Opini : Hutan Larangan, Sebuah Harapan Menjaga Bumi
Keindahan alam dari hutan yang terjaga kelestariannya di air terjun Tumpak Sewu Kab. Lumajang, Prov. Jawa Timur (Ilustrasi/Shutterstock)
-
Date:
26 Mei 2023 -
Author:
KEHATI
Oleh Taufik Wijaya*]
Kedatuan Sriwijaya, salah satu kerajaan di Indonesia yang menghormati alam. Salah satu buktinya Prasasti Talang Tuwo [1]. Prasasti yang dibuat pada 684 Masehi, menyebutkan pembuatan taman [lanskap] bernama Sri Ksetra, berisi beragam tanaman, seperti pinang, aren, kelapa, bambu, yang diperuntukan semua makhluk hidup. Tujuannya, semua makhluk hidup itu hidup sejahtera dan bahagia.
Artinya, raja Sriwijaya, bernama Srijayanasa, menginginkan alam dapat menghidupi semua makhluk hidup.
Selama ratusan tahun, Kedatuan Sriwijaya yang sumber ekonominya dari komoditas alam, mampu menjaga keberadaan hutan baik di dataran tinggi maupun rendah, sungai, danau, rawa, serta laut, dari kerusakan.
Berbagai tradisi yang dilahirkan masyarakat Sriwijaya [Sumatra Selatan], juga beranjak dari pengetahuan yang selaras dengan alam. Misalnya sumber protein [pangan] yang mengutamakan ikan dan unggas, sehingga populasi satwa berkaki empat terjaga di alam.
Rumah panggung menggunakan kayu, dibangun terbatas. Sebuah rumah panggung dihuni beberapa keluarga. Rumah pun diwariskan, sehingga dapat digunakan beberapa keturunan. Artinya, mereka tidak berlebihan menggunakan kayu, meskipun pohon berlimpah di lingkungannya.
Sama seperti pangan, obat-obatan yang digunakan masyarakat Sumatra Selatan berasal dari alam. Maka mereka menjaga kelestarian hutan dan perairan sebagai sumber pangan dan obat-obatan.
Sumatra Selatan yang luasnya sekitar 9,15 juta hektare, seperti daerah lain di Indonesia, menghadapi berbagai aktifitas ekonomi ekstraktif atau antropogenik yang menyebabkan kerusakan ekosistem daratan maupun perairan.
Dr. Muhammad Iqbal, peneliti ikan Universitas Sriwijaya, menyebutkan ratusan anak Sungai Musi hilang, termasuk Palembang yang kehilangan sekitar 200-an sungai, beserta kritisnya sekitar 400-an jenis ikan air tawar.
Sejak 1997, hampir setiap tahun ratusan ribu lahan gambut di Sumatra Selatan terbakar dan menimbulkan bencana kabut asap. Sekitar 615.907 hektare gambut di Sumatra Selatan menjadi target restorasi.
Selain kebakaran lahan dan hutan, sejumlah wilayah di Sumatera Selatan juga mengalami banjir, longsor, dan kekeringan.
Berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.454/MENLHK/SETJEN/PLA.2/6/2016 ditetapkan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Provinsi Sumatra Selatan luasnya 3.457.858 hektare.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Sumatra Selatan memperkirakan jutaan hektare hutan di Sumatra Selatan mengalami kerusakan atau berubah fungsi.
Dari luasan hutan tersebut, sekitar 1,25 juta hektare digunakan perusahaan HTI [Hutan Tanaman Industri]. Kemudian penambangan batubara yang menggunakan lahan seluas 625.847,88 hektare, serta perkebunan sawit sekitar 1.233.259 hektare, serta ratusan ribu hektare kawasan [mangrove] digunakan pertambakan udang.
Hutan Larangan yang Bertahan
Pada 2019 lalu, saya mengunjungi Dusun Tebat Benawa [2] yang berada di Kecamatan Dempo Selatan, Kota Pagaralam, Sumatra Selatan.
Tebat Benawa, dusun tua Suku Basemah. Suku Basemah menetap di wilayah tinggi di Sumatra Selatan, seperti Pagaralam, Lahat, dan Empat Lawang.
Di dusun ini terdapat hutan larangan, bernama Mudek Ayek Tebat Benawa. Setiap warga di Dusun Tebat Benawa maupun orang luar, dilarang mengakses hutan seluas 336 hektare tersebut. Misalnya menebang pohon, berkebun atau membangun pondok. Mereka hanya boleh masuk hutan larangan untuk mencari rotan dan tanaman obat.
Kedung Samad, leluhur atau puyang di Tebat Benawa, mengamanahkan kepada seluruh keturunannya agar menjaga hutan larangan, yang merupakan salah satu sumber mata air Sungai Lematang.
