2,374 views Krisis Lingkungan Di Indonesia Timur Minim Publikasi - KEHATI KEHATI

Krisis Lingkungan Di Indonesia Timur Minim Publikasi



Pianemo; kehebohan kepulauan karang kecil yang dikelilingi oleh air jernih dan perbukitan yang ditutupi oleh vegetasi hijau; Raja Ampat, Indonesia (Foto : Sarawut Kundej/Shutterstock)

  • Date:
    05 Jun 2023
  • Author:
    KEHATI

Tercatat 46 negara tertinggal akan merasakan dampak perubahan iklim yang paling keras, termasuk Indonesia. Indonesia memiliki keanekargaman hayati melimpah dan tercatat sebagai negara megabiodiversitas kedua setelah Cina. Namun wilayah laut dan pesisir terus mengalami ancaman kerusakan berhubungan dengan aktivitas yang dilakukan. Wilayah Indonesia Timur salah satunya.

 

Banyak sekali persoalan di wilayah pesisir dan kelompok kecil serta lingkungan tempat mereka tinggal di Indonesia Timur yang perlu diangkat ke permukaan. Ketua Dinamisator Jaring Nusa, Asmar Exwar, mengutarakan hal itu dalam seminar yang diadakan oleh The Society of Indonesian Enviromental Journalists (SIEJ) dengan tajuk “Produk Berkelanjutan, Pengelolaan Sampah dan Dampaknya pada Keanekaragaman Hayati” pada (20/05/2023) di Jakarta. Asmar mengangkat problem “Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat di Kawasan Timur Indonesia, dan Pengembangan Produk Berkelanjutan”.

 

Asmar mengatakan,  ancaman langsung yang dihadapi 13 ribu desa di wilayah pesisir dan pulau kecil Kawasan Timur Indonesia  adalah pembuangan sampah, serta krisis iklim dengan kenaikan suhu melampaui batas aman yaitu 1,5 derajat. Dampak yang sangat dirasakan oleh masyarakat adalah kenaikan permukaan laut yang mengakibatkan tingginya tingkat abrasi.

 

Dampak abrasi ini sangat mengancam kegiatan serta usaha-usaha masyarakat. Selain itu terjadi pemutihan karang dan banjir rob yang berujung pada ancaman terhadap ketahanan pangan. Untuk mengenal secara detil dan mengatasi persoalan wilayah laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil, Jaring Nusa hadir untuk memberikan kekekuatan, pendampingan, serta perhatian pada masyarakat di Indonesia Timur.

 

Jaring Nusa merupakan koalisi antar CSO dan kelompok masyarakat yang terbentuk pada bulan Agustus 2021. Pada awalnya organisasi ini dideklarasikan oleh 14 anggota, dan saat ini telah berkembang menjadi 18 anggota yang tersebar di Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Jakarta.

 

“Selain ancaman secara langsung, masyarakat menghadapi ancaman lain yang bersumber dari kebijakan-kebijakan pemerintah,” tutur Asmar. Ia menyoroti pembangunan infrastruktur, proyek berskala besar, ekspansi industri ekstraktif emas dan nikel, sebenarnya justru mengancam wilayah-wilayah kelola masyarakat.

 

Kegiatan tersebut memunculkan potensi konflik disebabkan adanya pencemaran termasuk sampah, pengolahan ikan, kemudian juga adanya pembatasan ruang kelola bagi masyarakat adat. Oleh sebab itu dalam prinsip pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K), kata Asmar, harus dipastikan pihak-pihak yang ada dalam pengelolaan mampu menciptakan kolaborasi sehingga masyarakat mendapatkan hak mereka secara adil. “Kita tidak bisa menepiskan bahwa kehidupan manusia berinteraksi secara langsung dengan alam,” kata Asmar.

 

Kalau alam terjaga dan lestari, maka keberlanjutan sumber daya akan terus mendukung kebutuhan masyarakat. Ketika alam terganggu misalnya oleh faktor investasi dan pembangunan yang tidak ramah masyarakat, maka mereka juga akan mendapatkan dampak dari itu.

 

Meminimalisir Dampak

 

Selain Jaring Nusa, hadir juga dalam seminar tersebut Senior Consult Executive Waste For Change, Lathifah Awliya Mashudi, yang menghadirkan pokok bahasan “Implementasi Pengelolaan Sampah Berkelanjutan untuk Meminimalisir Dampak terhadap Keanekaragaman Hayati”.  Lathifah menjelaskan bahwa PT. Wasteforchange Alam Indonesia adalah perusahaan pengelolaan sampah yang bergerak secara holistik. Perusahaan ini didukung oleh teknologi dan misi kolaborasi untuk mencapai ekosistem pengelolaan sampah yang bertanggungjawab.

 

Westforchange menyediakan empat jasa utama, yaitu create bertujuan untuk meningkatkan life cycle atau masa pakai dari suatu produk sehingga produk tersebut bisa digunakan kembali. Kemudian untuk mendukung life cycle suatu produk, Westforchange menyediakan jasa collection dan sudah memiliki beberapa klien dari perusahaan, instansi pemerintah, dan developer-developer.

