ISPO dan Tantangan Bagi Petani Sawit
-
Date:
12 Jan 2023 -
Author:
KEHATI
Salah satu dampak dari pertambahan penduduk baik secara nasional ataupun internasional adalah meningkatnya kebutuhan akan barang konsumsi. Salah satunya adalah kebutuhan akan minyak sawit. Selain minyak kedelai, bunga matahari, dan minyak lainnya, minyak sawit merupakan minyak nabati yang banyak digunakan untuk berbagai kebutuhan rumah tangga.
Minyak sawit banyak digunakan sebagai bahan dasar berbagai produk, seperti kosmetik, pembersih, makanan, farmasi, bahan bakar nabati (biofuel), dll. Dari segi harga, minyak sawit lebih murah sehingga menarik minat pasar internasional. Dalam rangka memenuhi permintaan pasar yang besar, salah satu kendala yang dihadapi adalah permasalahan di hulu, yaitu perkebunan sawit yang merusak ekosistem hutan.
Produksi Tinggi
Manajer Program SPOS Indonesia Kehati Rostanto S mengatakan, data dari USDA (Departemen Pertanian Amerika Serikat) menyebutkan bahwa pada tahun 2017 luas lahan tanaman penghasil minyak nabati 276,6 juta hektar. Dari luasan tersebut, porsi lahan sawit adalah paling kecil yaitu 8 %. Kedelai menempati urutan pertama sebesar 45 %, disusul conola 13 % dan biji bunga matahari 9 %.
Namun, meski persentase luas lahan sawit paling kecil, minyak sawit paling banyak diproduksi di dunia, yaitu sebesar 32 % dari keseluruhan produksi minyak nabati (202 juta MT), kedelai menempati urutan kedua 29 %, diikuti conola 16%, dan biji bunga matahari (9%). Artinya, secara produksi minyak sawit memiliki tingkat efisiensi yang tinggi dibandingkan minyak nabati lainnya.
Tingginya produksi minyak sawit tersebut konsisten dengan situasi pasar dunia. Dalam kurun 2013 – 2017 telah terjadi kenaikan permintaan sebesar 7 juta MT. Dari total konsumsi minyak nabati internasional (202 juta ton), porsi tertinggi adalah minyak sawit (36,7%), kemudian kedelai (27,5%), conola (13,2%), dan biji bunga matahari (9,6%).
Dianggap Merusak Hutan
Hutan sangat penting bagi keanekaragaman hayati serta menjaga kualitas iklim dan air. Deforestasi mengakibatkan pengurangan luas hutan, tingginya potensi bencana hidrometeorologi dan kerusakan sistem sumber daya air. Dalam jangka panjang dapat menimbulkan masalah pangan akibat dari menurunnya kesuburan tanah dan erosi.
Hal tersebut menjadi perhatian dunia internasional. Oleh sebab itu negara – negara di Eropa menetapkan kewajiban untuk melampirkan sertifikat “Bebas deforestasi” produk sawit. Perusahaan multinasional seperti Unilever secara internal mulai menerapkan “Responsible Sourcing Policy”, yang berfokus pada upaya pengurangan dampak lingkungan.
Indonesia merupakan produsen sawit terbesar di dunia, yang menurut Rostanto telah menguasai 66% pangsa pasar, dan memasok 51,6 juta ton (data 2021) dari total permintaan internasional. Sebagai akibatnya Indonesia harus menyesuaikan kebijakan protektif lingkungan dari negara – negara tersebut.
Rostanto juga menyampaikan data tentang keterkaitan kelapa sawit dengan kondisi lapangan kerja di Indonesia. Kelapa sawit menyediakan lebih dari 4 juta lapangan kerja langsung dan 12 juta lapangan kerja tidak langsung.
Selain itu kelapa sawit berkontribusi dalam mendukung ketahanan energi, melalui program Mandatori Biodiesel B-30, pada tahun 2020 tingkat produksi telah meningkat sebesar 8.591.368,23 kl, dan melalui program sumber listrik terbarukan dengan 879 pabrik kelapa sawit berkapasitas 38.908 ton Tandan Buah Segar (TBS) per jam. Setiap 500 ton TBS/jam dapat menghasilkan listrik 23,5 MWh. Maka potensi total daya listrik yang dihasilkan sebesar 1.828,68 MWh.
Wajib ISPO
Perkebunan kelapa sawit telah memberikan banyak manfaat bagi kehidupan manusia, baik dari segi konsumsi maupun pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun, untuk mengurangi dampak negatif mata rantai produksi minyak sawit, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No. 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesia Sustainable Palm Oil/ISPO). Regulasi ISPO merupakan bentuk komitmen Indonesia dalam menjawab isu negatif sawit Indonesia.
Penerapan ISPO bersifat wajib bagi seluruh pelaku usaha, termasuk para petani, dan efektif mulai tahun 2025. Dengan terbitnya Peraturan Presiden No. 44 Tahun 2020 tentang ISPO dan Permentan No.38 tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi perkebunan kelapa sawit berkelanjutan menandai masuknya babak baru perkebunan sawit di Indonesia, dan diharapkan dapat sesuai dengan prinsip sustainability yang dikehendaki pasar internasional.
Pemahaman terhadap isu minyak nabati dan upaya memperkenalkan ISPO di pasar dunia menjadi penting bagi Indonesia. Sebagai produsen minyak sawit terbesar, Indonesia perlu mengantisipasi adanya kecenderungam kebijakan seleksi dari Eropa dan Amerika.
Rostanto mengatakan bahwa prinsip ISPO adalah terselenggaranya perkebunan sawit yang layak ekonomi, layak sosial, maupun layak lingkungan. Tantangan bagi pekebun sawit rakyat dalam skema wajib ISPO adalah pemenuhan aspek legalitas lahan kebun dan usaha budi daya juga praktik penerapan GAP dan penanganan limbah B3 serta pembiayaan persiapan maupun audit ISPO.
“Beberapa perkebunan sawit berstatus ilegal karena berada dalam kawasan hutan. “Sebagian besar lahan belum bersertifikat. Ada yang masih girik, bahkan ada yang tidak jelas statusnya. Begitu juga aspek legalitas usaha. Banyak petani masih belum terdaftar,” ungkap Rostanto.
Pemberlakuan standar ISPO bersifat wajib bagi semua pelaku usaha perkebunan kelapa sawit, baik perusahaan maupun petani. Sedangkan untuk petani diberikan tenggang waktu lima tahun yaitu sampai tahun 2025.
Dengan adanya berbagai kendala legalitas lahan maupun badan usaha tersebut, maka tantangan Yayasan KEHATI adalah bagaimana mempersiapkan para petani sawit mampu memenuhi standar sertifikasi ISPO.