Di hutan larangan tersebut tumbuh rasamala [Altingia excelsa], beragam meranti [Shorea], medang [Litsea SP], serta sejumlah jenis rotan [Calamus dan Daemonorops]. Serta, menjadi koridor harimau sumatra [Panthera tigris sumatrae] yang dihormati Suku Besemah.
Masyarakat di Dusun Tebat Benawa percaya jika mereka diamanahkan leluhurnya untuk menjaga Sungai Lematang.
Keyakinan tersebut juga dipegang komunitas Suku Besemah lainnya di Kabupaten Lahat. Misalnya masyarakat di Desa Air Dingin Lama yang memiliki hutan larangan Dusun Buhuk, Desa Tanjung Kurung dengan hutan larangan Tanjung Kurung, Desa Gunung Kembang dengan hutan larangan Gunung Kembang.
Fungsi Hutan Larangan
Yulion Zalpa dari FISIP UIN Raden Fatah, yang meneliti hutan larangan Dusun Buhuk, Desa Air Dingin Lama, Kecamatan Tanjung Tebat, Kabupaten Lahat, menjelaskan hutan larangan adalah hutan yang dilarang untuk aktifitas ekonomi dan pangan.
Aturannya, pertama, hutan larangan tidak boleh dirusak, apalagi membuka kebun dan pemukiman. Kedua, tidak boleh berburu satwa. Hutan larangan hanya dapat diakses guna mendapatkan sejumlah tanaman obat-obatan.
Dijelaskan Yulion, keberadaan hutan larangan di Sumatra Selatan merupakan pengetahuan yang selaras dengan amanah Raja Sriwijaya [Prasasti Talang Tuwo]. Sebab melestarikan hutan menjaga keberlangsungan hidup semua makhluk.
Manfaat hutan larangan bagi umat manusia pada hari ini, katanya, hutan tersebut turut berperan menjaga paru-paru dunia, mencegah pemanasan global, menjaga kualitas sumber air, mengendalikan polusi, serta menjadi habitat berbagai flora dan fauna.
Christian Jefferson dan kawan-kawan [3] dari Institut Teknologi Bandung [ITB] yang melakukan penelitian hutan larangan Adat Rumbio, Riau, menulis “Peran Budaya Hutan Larangan Adat Riau Sebagai Contoh Solusi Pelestarian Ekosistem di Indonesia” di Jurnal Kewarganegaraan Vol. 5 No. 2 Desember 2021, menyimpulkan bahwa budaya hutan larangan adalah cara masyarakat menjaga kelestarian ekosistem.
Butuh Pengakuan
Sebagian besar masyarakat adat di Indonesia memiliki budaya hutan larangan. Misalnya, di Pulau Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, hampir semua hutan di bukit merupakan hutan larangan [4]. Misalnya Gunung Maras, Bukit Tuing, Bukit Tabun, dan Bukit Pelawan. Suku yang merawat hutan larangan, seperti Suku Mapur, Suku Maras, dan Suku Jerieng.
Merawat hutan larangan bertujuan agar terhindar dari bencana, seperti longsor, banjir, dan kekeringan.
Keberadaan hutan larangan di Indonesia terancam. Secara hukum, hutan larangan belum diakui pemerintah Indonesia. Sebab lokasi hutan larangan bukan hanya di kawasan lindung dan konservasi. Sebagian berada di hutan produksi. Akibatnya, ditemukan adanya kawasan hutan larangan yang dirambah atau terancam oleh aktifitas HTI [Hutan Tanaman Industri] dan perkebunan sawit.
Dr. Yenrizal, pengamat lingkungan hidup dari UIN Raden Fatah, menyatakan pemerintah Indonesia harus mengakui keberadaan hutan larangan. Jika diakui, maka peranan bangsa Indonesia dalam menjaga bumi kian terjamin. Hutan larangan merupakan budaya luhur bangsa Indonesia dalam menjaga bumi.*
*] Taufik Wijaya, jurnalis dan pekerja budaya yang menetap di Palembang. Saat ini menjadi kontributor Mongabay Indonesia.
Referensi:
[1] M. S. Yenrizal, Nilai Nilai Lingkungan Hidup Pada Prasasti Talang Tuwo Perspektif Komunikasi Lingkungan. Cipta Media Nusantara, 2019.
[2] T. Wijaya, “Menjalankan Amanat Leluhur, Suku Basemah Jaga Hutan Adat Sumber Mata Air,” Mongabay Indonesia, 2019.
[3] C. J. Setiawan, D. Anthony, M. Z. Asyifa, and W. A. Izzati, “Peran Budaya Hutan Larangan Adat Riau Sebagai Contoh Solusi Pelestarian Ekosistem Di Indonesia,” Jurnal Kewarganegaraan, vol. 5, no. 2, pp. 768–773, 2021, doi: 10.31316/jk.v5i2.2058.
[4] T. Wijaya, “Setiap Bukit di Bangka adalah Wilayah Larangan, Mengapa?,” Mongabay Indonesia, 2021.