3,482 views Keseragaman Pangan, Cocokkah untuk Kita? - KEHATI KEHATI

Keseragaman Pangan, Cocokkah untuk Kita?



  • Date:
    17 Okt 2019
  • Author:
    KEHATI

HARI Pangan Sedunia atau World Food Day diperingati setiap tanggal 16 Oktober 2019.  Tema Hari Pangan Sedunia tahun ini adalah “Teknologi Industri Pertanian dan Pangan Menuju Indonesia Lumbung Pangan Dunia 2045” atau “Our action are our future, healthy diets #zerohungerworld”.  

Dalam konteks Indonesia, pembangunan pertanian dan pangan akan digenjot melalui penerapan teknologi industri untuk menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia.   Dalam talkshow “Keberagaman sebagai Jawaban Sumber Pangan ke Depan”, yang diselenggarakan oleh Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) pada 29 Juli 2019, Prof Dr Emil Salim sebagai pendiri Yayasan Kehati mengutarakan sejumlah hal.  

“Tantangannya adalah bagaimana meyakinkan menteri di kabinet bahwa infrastruktur tidak hanya untuk manusia, melainkan juga mengindahkan hewan dan ekosistemnya. Bisakah kita menjadi jago pangan dengan mempertahankan keanekaragaman hayati? Bisakah kita menaikkan produksi beras Cianjur, namun tetap meningkatkan keragaman sumber pangan lainnya seperti pisang, ubi, sagu, singkong, sorgum dan jagung? Bisakah Indonesia membangun dengan bertumpu pada keanekaragaman hayati?” kata Emil Salim.  

Menurutnya, pada 1965, Indonesia mengalami krisis ekonomi dan politik yang berdampak pada inflasi tinggi dan melonjaknya harga pangan, khususnya beras. Lalu, muncul kebijakan pegawai negeri mendapat uang dan jatah beras di seluruh Indonesia, kecuali Indonesia timur. Akibatnya, para pemimpin Indonesia timur protes dan merasa didiskriminasi. Untuk mengatasi hal tersebut, didoronglah kebijakan peningkatan produksi beras. Akan tetapi, kebijakan beras ini menuai berbagai kritik.  

Regulasi pemerintah saat itu diarahkan untuk swasembada pangan beras. Terjadilah banjir beras di Nusantara yang mengakibatkan sumber pangan lain hilang. Tahun 1972, Emil Salim mengikuti deklarasi Stockholm 1972, konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang lingkungan dan manusia. Semua menyampaikan bahwa lingkungan perlu diamankan. Tak habis pikir, bagaimana posisi pembangunan pangan yang butuh lahan jika diserukan stop tebang hutan.  

Namun saat itu, Perdana Menteri India Indira Gandhi muncul dan berkata bahwa lingkungan itu perlu untuk memberantas kemiskinan. Lingkungan yang dimaksud adalah air, kebersihan, gizi dan lainnya yang non-ekonomi.   Emil Salim tertarik karena Indira Gandhi berbicara soal kemiskinan negaranya melalui bahasa lingkungan.  

Kembali ke Jakarta, Emil Salim menyadari bahwa Indonesia bineka, Indonesia muncul dengan kebinekaan dan keragaman. “Semakin saya sadar bahwa keseragaman tidak pas dengan Indonesia,” ujarnya.   Indonesia punya kekuatan dari keanekaragaman. Keseragaman tak benar untuk Indonesia.  Tahun 1978, sebagai Menteri Lingkungan, Emil Salim semakin yakin bahwa diversity itu adalah kunci kehidupan, bukan uniformity dan spesialisasi. Ternyata, pembangunan ekonomi yang mengutamakan beras pada saat itu keliru.  

“Tapi saya baru meyakininya setelah puluhan tahun sebagai ekonom konvensional,” kata Emil.    

Mengubah paradigma kebijakan dari seragam ke beragam

Berdasarkan data yang diolah dari Badan Pusat Statistik (BPS), porsi beras dalam memenuhi pangan pokok masyarakat hanya 53,5 persen pada tahun 1954. Sisanya dipenuhi dari ubi kayu 22,26 persen; jagung 18,9 persen; dan umbi-umbian 4,99 persen. Pada 1981, pola konsumsi pangan pokok bergeser drastis. Beras menempati porsi 81,1 persen; ubi kayu 10,02 persen; dan jagung 7,82 persen. Tahun 1999, konsumsi ubi kayu tinggal 8,83 persen dan jagung 3,1 persen. Memasuki 2010, pola konsumsi pangan pokok selain beras nyaris hilang. Konsumsi beras yang turun pada 2012 kembali meningkat.  

Cita-cita menjadi lumbung pangan dunia pada 2045 tentu sangat mungkin terwujud jika dibarengi dengan tata kelola pertanian dan pangan yang benar. Tak hanya panduan regulasi yang berpihak pada petani, tetapi juga peningkatan nilai tambah potensi keragaman sumber pangan, teknologi yang berkelanjutan serta tata kelola yang akuntabel. Untuk memenuhinya, ada sepuluh rekomendasi yang dapat digunakan sebagai acuan pemerintah/kabinet mendatang untuk memberikan ruang kepada keanekaragaman hayati sumber pangan lokal agar lebih berdaya guna dan menjadi perhatian pemerintah untuk mengatasi kelaparan dan menjadikan Indonesia sebagai lumbung dunia.  Sepuluh rekomendasi itu adalah sebagai berikut.  

  1. Mengembalikan konsep pangan Nusantara yang didasarkan pada keberagaman sumber daya hayati dan budaya lokal
  2. Mengarusutamakan pangan Nusantara ke dalam program nasional
  3. Memasukkan keberagaman pangan nasional ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), program prioritas nasional, dan sistem penganggaran nasional
  4. Menyusun target nasional penurunan konsumsi beras sebagai sumber karbohidrat dan menggantinya dengan ragam pangan Nusantara lainnya
  5. Mengintegrasikan kebijakan pangan dengan kesehatan, keberagaman hayati, perubahan iklim, dan sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya goal kedua
  6. Merealisasikan cadangan pangan masyarakat (CPM), sesuai Pasal 33 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, di mana masyarakat punya hak dan kesempatan seluas-luasnya dalam mewujudkannya
  7. Membangun mekanisme pemberian insentif, termasuk penghargaan, bagi pemerintah daerah dan pegiat pelestarian pangan Nusantara
  8. Menetapkan percepatan konsumsi pangan Nusantara sebagai prioritas pemerintah sesuai Undang-Undang Pangan melalui gerakan konsumen (perempuan dan anak) dengan pendekatan kuliner dan budaya
  9. Membangun ekosistem kondusif untuk melahirkan petani muda dalam mengembangkan pangan Nusantara
  10. Menguatkan inisiatif pengembangan benih yang bersumber dari keanekaragaman hayati Indonesia menuju Indonesia daulat benih dan pangan dengan melindungi hak-hak pelestari/petani benih dan masyarakat hukum adat sebagai pengampu

  (Puji Sumedi Hanggarawati, Manager Ekosistem Pertanian) Artikel ini telah tayang di Kompas.com