Panen Air Hujan Sebagai Sumber Air Bersih
Komunitas Banyu Bening dari Yogyakarta yang didirikan oleh Sri Wahyuningsih (57) merubah anggapan bahwa air hujan itu kotor dan tidak layak untuk dikonsumsi. Mereka membuktikan bahwa air hujan bisa diolah menjadi air bersih untuk keperluan sehari-hari. Bahkan bisa diminum.
-
Date:
10 Des 2024 -
Author:
KEHATI
Air hujan sering dianggap kotor, asam dan tidak layak sehingga seringkali dibuang begitu saja. Komunitas Banyu Bening dari Yogyakarta mengubah anggapan itu. Mereka membuktikan bahwa air hujan bisa diolah menjadi air bersih untuk keperluan sehari-hari. Bahkan bisa diminum.
Inovasi menggunakan teknologi sederhana untuk mengolah air hujan menjadi air bersih ini dilakukan Banyu Bening di tengah banyaknya krisis air yang melanda setiap daerah. Laporan Bank Dunia menyebutkan, Indonesia akan mengalami krisis air bersih pada tahun 2040.
Krisis air bersih terjadi ketika sumber air semakin sedikit sementara laju pertumbuhan penduduk semakin banyak. Krisis air dipicu berbagai faktor seperti perubahan iklim, polusi sungai dan air tanah, ketersediaan air tanah semakin menipis, penggunaan air berlebihan dan lain-lain. Keresahan akan krisis air bersih ini membuat Komunitas Banyu Bening yang didirikan Sri Wahyuningsih (57) bergerak untuk mencari solusi. Yu Ning, sapaan akrab Sri Wahyuningsih, merintis pemanfaatan air hujan ini sejak tahun 2012 bersama beberapa warga di desanya, Sardonoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman Yogyakarta.
Hingga saat ini Banyu Bening terus konsisten mengampanyekan air hujan sebagai solusi krisis air. “Kami bergerak karena dipicu oleh fakta kenapa sih makin ke sini kok makin banyak orang kesulitan air bersih. Ini butuh solusi loh. Bagaimana caranya agar masyarakat bisa mengakses air bersih secara mudah dan gratis. Lalu kemudian kami berpikir bahwa (solusi dari) ini adalah air hujan,” tutur Yu Ning.
Yu Ning merupakan salah satu penerima penghargaan KEHATI Award 2024 untuk kategori Climate Change. Ia terpilih di antara 39 kandidat lainnya dari seluruh daerah di Indonesia. Dewan Juri KEHATI Award menganggap Banyu Biru mampu mencari solusi dan memitigasi dampak perubahan iklim. Salah satu dampak perubahan iklim adalah berkurangnya air bersih. Banyu Biru juga mampu meningkatkan gerakan mereka ke daerah-daerah lain. Kini sudah banyak daerah yang memanfaatkan air hujan sebagai air bersih. Dewan Juri juga menganggap invoasi yang dilakukan menggunakan peralatan sederhana ini mampu dilakukan oleh masyarakat luas sehingga sangat berdampak.
Mengubah Pola Pikir
Gagasan Yu Ning untuk memanfaatkan air hujan juga dipicu oleh banyaknya bencana hidrometeorologi di Indonesia. Saat musim hujan banyak terjadi bencana banjir dan di sisi lain, ketika musim kemarau tiba, kekeringan terjadi di mana-mana. Sebagai negara dua musim Indonesia memiliki rata-rata curah hujan yang tinggi 2.000 – 3.000 milimeter per tahun.
Yu Ning kemudian bergerak mengajak warga di dusunnya untuk memanfaatkan air hujan yang melimpah sebagai sumber air bersih. Ia tergerak karena edukasi terhadap masyarakat tentang potensi air hujan masih sangat minim.
Pertambahan jumlah penduduk tentu akan meningkatkan kebutuhan air minum. Ia berpikir, jika masyarakat terus-terusan mengandalkan air tanah apalagi air minum dalam kemasan tentu membutuhkan biaya tinggi. Belum lagi beresiko merusak lingkungan akibat sampah air dalam kemasan.
“Tantangan terbesar yang dihadapi adalah mengubah mindset masyarakat yang masih menganggap air hujan itu kotor, asam dan tidak layak. Masyarakat masih sangat bergantung pada air tanah dan belum percaya dengan air hujan,” kata Yu Ning.
Untuk meyakinkan masyarakat umum, hasil tampungan air hujan yang telah diproses dengan metode elektrolisa ini bisa diakses gratis oleh warga sekitar. Proses elektrolisa ini memisahkan air yang bersifat basa dan asam. Air basa bisa untuk diminum, sedangkan air asam digunakan untuk antiseptik non alkohol.
