360 views Kelas Konservasi : Menghitung Populasi Harimau Melalui Pendekatan Berbasis Sains - KEHATI KEHATI

Kelas Konservasi : Menghitung Populasi Harimau Melalui Pendekatan Berbasis Sains



Harimau Sumatera (Sumber : TFCA Sumatera)

  • Date:
    20 Jul 2023
  • Author:
    KEHATI

Harimau atau Panthera tigris telah masuk dalam daftar merah IUCN (Uni Internasional untuk Konservasi Alam) sebagai spesies terancam punah dengan sisa populasi secara global sebanyak 3062 hingga 3948 individu dewasa. Hari harimau sedunia yang diperingati setiap tanggal 29 Juli sejak Tiger Summit di Saints Petersbsurg tahun 2010 adalah salah satu upaya untuk memperoleh animo masyarakat dunia terhadap kegiatan konservasi harimau.

 

Diskusi tentang populasi harimau berkaitan erat dengan area di mana mereka ditemukan. Sebagai satwa liar yang pemalu dan medan survei yang menantang, membuat kegiatan sensus harimau ini bukan sebuah pekerjaan yang mudah. Belum lagi banyaknya opsi metode analisis berikut ketentuan data yang harus dipenuhi.

 

Dalam acara webinar Kelas Konservasi “ Bagaimana Menghitung Populasi Harimau,” yang diselenggarakan pada tanggal 20 Juli 2023, pegiat Forum Harimau Kita bidang Flora dan Fauna Indonesia, Wido Rizki Albert menjelaskan, definisi populasi suatu satwa liar yaitu jumlah individu suatu spesies dalam waktu dan lokasi tertentu. Sedangkan kepadatan adalah bagian kecil dari populasi yang dihitung per satuan area. Populasi dan kepadatan suatu satwa liar masuk dalam kriteria studi ekologi dan konservasi yang merupakan kunci sukses dalam upaya-upaya konservasi satwa liar. Sistem kepadatan harimau dihitung dengan jumlah individu per 100 Km2.

 

Kegiatan sensus harimau di alam liar dilakukan dengan bantuan kamera trap atau kamera pengintai untuk mengumpulkan data di lapangan. Para observer menggunakan metode pengintaian paling mutakhir yang disebut Spatial Capture-Recapture. Kamera trap pertama kali digunakan oleh George Shirash pada tahun 1890 an untuk hobi fotografi hitam putih dengan obyek satwa liar.

 

Kamera trap pertama kali digunakan untuk menghitung populasi harimau yaitu di India sekitar tahun 1995. Kamera trap dapat menghasilkan benyak data foto dalam satu kegiatan. Banyak software yang dapat diakses para observer untuk mendukung pengolahan database sebelum memasang kamera trap.

 

Dalam database membutuhkan 3 komponen penting yang perlu dikelola terlebih dahulu agar bisa menghitung kepadatan dan populasi. Tiga komponen tersebut yaitu koordinat dan waktu bongkar pasang kamera, sistem pengolahan foto dan video dengan menggunakan beberapa program sebagai verifikasi ulang, serta penyusunan database dari foto atau video hasil camera trap tersebut.

 

Selain pengolahan database, sebelum pemasangan kamera trap juga perlu dilakukan rancangan survei yang umumnya menggunakan desain petak grid untuk pembagian wilayah, supaya kamera trap yang dipasang terdistribusi dengan rata. Desain grid ini umumnya berukuran 3×3 km, atau bisa juga berukuran 2,5×2,5 km atau bahkan 2×2 km,  tergantung dari lokasi dan juga ketersediaan kamera trap.

 

Satu kamera dipasang mewakili satu wilayah homerange betina dewasa. Survei awal yang wajib dilakukan untuk menentukan lokasi pemasangan kamera trap menjadi bagian krusial dalam memperoleh hasil maksimal.

 

Cara mengidentifikasi suatu individu harimau adalah dengan melihat pola loreng tubuh mereka yang spesifik. Jika pada manusia identifikasi menggunakan sidik jari, maka pada harimau, loreng tubuh merupakan indikator untuk membedakan satu individu dengan yang lainnya.

