Menelusuri Akar Krisis: Sebuah Refleksi Memperingati Hari Primata Indonesia
-
Date:
30 Jan 2023 -
Author:
KEHATI
Opini
Ahmad A Jabbar
Pegiat Pelestarian Primata
Tidak berlebihan jika peringatan Hari Primata Indonesia (HPI) tahun 2023 ini mengangkat tema “Setiap Primata itu Berarti”, sebuah kalimat pendek tetapi sarat makna. Ini barangkali ingin kembali mengingatkan bahwa selama ini mungkin saja kita lupa jika kita, manusia, dalam konteks taksonomi biologi merupakan salah satu bagian dari Ordo Primata.
Ya. Pada dasarnya kita secara taksonomi berkerabat dekat dengan primata lainnya. Katakanlah empat spesies kera besar yang kita kenal: simpanse, bonobo, gorila, dan orangutan. Lantas, apakah makna setiap primata itu berarti? Tulisan ini berusaha memaknainya dengan segala keterbatasan yang ada.
Antroposen
Istilah antroposen digunakan untuk menggambarkan periode terbaru dalam sejarah bumi ketika aktifitas manusia mulai berdampak signifikan pada iklim dan ekosistem planet ini. Dalam beberapa abad terakhir, perubahan-perubahan besar terjadi pada bumi tempat tinggal kita ini (Sanderson et al 2002).
Populasi manusia yang terus meningkat memicu pengembangan praktik pertanian secara masif untuk memenuhi kebutuhan pangan. Laju pertumbuhan populasi tersebut juga berimplikasi pada perubahan penggunaan ruang/lahan untuk tempat tinggal, memicu urbanisasi, dan meningkatnya kebutuhan akan energi dan sumber daya alam lain.
Perubahan yang dipicu oleh peningkatan tekanan antropogenik tersebut perlahan membawa kita pada situasi krisis dimana telah terjadi kerusakan ekositem, di mana tumbuhan dan hewan berada di dalamnya termasuk kita manusia dan primata lainnya. Hal itu terjadi karena tekanan antopogenik berkontribusi besar pada pengurangan kompleksitas fungsional dan struktural dari ekosistem (Smart et al. 2006; Steffen et al. 2015; Barnosky & Hadly 2016).
Hingga kini belum ada kesepakatan soal kapan dimulainya kala antroposen ini. Sejumlah ilmuwan mengusulkan bahwa periode ini dimulai ketika revolusi industri terjadi pada akhir abad ke-18 di Eropa (Zalasiewicz et al. 2008).
Cukup beralasan memang Zalasiewicz dan koleganya mengajukan pandangan tersebut, sebab memang revolusi industri telah mengubah secara besar-besaran cara manusia memproduksi barang-barang. Penemuan-penemuan sains dan kemajuan teknologi telah mendorong kita memasuki era industri yang ditandai dengan eksploitasi sumber daya dengan cara dan skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Celakanya, eksploitasi demi memenuhi hasrat dan kepentingan primata manusia pada gilirannya justru mengesampingkan, bahkan tak jarang menihilkan eksistensi primata selain manusia (non-human primate). Dampak buruk yang ditimbulkan dari obsesi dan dominasi sepihak ini pada akhirnya berbalik menimpa manusia sendiri, dimana seringkali muncul dalam bentuk krisis dan bencana.
Sederet krisis yang terjadi dan tengah berlangsung dalam kurun satu dekade terakhir ini, sebut saja krisis iklim global, krisis pangan, krisis energi, dan krisis ekologis, belakangan memaksa kita untuk memikirkan kembali apa sesungguhnya yang menjadi akar dari semua krisis itu dan lantas bagaimana cara kita meresponnya.
Kembali ke dasar
Dalam pandangan umum yang cenderung dikotomis, manusia kerap dipandang sebagai taksa yang dipisahkan/dibedakan dari kelompok primata selain manusia (non-human primate). Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa manusia adalah puncak atau akhir dari evolusi (primata) sehingga menjadikannya berbeda dengan mahluk hidup lainnya.
Rene Descartes misalnya menitik beratkan letak perbedaan manusia pada kecenderungan rasional yang dimilikinya, yang ini tidak dimiliki makhluk hidup lain sebagaimana ungkapannya yang terkenal: cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Diktum ini pada gilirannya melahirkan cara pandang yang mekanistik yang menempatkan manusia seolah-olah sebagai subjek dari alam dan menganggap alam adalah objek. Cara pandang ini membuat manusia menganggap dirinya sebagai pusat dan memiliki otoritas atas alam (antroposentris). Alam diasumsikan sebagai sebuah mesin raksasa yang statis, mati tak bernyawa.
Sementara itu, kaum eksistensialis yang diwakili oleh salah satu pemikir besarnya, Jean-Paul Sartre, memberi penekanan pada aspek kesadaran manusia. Kaum eksistensialis memandang bahwa hanya oleh sebab adanya kesadaran akan keberadaannya, menjadikan manusia berbeda dengan hewan dan tumbuhan. Di samping itu, pandangan psikologi humanistik mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab. Menurut pandangan ini, tangung jawab tersebut yang memisahkan manusia dari makhluk lainnya.
Murtadha Muthahhari, seorang pemikir abad-20 dari dunia muslim menawarkan pandangan alternatif dari semua konsep yang diajukan para pemikir barat sebelumnya. Ia mengajukan sebuah konsep manusia multi dimensi, yang secara ringkas menyatakan bahwa selain memiliki kesamaan dengan hewan secara fisiologis dan naluri, menurutnya perbedaan manusia dengan hewan adalah terletak pada kadar serta dimensi pengetahuan dan kesadaran.