Yu Ning mengatakan, hal pertama dilakukan untuk mendapatkan air bersih yang bersumber dari hujan adalah bagaimana menjaga higienitas air itu ketika dikonsumsi. Higienitas itu harus dilakukan mulai dari hulu, yaitu tempat penampungan air hujan. “Kita memberikan contoh bagaimana membuat tempat penampungan yang bersih,” kata Yu Ning.
Ia berkeyakinan air hujan itu sebenarnya merupakan air bersih, hanya saja media aliran yang dilalui air hujan itu yang membuat kotor, seperti genteng, talang atau kondisi udara kita. Keyakinan ini dibuktikan dengan serangkaian uji laboratorium untuk mengambil sampel air hujan di wilayah berbeda. Hasilnya mengejutkan, ternyata air hujan itu mengandung sedikit bahan pencemar.
Sekolah Air Hujan
Untuk mengampanyekan gerakan memanen air hujan ini, Yu Ning kemudian mendirikan Sekolah Air Hujan Banyu Bening. Dengan adanya sekolah ini, ia mengajarkan warga sekitar untuk mengelola dan mengolah air hujan. Sekolah itu juga membuka kesempatan bagi siapapun untuk belajar memanfaatkan air hujan.
Di Sekolah Air Hujan Banyu Bening, Yu Ning mengajarkan cara menampung air secara manual. Ia menerapkan prinsip “saat yang tepat dan cara yang tepat”. Saat yang tepat dilakukan dengan memilih waktu yang tepat untuk menampung air hujan.
Selesai kemarau panjang, polutan di utara atau di atap rumah cenderung tinggi. Untuk itu jangan langsung menampung air hujan saat hujan pertama dan kedua kalinya turun. Lakukan penampungan air hujan saat hujan ketiga turun. Adapun saat musim hujan, diwajibkan untuk menampung air setelah hujan berlangsung selama 5-10 menit untuk menghilangkan polutan yang menempel di sepanjang aliran air hujan.
Yu Ning juga mengajarkan pengelolaan air hujan kepada ibu-ibu. Peran Perempuan dalam mengelola air ini sangat penting karena mereka menjadi ujung tombak rumah tangga, termasuk dalam pengelolaan air. Ketika terjadi krisis air, biasanya perempuan menjadi korban utama karena mereka harus jauh dari rumah untuk mencari air.
Seiring berjalannya waktu, Yu Ning memanfaatkan teknologi Gama Filter Rain, yaitu alat penampung air hujan karya Agus Maryono, dosen Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada. Gama Rain Filter bekerja dengan cara menyaring air hujan melalui instalasi pipa serta filter yang disusun sedemikian rupa. Air hujan yang keluar dari alat ini telah aman dari segala polutan dan siap dikonsumsi.
Untuk menjaga baku mutu air bersih yang dihasilkan dari hujan, Banyu Bening rutin melakukan serangkaian uji coba laboratorium, seperti tingkat keasaman dan bebas bakter e-coli. Selain itu Banyu Bening juga memantau parameter fisika dan kimia air melalui pemeriksaan laboratorium secara berkala.
Gerakan kesadaran untuk memanfaatkan air hujan juga dilakukan Yu Ning melalui wadah kesenian di Sanggar Banyu Bening. Sanggar ini mewadahi anak-anak maupun dewasa. Setiap tahun mereka rutin menggelar arak-arakan kesenian untuk mensyukuri hujan.
Komunitas Banyu Bening kini telah memiliki jejaring di seluruh Indonesia. Menurut Yu Ning, ia telah memiliki jaringan di banyak daerah mulai dari Sabang sampai Merauke, antara lain ada di Bali, Ternate, Balikpapan, Samarinda, Surabaya, Malang, Lumajang, Probolinggo, Lampung, Riau dan lain-lain. Melalui jejaring inilah Yu Ning mengajak masyarakat untuk menerapkan konsep 5 M yaitu Menampung, Mengolah, Meminum, Menabung dan Mandiri Air Hujan.
Tidak hanya memanfaatkan air hujan, Banyu Bening juga mengajak masyarakat untuk mengembalikan air hujan ke dalam tanah. Mereka mengistilahkannya dengan “menabung air”. Menabung air bisa dilakukan dengan banyak cara, seperti menanam pohon, membuat biopori untuk halaman sempit. Sedangkan untuk halaman luas, mereka membuat sumur resapan. Sedangkan air tampungan yang tersisa bisa dimasukkan ke dalam sumur. “Tujuan dari menabung air adalah memitigasi agar air tanah tidak hilang dan air hujan tidak menjadi sumber bencana di mana-mana,” pungkas Yu Ning. (Lusiana Indriasari)