141 views Mantan Perambah yang Kini Melestarikan Hutan - KEHATI KEHATI

Mantan Perambah yang Kini Melestarikan Hutan



Kelompok Pelestari Hutan Pesanguan merestorasi areal perambahan hutan menjadi hutan yang aktif kembali. Kelompok ini sebagian besar adalah mantan perambah di TNBBS.

  • Date:
    10 Des 2024
  • Author:
    KEHATI

Interaksi masyarakat dengan kawasan taman nasional punya sejarah panjang di Pekon (desa) Pesanguan, sebuah desa penyangga di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Masyarakat telah lama merambah hutan dan krisis ekonomi 1997-1998 menyebabkan perambahan semakin luas. Kawasan taman nasional kian tertekan oleh kebakaran hutan pada kurun tahun 2012-2013. Habitat satwa liar rusak sehingga memunculkan konflik antara manusia dengan satwa di pemukiman warga. Kini lahan-lahan bekas perambahan itu telah kembali menjadi hutan aktif berkat geliat Kelompok Pelestari Hutan Pesanguan (KPHP).

 

Pesanguan merupakan satu dari 14 pekon (desa) yang berada di kecamatan Pematang Sawah, Kabupaten Tanggamus, Lampung. Dengan luas 312 hektar, Pesanguan berbatasan langsung dengan kawasan TNBBS di sebelah Barat dan Selatan. Menurut beberapa sumber, Desa Pesanguan sudah ada sejak tahun 1976. Pada masa itu ada sekelompok pendatang dari Jawa yang membuka hutan tersebut untuk pemukiman dan pertanian.

 

“Masyarakat di Pekon Pesanguan ini dulunya sangat menggantungkan hidupnya pada hutan. Kami dulu merambah hutan. Masyarakat menggunakan areal di dalam kawasan untuk menanam kopi, kakao dan bahkan juga dulunya menanam padi,” kata Haryanto Ketua KPHP di desa Pesanguan, Kecamatan Pematang Sawah, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung.

 

Haryanto Ketua Kelompok Pelestari Hutan Pesanguan. Haryanto mengakui agak sulit mengajak masyarakat untuk ikut dalam restorasi hutan. Hal ini terjadi karena masyarakat masih menggantungkan hidupnya pada hutan.

 

Perambahan hutan oleh masyarakat ini seringkali ditertibkan. Menurut Haryanto, operasi penertiban dengan membongkar gubuk-gubuk penggarap menuai konflik hingga 2011. Masyarakat juga kerap berkonflik dengan beruang, gajah dan harimau karena habitat satwa tersebut terusik oleh kegiatan manusia.Konservasi tingkat lokal Pekon Pesanguan diinisiasi oleh sejumlah warga yang kemudian membentuk Kelompok Pelestari Hutan Pesanguan (KPHP).  Gerakan ini dilatarbelakangi oleh konflik manusia dengan satwa, yaitu gajah yang sering melewati pemukiman warga. Konflik terjadi karena jalur yang biasa dilewati gajah ternyata sudah menjadi pemukiman warga dan kebun. Konflik ini menyebabkan warga tewas dan kebun masyarakat rusak karena gajah tidak mengenal jalur lain selain yang biasa dilewati.

 

Restorasi hutan berbasis masyarakat di Pekon Pesanguan ini telah dilakukan masyarakat KPHP selama 10 tahun. Mereka merestorasi areal eks perambahan yang pernah digarap 55 penggarap, baik di Desa Pesanguan maupun di luar desa. Hasil kerja keras mereka telah membuahkan hasil, yaitu bisa mengembalikan lahan tersebut menjadi hutan aktif seluas 201 hektar di wilayah resor Way Nipah. KPHP juga membentuk satuan tugas penanggulangan konflik satwa untuk mengatasi dan mengantisipasi konflk dengan gajah yang turun ke pemukiman. Mereka kemudian  membentuk pula Masyarakat Peduli Api untuk pemadaman jika terjadi kebakaran hutan.

 

Pada tahun 2024 ini Kelompok Pelestari Hutan Pesanguan (KPHP) menerima penghargaan KEHATI Award kategori Forestry atau Kehutanan. KEHATI Award merupakan penghargaan yang diberikan oleh Yayasan KEHATI sejak tahun 2000. Penghargaan ini diberikan sebagai apresiasi terhadap upaya luar biasa dari perseorangan dan lembaga yang peduli terhadap lestarinya keanekaragaman hayati di Indonesia.