Sesungguhnya, baik manusia maupun hewan keduanya memiliki pengetahuan dan kesadaran, hanya saja kesadaran dan pengetahuan pada hewan bersifat temporer dan terbatas sedang menusia memiliki pengetahuan dan kesadaran yang mampu melampauai batasan-batasan yang ada pada dirinya. Inilah yang dalam pandangan Muthahari membuat manusia berada pada hirarki tertinggi dalam ordo primata dan hewan lainnya.
Pada tataran praktis, potensialitas tersebut dapat dibuktikan dengan adanya dorongan pada manusia untuk cenderung pada kebaikan dan menangkap sesuatu yang immaterial/abstrak seperti konsep nilai, etika, dan moral. Oleh karenanya, Muthahari memandang letak perbedaan manusia dengan hewan adalah pada pengetahuan, kesadaran, dan kecenderungan spiritual yang tak ditemukan pada dunia hewan—termasuk primata selain manusia.
Lalu, apakah relevansi membahas persoalan letak perbedaan antara manusia dengan primata dan hewan lainnya dengan tema pembicaraan mengenai akar banyak krisis yang terjadi dewasa ini? Di sini kita berusaha menelusuri dan menemukan akar krisis tersebut pada diri kita sendiri. Bahwa bisa jadi, akar krisis-krisis itu ada pada kita sendiri sebagai manusia yang cenderung mengambil jarak dan memisahkan diri dengan primata lainnya.
Jarak dan keterpisahan itulah yang mungkin menyebabkan kita tak lagi memiliki ikatan kesadaran yang sama dengan kelompok primata lain. Sedemikian sehingga pilihan sikap dan tindakan kita tak lagi mempertimbangkan aspek kesadaran lain yang ada pada primata selain manusia. Sangat mungkin bahwa hampir sebagian besar—jika tidak menyebut semua—tindakan dan perilaku kita sebagai manusia dewasa ini cenderung bertumpu kepada kalkulasi-kalkulasi yang bersifat antroposentris.
Sebagaimana disinggung di awal, antroposentrisme memandang segala sesuatu selain manusia hanya akan memiliki nilai jika menunjang kepentingan manusia. Ia tidak memiliki nilai dalam dirinya sendiri. Demikianlah alam pada akhirnya didudukkan sebagai objek yang harus memenuhi kebutuhan dan melayani kepentingan primata manusia.
Dengan puncak pencapaian pengetahuannya, kita manusia merasa telah mengatasi seluruh tantangan-tantangan alam bahkan menaklukkannya untuk kepentingan kita sendiri. Seluruh pengetahuan yang kita miliki dianggap telah mampu menyelesaikan segala persoalan yang ada di luar diri kita.
Pada titik inilah kita perlu merenungkan kembali bahwa sesungguhnya pengetahuan manusia haruslah diimbangi dengan dengan spiritualitas transenden yang mendorong manusia kepada perbuatan baik. Kecenderungan pada kebaikan yang bersifat abstrak dan spiritual inilah yang akan mengarahkan manusia pada tindakan moral yang terpuji seperti berbuat adil terhadap dirinya sendiri, alam, dan segala sesuatu di luar dirinya. Alih-alih memanipulasi pengetahunnya untuk hanya mengejar hasrat, ambisi, dan tujuan atau kepentingannya sendiri, kembali pada spiritualitas yang transenden (baca: keimanan) akan menyelamatkan manusia dari bencana akibat egoisme, kerakusan, dominasi, eksploitasi tanpa batas, ketidakpedulian dan keterputusannya dari keberadaan di luar dirinya (baca: alam).
Manusia dan primata selain manusia, keduanya memilki keterikatan yang sama di alam, keduanya sesunguhnya berbagi ruang kesadaran yang sama pada levelnya masing-masing. Kita manusia memiliki pengetahuan dan kesadaran (pada level tertentu) serta kehendak bebas (free will) yang dengannya kualitas kemanusiaan kita sangat ditentukan. Bagaimana kita memperlakukan alam serta pilihan tindakan dan perilaku kita terhadap alam akan sangat menentukan seberapa tinggi kedudukan kita dalam hirarki evolusi dan eksistensi.
Referensi
Barnosky AD, Hadly EA. 2016. Tipping point for planet earth: how close are we to the edge? Thomas Dunne Books, New York
Muthahhari, 1993. Manusia Sempurna. terj. M. Hashem, Jakarta: Lentera
Muthahhari, 1992. Perspektif Al-Qur’an Tentang Manusia dan Agama, terj. Bandung: Mizan
Muthahhari, 1992. Kritik Islam terhadap Faham Materialisme. terj. Achsin M. Muzdakir. Jakarta: Risalah Masa
Muthahhari, 1981. The Human Being in the Qoran. Teheran: Minitry of Islamic Guidance.
Sanderson EW, Jaiteh M, Levy MA, Redford KH, Wannebo AV, Woolmer G. 2002. The human footprint and the last of the wild. Bioscience 52:891–904
Smart SM, Thompson K, Marrs RH, Le Duc MG, Maskell LC, Firbank LG. 2006. Biotic homogenization and changes in species diversity across humanmodified ecosystems. Proc R Soc Lond 273:2659–2665
Steffen W, Broadgate W, Deutsch L, Gaffney O, Ludwig C. 2015. The trajectory of the Anthropocene: the great acceleration. Anthr Rev 2(1):81–98