 

Pola belang pada tubuh harimau berbeda antara bagian kiri dan bagian kanan. Untuk membandingan dua individu harimau, posisi tubuh mereka yang tertangkap oleh kamera harus sama. Oleh karena itu, dalam melakukan pemantauan populasi harimau di alam, pada umumnya menggunakan 2 kamera trap yang dipasang dalam satu titik. Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambar dari 2 sisi tubuh yang berbeda.

 

Sensus harimau di ekosistem hutan menemui banyak tantangan. Seperti pada umumnya satwa liar dalam hutan yang bersifat elusive, akan sangat sulit menemukan mereka secara langsung karena cenderung menghindari bertemu dengan manusia. Faktor lainnya adalah daya dan wilayah jelajah harimau yang sangat besar dan luas. Wilayah jelajah seekor harimau kurang lebih 50-250 Km2. Oleh sebab itu, secara alamiah kepadatan harimau di alam termasuk rendah. Di beberapa lokasi, kepadatan Harimau Sumatera berkisar antara 0,1 sampai 2,8 individu per 100 km2.

 

Pola Penyebaran

 

Dalam webinar tersebut, Irene Margareth Pondang dari Forum Harimau Kita menambahkan, untuk mengetahui tren populasinya, pemantauan dilakukan secara berkala. Metode Spatial Capture-Recapture sebenarnya sudah diterapkan selama beberapa dekade. Dalam menghitung populasi dan kepadatan satwa liar selalu mempertimbangkan pengetahuan atau informasi tentang satwa liar yang kemudian digabungkan dengan data statistik. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan analisa, pelaporan dan desain studi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

 

Untuk mengetahui pola penyebaran populasi satwa liar di hutan, pemodelan data yang dipakai adalah presence only atau presence absence. Presence only data ini mengumpulkan data-data dari berbagai sumber yang dipakai untuk prediksi kesesuaian habitat. Sementara presence absence adalah keberadaan dan ketidakberadaannya suatu satwa liar pada saat kegiatan survei dilakukan.

 

Kegiatan menghitung populasi harimau ini menggunakan motede survei okupansi, di mana sistem survei tersebut mengestimasi hunian dengan mempertimbangkan probabilitas deteksi yang tidak sempurna. Probabilitas deteksi tidak sempurna ini memberikan hasil survei yang dipengaruhi oleh faktor satwa, faktor lingkungan, dan faktor peneliti.

 

Dalam survei okupansi terdapat 2 parameter, yang pertama adalah probabilitas hunian kemudian probabilitas deteksi, di mana keduanya membutuhkan replikasi atau pengulangan. Replikasi bisa dengan sistem temporal atau pengulangan secara harian maupun sistem spasial atau pengulangan per hitungan jarak. Selain itu kriteria asumsi dari survei ini antara lain spesies target harus mendiami lokasi dan teridentifikasi baik secara fisik maupun dari jejak-jejak yang mereka tinggalkan. Asumsi ini bisa dengan teknik penggabungan antara replikasi temporal dengan wilayah geografik suatu satwa liar.

 

Dalam distribusi satwa liar, variabel kovariat yang perlu dipersiapkan adalah pengetahuan dasar tentang ekologi dan perilaku spesies  targetnya. Selanjutnya, sumber daya, metode survei yang akan dipakai, luas kawasan, serta habitat sebagai faktor penting yang wajib menjadi bahan pertimbangan untuk mencapai hasil yang maksimal . Setelah semua itu dipenuhi, untuk program analisa survei bisa mengadopsi pendekatan Frequentist yang memiliki prinsip suatu peluang merupakan kejadian yang dilakukan secara berulang atau pendekatan Bayesian yang memanfaatkan informasi awal untuk melakukan observasi langsung dengan menggunakan sampel.

 

Survei okupansi harus ditindaklanjuti dengan pengamatan pada multi spesies untuk bisa melihat interaksi mereka. Kita bisa melihat kepadatan suatu satwa liar melalui okupansi spesies-spesies lainnya atau juga bisa dilihat dari multi seasons, atau penggabungan antara multi spesies dan multi seasons.

 

LVListyo (Tim KEHATI)