 

Juri juga menilai KPHP berhasil merehabilitasi lahan yang dirambah meskipun berpotensi menghadapi bahaya yaitu berkonflik dengan para perambah hutan. KPHP memiliki nilai tertinggi pada aspek luas daerah kegiatan, serta dampaknya terhadap masyarakat. Salah satu dewan juri, Dr. Iman Santosa, mengatakan, tantangan yang dihadapi dalam konservasi bidang kehutanan adalah benturan sosial di antara masyarakat itu sendiri. Selain itu para pejuang konservasi juga sering berhadapan dengan institusi yang punya kepentingan dengan hutan.

 

Geliat Kelompok Warga

 

KPHP didirikan pada Oktober 2013, bermula dari 20 orang warga yang memiliki kesadaran untuk menanam dalam kegiatan restorasi. Kelompok ini bertambah menjadi 35 orang pada saat akan disahkan oleh kepala desa. Anggota baru ini berasal dari 3 dusun yang ada di Pekon Pesanguan, yaitu dusun Srimulyo, Srirejo dan Sridadi. “Kami melakukan pendekatan santai ke warga lainnya. Kami ajak ngobrol-ngobrol mereka dan akhirnya ada yang sadar juga,” tutur Haryanto. Tantangan dalam melakukan restorasi ini adalah menyadarkan masyarakat dan menyamakan persepsi masyarakat tentang hutan.

 

Agar masyarakat tidak kembali merambah hutan, masyarakat harus lebih diberdayakan melalui berbagai program peningkatan ekonomi seperti ternak kambing, memelihara ikan lele, atau melakukan pertanian berkelanjutan.

Haryanto mengakui agak sulit mengajak masyarakat untuk ikut dalam restorasi hutan. Hal ini terjadi karena masyarakat masih menggantungkan hidupnya pada hutan, baik untuk mengambil hasil hutan maupun pemenuhan lahan untuk pertanian. Agar mereka tidak kembali merambah hutan, masyarakat harus lebih diberdayakan melalui berbagai program peningkatan ekonomi seperti ternak kambing, memelihara ikan lele, atau melakukan pertanian berkelanjutan.

 

Perambahan hutan di kawasan taman nasional, salah satunya adalah TNBBS, terjadi karena berbagai faktor. Tingginya pertumbuhan penduduk, entah karena kelahiran atau karena migrasi penduduk menyebabkan kebutuhan lahan meningkat pesat sehingga masyarakat menyasar kawasan taman nasional. Faktor lainnya adalah tidak adanya alternatif pendapatan warga di sekitar taman nasional.

 

Kegiatan restorasi hutan oleh KPHP di TNBBS mengusung konsep permudaan alami yang dipercepat berbasis masyarakat. Kelompok berperan sebagai pelaksana kegiatan restorasi mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan dan monitoring. Kegiatan restorasi oleh KPHP mampu memulihkan tutupan lahan di dalam kawasan konservasi seluas 225 hektar. Lahan ini semula dirambah oleh masyarakat untuk dijadikan perkebunan kopi. Kegiatan ini juga mampu melestarikan 103 dari 122 species tumbuhan di kawasan Bukit Barisan Selatan.

 

KPHP berhasil menghentikan masyarakat dari kegiatan perambahan hutan, baik yang berasal dari dalam desa mereka sendiri maupun dari luar desa Pesanguan.  Untuk kegiatan restorasi mereka mendapatkan bantuan pendanaan dari luar, namun KPHP sendiri berinisiatif mendanai sendiri restorasi 17 hektar lahan di kawasan konservasi. Kegiatan restorasi dilanjutkan dengan merestorasi areal di luar taman nasional dengan tanaman buah-buahan. Sesuai komitmen bersama, mereka juga menanam 1 hektare demplot restorasi dan koleksi bibit. Demplot restorasi tak jauh dari pemukiman Pekon Pesanguan, untuk memudahkan pihak lain yang ingin belajar restorasi. Demplot juga sebagai sarana belajar bagi kelompok untuk mempelajari pertumbuhan spesies tanaman Bukit Barisan Selatan.

