1,415 views Kembali Pada Kearifan Lokal untuk Menjadi Solusi pada Hari Peduli Sampah Nasional - KEHATI KEHATI

Kembali Pada Kearifan Lokal untuk Menjadi Solusi pada Hari Peduli Sampah Nasional



  • Date:
    20 Feb 2022
  • Author:
    KEHATI

Oleh:
Direktur Eksekutif Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik
Tiza Mafira

Cerek kernyut

Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan 21 Februari  sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN). HPSN pertama kali diperingati bertujuan untuk mengenang peristiwa di Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat, pada 21 Februari 2005. Pada tanggal tersebut terjadi peristiwa di mana sampah dapat menjadi mesin pembunuh yang merenggut nyawa lebih dari 100 jiwa.

 

Peristiwa tersebut terjadi akibat curah hujan yang sangat tinggi serta ledakan gas metana yang berasal dari tumpukan sampah. Akibatnya 157 jiwa melayang dan dua kampung (Cilimus dan pojok) hilang dari peta karena tergulung longsoran sampah yang berasal dari Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah. Tragedi Leuwigajah memicu lahirnya Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) yang diperingati tepat di tanggal insiden itu terjadi.

 

Saat ini, sampah menjadi persoalan yang dihadapi oleh masyarakat global. Jurnal resmi National Geographic melaporkan bahwa masing-masing kota di dunia menghasilkan sampah hingga 1,3 miliar ton setiap tahunnya. Menurut perkiraan World Bank, jumlah tersebut akan bertambah hingga 2.2 miliar ton pada tahun 2025. Penelitian oleh Jenna Jambeck juga menunjukan bahwa Indonesia merupakan negara terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok yang menyumbang sampah plastik ke lautan yang kemudian disusul oleh Filipina, Vietnam dan Sri Lanka. Berdasarkan data-data tersebut dapat disimpulkan bahwa fakta tentang sampah dalam skala nasional pun cukup meresahkan.

 

Kita tidak memiliki banyak waktu untuk memilih apakah akan terus menutup mata dan telinga terkait hal tersebut atau mau bergerak untuk memperbaikinya, kita hidup di bumi yang sama. Oleh karena itu, bumi ini juga merupakan tanggung jawab bersama. Karenanya, kita harus bergerak menjadi solusi untuk mengurangi sampah yang sekarang sudah menjadi musuh yang sangat besar.

 

Indonesia merupakan negara yang memiliki ragam budaya dan kearifan lokal yang kaya dan sangat luar biasa. Oleh karena itu, kita harus memanfaatkan kearifan lokal yang ada untuk menjadikannya solusi dalam mengurangi timbulan sampah yang ada, terutama sampah plastik. Setiap kota yang ada di Indonesia tak jarang juga yang memiliki Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), misalnya di Kota Banjarmasin.

 

Banjarmasin merupakan kota pertama di Indonesia yang menerapkan peraturan penggunaan kantong plastik sejak tahun 2016 dan masih konsisten hingga saat ini. Hal tersebut tentu tidak bisa dilakukan hanya oleh satu elemen kota saja. Pemerintah Kota Banjarmasin yang memiliki wewenang untuk melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai disambut baik oleh para masyarakat di Banjarmasin. Sebagai pengganti plastik sekali pakai, setiap masyarakat berinisiatif untuk menggunakan tas guna ulang yang dimilikinya di rumah masing-masing. Selain itu, para pengrajin yang ada di Banjarmasin pun memiliki inisiatif untuk membuat kerajinan tas yang terbuat dari purun. Anyaman Purun merupakan pewarisan budaya lokal yang harus dilestarikan kearifannya.

 

Bakul purun merupakan tas kerajinan berbahan baku daun dari tanaman rawa purun yang merupakan kearifan lokal masyarakat sekitar rawa dan gambut di Kalimantan Selatan. Karena seratnya yang kuat, purun cocok digunakan sebagai bahan baku utama anyaman bakul purun. Tanaman ini serupa rumput yang banyak tumbuh di daerah lahan basah. Karena masifnya, purun dianggap gulma atau tanaman pengganggu bagi petani padi. Di Kalimantan Selatan, purun banyak tersebar di kawasan lahan rawa sejumlah daerah, seperti Kabupaten Barito Kuala, Banjar, Tapin, Hulu Sungai Selatan, dan Hulu Sungai Utara.

 

Tak hanya Banjarmasin yang memiliki kearifan lokal berbentuk tas yang dapat digunakan kembali. Bergeser ke Timurnya Indonesia, kita dapat menjumpai kearifan lokal dari Kota Papua. Sama dengan Banjarmasin, Papua juga memiliki tas dari pengrajin lokal yang dapat digunakan berulang kali. Tas tersebut adalah noken.

 

Noken merupakan hasil kerajinan tangan masyarakat asli Papua yang berupa tas hasil anyaman dari kulit kayu pohon biyik. Uniknya pohon tersebut tumbuh alami di hutan sekitar Danau Ayamaru Papua Barat dan tidak dibudidayakan. Berdasarkan ukuran dan kegunaannya, jenis noken untuk perempuan dan laki-laki berbeda. Noken laki-laki berukuran lebih kecil dan noken bagi wanita berukuran lebih besar. Pertimbangan ukuran tersebut tentu saja disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing dari pemiliknya.

 

Saat ini, noken berhasil menjadi trend setter, tidak hanya di kalangan masyarakat Papua tetapi juga di kalangan anak-anak muda yang ada di kota-kota besar. Di pasar tradisional, noken juga sangat bisa digunakan untuk membungkus bahan belanjaan yang bersifat kering, sehingga tidak perlu lagi menggunakan kantong plastik sekali pakai saat berbelanja di pasar tradisional.

 

Membahas kearifan lokal yang menjadi solusi untuk menjaga bumi dari timbulan sampah sepertinya tidak akan ada habisnya. Hal tersebut dikarenakan banyaknya budaya di Indonesia yang menghasilkan kerajinan-kerajinan di setiap daerah. Solusi seperti purun dan noken juga memanfaatkan tanaman yang endemik dari wilayah tersebut, sehingga menciptakan nilai bagi keanekaragaman hayati.

 

Kalau solusi yang dapat digunakan untuk mengurangi timbulan sampah di Indonesia sangat banyak dan mudah ditemukan, kenapa kita harus memilih barang sekali pakai dan menimbulkan sampah yang sulit diurai? Saya rasa, ini sudah saatnya kita kembali kepada kearifan lokal dan ciptakan Indonesia Bebas Sampah Plastik pada tahun 2030 sesuai target KLHK, atau bahkan bisa lebih cepat.

 

Selamat Hari Peduli Sampah Nasional 2022.