1,353 views Jurnalisme Warga : Anak Muda NTT Suarakan Keadilan Iklim - KEHATI KEHATI

Jurnalisme Warga : Anak Muda NTT Suarakan Keadilan Iklim



Pelatihan jurnalisme warga bagi anak muda NTT di Rumah Bina Kerahiman Ilahi, Kota Ende, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Mereka datang dari sejumlah desa di 4 Kabupaten yaitu Lembata, Flores Timur, Manggarai Timur dan Manggarai. (Foto : KEHATI)

  • Date:
    27 Mar 2023
  • Author:
    KEHATI

 

Nusa Tenggara Timur merupakan daerah kepulauan di Indonesia yang paling merasakan dampak dari perubahan iklim. Meskipun di beberapa area mendapatkan curah hujan yang mencukupi, tetapi sebagian besar daerah lainnya relatif kering. Sementara itu ketahanan pangan di banyak wilayah sangat lemah dan membuat masyarakat miskin semakin tidak berdaya.

 

Untuk menyuarakan permasalahan dampak perubahan iklim terkait pertanian dan kedaulatan pangan, puluhan anak muda di Nusa Tenggara Timur mulai mendalami keterampilan sebagai jurnalis warga. Pelatihan yang bertajuk “Suara untuk Keadilan Iklim” ini digelar oleh Koalisi Pangan BAIK dalam program Voices for Just Climate Action (VCA) pada tanggal 9-11 Maret 2023.

 

Sebanyak 52 anak muda berkumpul dan mengikuti pelatihan jurnalisme warga  di Rumah Bina Kerahiman Ilahi, Kota Ende Kabupaten Ende Nusa Tenggara Timur. Anak-anak muda ini datang dari sejumlah desa di 4 Kabupaten antara lain Lembata, Flores Timur, Manggarai Timur dan Manggarai.

 

Asisten Program Ekosistem Pertanian Yayasan KEHATI, Imroatul Mukhlishoh, pada kesempatan yang sama menyampaikan, keterlibatan KEHATI sebagai Ketua Koalisi Pangan BAIK salah satunya adalah memonitor evaluasi untuk memastikan program yang dijalankan sesuai dengan visi. “Visinya adalah memperkuat dan mendorong anak muda dan perempuan menjadi pemimpin dalam lahirnya kebijakan dan program perubahan iklim yang inklusif dan berkeadilan, sebagai jalan peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama dalam sektor pangan dan pertanian,” kata Imroatul atau Iim.

 

Bermain bersama dalam pelatihan untuk menjalin keakraban antar anak muda dari berbagai daerah (Foto : KEHATI)

Para peserta mulai mengikuti sesi pelatihan dengan pendalaman pemahaman tentang keadilan iklim. Mereka diberi kesempatan untuk merefleksikan dampak perubahan iklim yang dirasakan di masing-masing wilayah dan membandingkannya dengan fenomena perubahan iklim global.

 

Dalam pelatihan ini, Koalisi Pangan BAIK menggandeng sejumlah jurnalis muda di NTT, antara lain, Hengky Ola Sura dan Ijas Hagus dari Ekorantt.com, Sandi Hayon dari Kompas.com dan Chitos Natun, Jurnalis Kompas TV wilayah Flores Lembata. Para jurnalis ini memberikan pembekalan kepada para peserta untuk bisa memotret, memproduksi dan mempublikasi karya-karya jurnalistik baik dalam bentuk tulisan juga audiovisual, khusus tentang isu pangan, pertanian dan perubahan iklim.

 

Beranggotakan Yayasan KEHATI (Keanekaragaman Hayati Indonesia), KRKP (Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan), Yayasan AYO Indonesia, Yayasan Ayu Tani Mandiri dan YASPENSEL (Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Larantuka), Koalisi Pangan BAIK merupakan sebuah program yang bertujuan untuk memperkuat dan mendorong anak muda dan perempuan menjadi pemimpin dalam lahirnya kebijakan dan program perubahan iklim yang inklusif dan berkeadilan sebagai jalan peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama dalam sektor pangan dan pertanian.

 

Inisiatif ini diharapkan mampu membuahkan terjadinya perubahan kebijakan dan dukungan yang berpihak bagi kelompok rentan. Koalisi Pangan BAIK adalah bagian dari program VCA (Voices for Just Climate Action) yang didukung oleh Yayasan HIVOS (Humanis dan Inovasi Sosial), bersama tiga koalisi lain, yaitu Koalisi Kopi, Koalisi Adaptasi dan Koalisi Sipil.

 

Berbagi pengalaman

 

 

Velin Jelita (18), peserta asal Desa Bangka Lelak, Manggarai, menyatakan bahwa masyarakat NTT yang sebagian besar menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam terutama di bidang pertanian, peternakan dan perikanan, sangat merasakan dampak perubahan iklim. Menurutnya, ada ketimpangan di sini karena masyarakat NTT dan masyarakat desa pada umumnya merasakan dampak yang lebih berat, meski mayoritas penyebab atau pemicu perubahan iklim justru berada di kota.