 

Secara mandiri, sebagian anggota juga menanami jalan setapak menuju areal restorasi. Kemandirian dalam restorasi nampak dari upaya sebagian anggota yang menanami kembali bekas lahan garapannya di taman nasional. Hingga awal 2016, sedikitnya 13 anggota telah memulihkan kembali bekas lahan garapannya. Mereka menanam tak kurang 2.150 bibit berbagai spesies asli Bukit Barisan Selatan.Jumlah itu semakin bertambah.

 

Menjaga Mata Air 

 

Restorasi hutan yang dilakukan KPHP juga dilandasi kesadaran akan pentingnya menjaga mata air dan kebutuhan air bersih bagi warga sekita desa yang berbatasan langsung dengan taman nasional. Air tidak hanya dibutuhkan warga tetapi juga satwa yang tinggal di dalam TNBBS. Kawasan hutan konservasi di TNBBS juga menyangga daerah tangkapan air Daerah Aliran Sungai (DAS) Way Sekampung. Dengan demikian restorasi mampu melestarikan sumber air yang digunakan oleh masyarakat di Kabupaten Tanggamus.

 

Pelestarian kawasan tersebut dengan penanaman pohon juga mampu mengembalikan fungsi area sebagai habitat satwa. TNBBS merupakan rumah bagi tiga satwa kunci paling kharismatik dan terancam punah yaitu Gajah Sumatra, Harimau Sumatra, serta Badak Sumatra. Untuk mengantisipasi konflik dengan satwa liar, KPHP tergabung dalam satuan tugas penanggulangan konflik satwa dan manusia. Satgas selalu siaga melakukan upaya pelestarian satwa dilindungi dan sudah memiliki ketrampilan dalam menanggulangi konflik dengan satwa. Ketika ada satwa turun ke pemukiman KPHP ikut menghalau satwa tersebut dan melindungi satwa dari serangan warga. KPHP juga mengedukasi agar warga tidak membunuh satwa liar.

 

Melalui kegiatan restorasi ini, KPHP mampu meningkatkan kesadaran masyarakat terkait pelestarian hutan, menjaga kelestarian sumber air, serta meningkatkan pendapatan masyarakat melalui kegiatan persemaian dan penanaman tanaman buah-buahan. Menurut Haryanto, pendapatan utama masyarakat saat ini berasal dari kebun yang telah ditanam sebelumnya seperti pala, durian, kopi, coklat dan beberapa jenis tanaman lainnya.

 

Dalam melaksanakan kegiatannya di lapangan, KPHP juga menjumpai sejumlah kendala. Pertama adalah pengenalan jenis tanaman, karena KPHP tidak mengetahui seluruh jenis tanaman tersebut. Tidak semua tanaman bisa dilakukan pembenihan melalui cabutan dari pohon induk sehingga perlu keterampilan teknis untuk persemaian dengan biji.Selain itu masyarakat masih ada yang bergantung dengan kawasan konservasi ini karena berbatasan langsung dengan taman nasional. Masyarakat masih memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dari dalam kawasan. “Kami ingin terus bekerjasama dengan TNBBS. Harapan kami ke depannya adalah masyarakat bisa memanfaatkan Hasil Hutan Bukan Kayu dari dalam hutan,” kata Haryanto.

 

Perbaikan kesejahteraan ekonomi dilakukan KPHP  melalui pengumpulan uang kas kelompok. Uang itu dijadikan modal usaha berbasis non lahan. Kegiatan restorasi akan terus dilakukan di lahan masyarakat. Target terdekat adalah penggantian tanaman kakao yang sudah tidak produktif dengan tanaman buah-buahan yang diperkirakan luasnya mencapai 36 hektar. Selain itu akan dikembangkan usaha HHBK seperti pengembangan madu klanceng yang lebih berkualitas untuk menambah modal usaha kelompok.

 

Berkat kerja keras KPHP, saat ini sudah tidak ada lagi perambahan di dalam TNBBS yang dilakukan masyarakat dari Pekon Pesanguan. Masyarakat sudah mampu hidup selaras dengan alam dan memiliki pendapatan alternatif. Konservasi KPHP juga bisa mengembalikan mata air yang dulu sempat kering. Masyarakat tidak lagi kesulitan memanfaatkan air bersih dan tidak pernah kekurangan air.