 

Selanjutnya jasa campaign bertugas memberikan pelatihan dan pengembangan masyarakat serta mengarahkan mereka untuk melakukan pengumpulan sampah sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. “Tentunya ini bukan hal yang mudah karena masih belum menjadi kebiasaan bagi masyarakat Indonesia,” kata Lathifah.

 

Melihat bahwa setiap daerah di Indonesia dipengaruhi oleh perbedaan demografis yang membentuk multi karakter masyarakatnya, maka Westforchange juga memberikan jasa consulting. Consulting  bekerja untuk melihat pokok masalah di suatu daerah dan menentukan solusi yang bisa diterapkan sehingga tindakan intervensi lebih tepat sasaran. Visi dan misi perusahaan Wasteforchange adalah integrasi dari keempat jasa tersebut agar dapat membantu proses pengelolaan sampah di Indonesia yang lebih bertanggungjawab.

 

Sampah juga telah mengancam keanekaragaman hayati di wilayah perairan Indonesia bagian timur. Menurut Lathifah, edukasi tentang lingkungan belum banyak diberikan kepada masyarakat sehingga mereka belum menyadari tentang kritisnya persoalan sampah serta cara pencegahan dan penanggulannya.

 

Untuk meminimalisir dampak, dibutuhkan publikasi yang luas. Sayangnya banyak persoalan krisis lingkungan di Indonesia Timur yang masih jarang diangkat secara nasional. Oleh karena itu komitmen dari pemerintah daerah kadang-kadang tidak sesuai dengan kebijakan pusat. Seperti contoh adalah kebijakan untuk menanam 600 ribu mangrove yang tidak ditepati oleh pihak pemerintah daerah.

 

Hal itu disampaikan Teria Salhuteru, Direktur Moluccas Coastal Care (MCC) yang juga ikut hadir daring. Teria menjelaskan bahwa MCC hadir sebagai organisasi anak muda Maluku di bidang lingkungan yang didukung oleh Yayasan Eco Nusa. “Sebagai organisasi pemuda kami selalu berkomitmen untuk menyamaratakan  dan terintegrasi dengan semua yang dilakukan oleh pemerintah. Memang kendala kami adalah di publikasi,” lanjut Teria.

 

Sampah Rusak Pariwisata

 

Proses pengelolaan sampah di Maluku sampai sekarang belum terlalu sinkron dengan komunitas masyarakat. Kepulauan Banda dan banyak pulau kecil, persoalan sampah belum teratasi karena jarak yang jauh sehingga sulit mendistribusikan sampah ke daerah yang besar.

 

MCC bersama komunitas anak muda bergerak mulai tahun 2017 namun tidak terpublikasikan oleh media karena lokasi mereka di pulau-pulau kecil. Padahal permasalahan sampah sangat mengancam ekosistem mereka.

 

Sektor pariwisata pun ikut terdampak oleh persoalan sampah. Banyak wisatawan yang datang ke Maluku sekedar untuk diving melihat hewan-hewan endemik, tetapi sampah adalah hal yang paling sering dikeluhkan. Flora fauna di bawah laut dan kawasan hutan mangrove juga terancam. Edukasi yang belum sampai di pulau-pulau kecil mendorong MCC  berfokus untuk melakukan kampanye dan melindungi tiga ekosistem yaitu mangrove, padang lamun, dan terumbu karang.

 

Menurut pengamatan MCC, kegiatan para ekspatriat di Bali lebih banyak mendapatkan perhatian dari media daripada perjuangan anak-anak muda lokal seperti di Maluku. Pada kesempatan ini MCC memberikan catatan bagi para wartawan bahwa selain di Bali, permasalahan volume sampah yang sangat tinggi juga terjadi di Indonesia Timur.

 

Kontras dengan penanganan sampah di Pulau Jawa yang cukup baik karena sudah terintegrasi dengan pemerintah daerah. Penyelesaian sampah di Pulau kecil perlu didukung juga oleh faktor teknologi. Di Maluku, sampah-sampah hanya dimuat atau ditampung di satu TPA. Masyarakat di Maluku sangat membutuhkan Pemerintah Daerah untuk berkolaborasi dengan investor dari luar untuk penanganan sampah.

 

Kawasan Timur Indoesia memiliki permasalahan yang sama terkait sampah.Karena harga bahan bakar minyak yang begitu mahal, masyarakat membuang sampah plastik atau dibakar langsung di pulau-pulau kecil. Dalam seminar ini, MCC berkesempatan untuk menyampaikan materi-materi sebagai catatan bagi SIEJ agar ke depan bisa mempublikasikan kegiatan-kegiatan penanggulangan krisis sampah yang dilakukan oleh anak-anak muda yang ada di Maluku atau di wilayah timur lainnya.

 

LVListyo (Tim KEHATI)