
Konservasi lingkungan di Indonesia seringkali gagal karena konsepnya tidak membumi. Aspek adat dan budaya masyarakat (local wisdom) sering kurang digali sehingga upaya konservasi sulit diterima masyarakat. Sebuah studi kolaboratif antar perguruan tinggi menunjukkan bahwa faktor sosio-ekologis turut berpengaruh terhadap keberhasilan proyek konservasi.
Peneliti dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB, Dr. Angga Dwiartama, mengatakan, konservasi menjadi faktor penting di Indonesia karena telah terjadi penurunan populasi, kerusakan hutan, dan sebagainya. “Konservasi berbasis masyarakat terbukti mampu mengatasi masalah-masalah itu di Indonesia, bahkan dunia. Indonesia telah memiliki perhutanan sosial sebagai perwujudan konservasi berbasis masyarakat. Namun terjadi perdebatan apakah perhutanan sosial ini berhasil atau tidak,” kata Angga kepada tim KEHATI.
Dalam kegiatan pemaparan hasil penelitian yang dilakukan akhir Januari 2023 lalu di kantor KEHATI, Angga menyampaikan bahwa selama ini studi tentang konservasi berbasis masyarakat masih berfokus pada indikator-indikator kuantitatif seperti luas hutan, populasi spesies kunci, jumlah konflik dan sebagainya. “Indikator kuantitaf sering dipakai untuk mengukur kegagalan atau keberhasilan. Padahal konteks sosio-ekologis sangat berpengaruh pada keberhasilan konservasi,” tutur Angga.
Ia mencontohkan bagaimana proyek konservasi di suatu tempat bisa berhasil karena memang target-targetnya mudah dijangkau dan kehidupan masyarakatnya relatif stabil. Sementara di tempat lain, target konservasi bisa sangat sulit dipenuhi karena persoalan kehidupan masyarakatnya yang cukup komplek. Angga dan timnya menyampaikan hasil studinya tentang bagaimana masyarakat membangun resiliensi-ekologis dan dampaknya terhadap aktivitas konservasi berbasis masyarakat yang telah dibangun.
Studi bertajuk “Seeing Beyond the Success and Failure of Community in Indonesia” tersebut merupakan kolaborasi tiga peneliti dari tiga universitas, yaitu Dr. Angga Dwiartama, dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB dengan kompetensi Sosiologi Pertanian, Pangan, dan Lingkungan; Rhino Ariefiansyah, S.Sos., M.E.A.P. dari Departemen Antropologi UI dengan kompetensi Antropologi Visual; dan Hendra Maury, S.Si., M.Si, dari Departemen Biologi MIPA Universitas Cendrawasih dengan kompetensi Ekologi.
Pendekatan Resiliensi
Para peneliti itu mengevaluasi beberapa proyek konservasi berbasis masyarakat. Ternyata hasilnya sangat beragam. Ada yang mengklaim proyek konservasinya berhasil ada yang mengklaim gagal. Namun konteks keberhasilan maupun kegagalan itu pun sangat beragam juga. Angga mencontohkan, ada dana sekian milyar disalurkan untuk konservasi dan berhasil dengan mudah karena kondisi masyarakatnya memang sudah siap, kondisi ekosistemnya juga sudah baik.
Sementara itu di tempat lain, dana yang disalurkan sangat besar. Jor-joran. Tetapi program konservasinya tidak pernah berhasil karena berbagai sebab. Misalnya saja tingkat konfliknya tinggi, masyarakatnya rentan terhadap gejolak kehidupan ekonomi dan lain-lain.
“Kita mau melihat apa faktor di balik berhasil dan gagalnya konservasi. Kita mau melihat konteks sosial ekologisnya di belakang itu. Salah satu cara untuk menangkap, mengcapture, adalah dengan menggunakan pendekatan resiliensi. Bukan semata keberhasilan konservasinya tapi juga apakah masyarakatnya cukup resilien, cukup tangguh” tutur Angga.
Para peneliti ingin melihat bagaimana kemampuan masyarakat beradaptasi terhadap guncangan dan perubahan dengan memanfaatkan sumber daya di sekitar mereka. Yang dimaksud guncangan dan perubahan ini bersifat lokal, sehingga faktor eksternal yang mempengaruhi masyarakat di setiap daerah berbeda-beda.
Spektrum masyarakat yang dilibatkan dalam konservasi cukup luas yaitu masyarakat sebagai penggerak, sebagai perencana, sebagai pelaksana, atau sebagai penerima manfaat. Penelitian mengambil masyarakat yang sudah terhubung dengan LSM, yang baru maupun yang sudah cukup lama.
Punya Strategi Beragam
Hasil Studi berhasil memetakan strategi penghidupan masyarakat. Kelompok masyarakat yang diteliti punya strategi penghidupan yang beragam. Mereka cukup fleksibel sehingga mereka lebih kuat dalam menerima guncangan ekonomi maupun guncangan lingkungan.
Salah satu hal menarik lainnya adalah, masyarakat tersebut punya cukup fleksibilitas dan adaptibilitas. Mereka mampu menyesuaikan antara ekonomi yang sifatnya subsisten, seperti berburu atau mengambil hasil hutan, dengan ekonomi yang bersifat pasar seperti komiditas kelapa, karet atau kayu manis.
Ketika fleksibilitas itu hilang, misalnya karena tidak bisa lagi mengakses hutan, maka mereka kehilangan resiliensi di situ. Kami ingin menekankan bahwa ruang-ruang gerak di masyarakat harus dibuka selebar-lebarnya sehingga mereka bisa punya fleksibilitas untuk beradaptasi.
Penelitian juga mengidentifikasi beberapa guncangan yang bisa berdampak terhadap resiliensi masyarakat yaitu fluktuasi harga, akses terhadap informasi, perubahan iklim, dan tekanan pembangunan dari luar yang efeknya cukup besar seperti kelapa sawit dan konsesi kayu. Berbagai temuan riset tersebut disampaikan kembali ke masyarakat melalui perwakilan-perwakilannya, untuk mendengar respon mereka dan cara mereka memahami pentingnya resiliensi dan konservasi.
Mengenai keterlibatan masyarakat dalam konservasi, Rio Bunet, Manager Program Ekosistem Hutan Yayasan Kehati, ketika dihubungi terpisah mengatakan bahwa untuk menyusun konsep konservasi harus dilihat juga sejauh mana jarak antara masyarakat dengan konsep tersebut. “Jangan sampai kita sudah menjelaskan berbusa-busa tapi mereka tidak melihat ada manfaatnya buat mereka,” ujar Rio.
Ada konsep konservasi yang ternyata sudah berakar dalam budaya masyarakat, misalnya karena terkait dengan kepercayaan lokal. Masyarakat yang hidupnya tergantung pada sebuah mata air akan lebih mudah diajak mengkonservasi mata air tersebut lebih dari yang telah mereka lakukan selama ini secara adat.
Menurut Rio, kadang lembaga dana macam Kehati membawa proyek langsung ke tengah masyarakat, sedangkan LSM pendamping dan pelaksana di lapangan, atau lembaga manapun yang kerja sama dengan Kehati, kadang tidak peka terhadap budaya setempat. “Atau local wisdom kurang digali. Padahal kita perlu tahu konsep mereka mengenai konservasi ini secara budaya macam apa,” sambung Rio.
(Armunanto/Tim KEHATI)