 

“Masyarakat desa biasanya dominan di sektor pertanian dan perikanan. Sedangkan di kota banyak di sektor industri. Kegiatan industri di kota banyak berdampak terhadap  perubahan iklim, tapi yang paling merasakan adalah orang desa. Contohnya, kalau curah hujan tinggi, banyak tanaman masyarakat desa mati dan gagal panen. Makanya, menurut saya kegiatan untuk mengatasi dampak perubahan iklim harus banyak dilakukan di desa“, kata Velin.

Salah satu peserta antusias berbagi pengalaman dan membuat bagan persoalan di desanya terkait perubahan iklim. (Foto : KEHATI)

Siswa kelas XII SMAN 1 Lelak – Manggarai ini menambahkan, keluarganya adalah salah satu petani yang sangat merasakan dampak perubahan iklim. Ayahnya adalah petani jahe yang sering mengalami gagal panen akibat curah hujan yang tidak menentu. “Saya punya bapa petani. Tanam jahe. Tapi sering gagal karena banyak hasil yang busuk gara-gara hujan berlebihan”, tuturnya. Terlibat dalam pelatihan jurnalisme warga, Velin Jelita mengaku sangat senang.

 

Saat diberi kesempatan ikut kegiatan ini, Velin Jelita mengaku  sangat senang. Ia memang suka jurnalistik. “Saya suka public speaking dan ingin belajar lagi. Saya dari SMP, memang sukanya mau jadi penyiar atau wartawan,” tambahnya bersemangat. Dirinya bertekad akan belajar jadi jurnalis warga dan bisa ceritakan tentang banyak kondisi petani di desa yang kena dampak perubahan iklim.

 

Semangat serupa disampaikan juga oleh Yohan Edangwala. Ia guru agama pada SMA Negeri 1 Omesuri di Lembata. Yohan datang dari Desa Hoelea II Kecamatan Omesuri. Ia sudah sedikit paham tentang jurnalistik, saat mengikuti sejumlah pelatihan jurnalistik di Kota Kupang, saat menyelesaikan studi sarjana pada STIPAS Kupang. Tapi tidak untuk isu perubahan iklim, yang baru mulai digelutinya. Ia ingin bercerita tentang leye atau jali, tanaman pangan lokal yang sekian puluh tahun ditanam dan menghidupi masyarakat di kampungnya.

 

“Kalau soal jurnalistik, saya pernah belajar di Kupang. Tapi menulis tentang perubahan iklim saya belum pernah. Makanya saya mau ketika kepala desa utus saya ikut kegiatan ini. Di Hoelea, ada satu suku masyarakat yang sejak dulu kala hanya makan leye. Itu makanan lokal di sana. Saya ingin menulis tentang itu. Semua orang harus tahu bahwa tanam dan konsumsi pangan lokal itu, sudah terbukti berhasil juga”, terang Yohan.

 

Ketidakadilan

 

Said Abdullah, fasilitator dari Koalisi Pangan BAIK, juga mengamini kondisi ketidakadilan iklim yang mendera masyarakat NTT. Menurutnya, dari data kajian pangan, pertanian dan iklim yang dikumpulkan oleh koalisi ini tahun 2022, sektor pangan yang didalamnya ada pertanian, peternakan dan perikanan paling terdampak perubahan iklim karena sektor ini bergantung dengan alam dan iklim.

 

“Yang kita temukan bersama masyarakat adalah bahwa sektor yang paling terdampak perubahan iklim adalah sektor pangan. Semua orang tidak terlepas dari urusan pangan. Semua orang rasakan dampak perubahan iklim,” kata Said Abdullah kepada para peserta. Ia mengatakan, curah hujan berkurang di sebagian wilayah, malah berlebihan di wilayah lain yang dulunya kering.

 

Ada banjir, abrasi, gelombang pasang, kekeringan dan longsor. Tetapi petani, peternak dan nelayan paling merasakan itu. “Karena hidup mereka, sumber penghidupan mereka berkaitan langsung dengan alam dan iklim”, ungkap Said.

 

Meski sektor pangan menjadi yang paling terdampak perubahan iklim, namun narasi ketidakadilan iklim yang dialami masyarakat penyedia pangan (petani, peternak dan nelayan) belum banyak dipotret dan disuarakan di ruang publik dan ruang kebijakan.

 

Oleh karena itu, Said mengharapkan anak-anak muda NTT yang terlibat dalam pelatihan jurnalisme warga bisa aktif memotret fenomena ketidakadilan iklim dan menyuarakan inovasi-inovasi aksi iklim yang berkeadilan bagi masyarakat marginal.

 

(Benediktus Kia Assan/LVListyo/Tim KEHATI)