Pariwisata Sungai Utik, Refleksi Kearifan Lokal Suku Dayak Iban
Masyarakat Suku Dayak Iban menjadikan hutan dan tradisi mereka sebagai daya Tarik ekowisata di Sungai Utik Kalimantan Barat (Foto: TFCA-Kalimantan)
-
Date:
23 Feb 2024 -
Author:
KEHATI
Wisata berbasis konservasi saat ini mulai menjadi trend di dunia pariwisata dan menjadi daya tarik bagi turis lokal maupun manca negara. Banyak lokasi konservasi di Indonesia yang kini dimanfaatkan juga sebagai kawasan ekowisata khusus, salah satunya di Sungai Utik Kalimantan Barat.
Sungai Utik berada di wilayah Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu ini merupakan tempat hidup bagi masyarakat suku Dayak Iban. Dalam kesehariannya, suku Dayak Iban ini masih memegang teguh tradisi leluhur dengan tetap menjaga kelestarian alam. Dengan menjaga alam, kehidupan mereka tetap terjaga. Inilah yang menjadi daya tarik wisata Sungai Utik.
Ekowisata di Sungai Utik dikelola sendiri oleh masyarakat suku Dayak Iban. Tropical Forest Conservation Act (TFCA) Kalimantan Yayasan KEHATI yang bermitra dengan Indonesian Ecotourism Network (Indecon) mendukung program ekowisata di Sungai Utik.
Dusun Sungai Utik merintis kegiatan pariwisata sejak tahun 2010-2011 dan beberapa tahun belakangan mulai berkembang. Research and Training Manager Indecon, Rifki M. Sungkar, mengatakan, selama hampir 3 tahun Indecon dengan dukungan TFCA Kalimantan mengadakan program untuk membantu komunitas Sungai Utik, khususnya dalam pengembangan pariwisata.
“Kita bisa melihat sebuah komunitas adat yang masih kuat budayanya dan masih tinggal di dalam rumah tradisional yang otentik,” kata Rifki. Ia menyampaikan hal itu dalam kegiatan webinar Temu Jaringan Ekowisata Indonesia (TJEI) bersama KEHATI dan Indecon.
Daya tarik wisata di Sungai Utik berupa keindahan alam yang senantiasa dijaga kemurniannya baik dari segi estetika maupun keanekaragaman hayati yang dimiliki. Di kawasan itu wisatawan bisa mengunjungi tembawai atau hutan rakyat yang dikembangkan atau dikelola oleh suku Dayak Iban, bertemu dengan satwa endemik seperti burung Rangkong, dan melihat kondisi sungai-sungai yang dijaga kelestariannya.
Kehidupan suku Dayak Iban yang tinggal di dalam Rumah Betang juga menjadi daya Tarik tersendiri yang disuguhkan kepada wisatawan. Di sana, wisatawan bisa melihat bahkan ikut terlibat dengan kegiatan warga seperti berladang, mencari bahan pangan ke hutan, berkebun dan juga beberapa kegiatan budaya.
Arsitektur Rumah Panjae atau Rumah Betang di Sungai Utik masih dipertahankan keasliannya. Rumah Betang ini memiliki 28 bilik dan setiap biliknya bisa dihuni 1-3 keluarga. Rumah Betang kemudian dimanfaatkan sebagai homestay. Ketika memasuki musim tanam, sebelum berladang ada beberapa ritual yang sering diadakan, salah satunya adalah ritual Ngelaboh Pun.
Ngelaboh Pun merupakan ritual penghormatan benih padi. Bagi Dayak Iban, berladang tradisional dianggap sakral karena ladang merupakan sumber penghidupan mereka. Dalam satu tahun siklus berladang, ada beberapa ritual yang dilakukan, sejak dari awal membuka ladang hingga panen.
Kesenian tato yang identik dengan suku Dayak juga menjadi salah satu atraksi wisata di Sungai Utik. Wisatawan bisa melihat langsung pembuatan motif tato bunga terong yang menjadi identitas orang Iban. Bunga terong memiliki makna filosofis bahwa orang Dayak bisa hidup di manapun dia berada.
Penduduk memproduksi tinta dari kayu-kayuan yang ada di hutan. Wisatawan yang mau ditato ikut melihat proses pembuatan tinta lalu tato dilakukan secara bergantian. Maksudnya adalah para wisatawan juga diberi kesempatan untuk menato penduduk lokal.
Aktifitas lainnya berupa trekking hutan, susur sungai, mengukir kayu, dan memakai baju adat. Ada juga ragam budaya dan kerajinan lainnya seperti menganyam, menenun, dan benda peninggalan. Kegiatan menganyam adalah bentuk keseharian yang dilakukan warga sambil bersantai.
Pengelolaan wilayah adat
Keindahan alam Sungai Utik berikut tradisi Dayak Iban yang masih dihidupkan hingga saat ini menjadikan kawasan tersebut sangat potensial untuk ekowisata. Namun diperlukan keterlibatan masyarakat Dayak Iban untuk ikut mengelola kawasan wisata yang menjadi bagian dari rumah mereka.
Pada tahun 2014, masyarakat Dayak Iban mulai mengenal istilah Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata). Pokdarwis dikenalkan para mahasiswa melalui program KKN PPM (Kuliah Kerja Nyata-Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat) Universitas Gajah Mada.
Fokus dari ekowisata di Sungai Utik adalah tetap mempertahankan identitas suku Dayak Iban. Identitas tersebut akan hilang jika kondisi hutan dan ekosistem di Sungai Utik rusak. Grant Manager TFCA Kalimantan Herman Suparman Simanjuntak mengatakan, pengunjung Sungai Utik sekitar 600 orang per tahun.
Selain bekerjasama dengan Indecon, TFCA Kalimantan juga berkolaborasi dengan Lembaga Serakop Iban Perbatasan (Sipat). “Jadi kita juga mendukung lembaga lokal di sana. Indecon mendampingi rekan di daerah untuk mengangkat potensi wisatanya,” ujar Herman.
Suku Dayak Iban sangat melindungi hutan mereka, karena dengan melindungi hutan berarti mereka juga melindungi kehidupan dan budaya mereka. Oleh karena itu, Suku Iban di Desa Utik tidak pernah terlibat illegal logging. Hutan ibarat supermarket bagi orang Dayak Iban. Mereka mencari sumber pangan, obat-obatan dan berbagai kebutuhan untuk menghidupi tradisi mereka.
Pada tahun 1996, Suku Dayak Iban di Sungai Utik bergabung dengan AMAN ( Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) dan LEI (Lembaga Ekolabel Indonesia). Tahun 2008, suku tersebut mendapatkan sertifikat Ekolabel Pengelolaan Hutan Lestari dari Lembaga Ekolabel Indonesia yang diserahkan oleh Menteri Kehutanan MS Kaban pada tanggal 7 agustus 2008.
Sertifikat Ekolabel diberikan karena pengelolaan berbasis masyarakat berhasil mengatur pemanfaatan sumber daya alam hutan adat mereka. Setelah itu, pada tahun 2011 dalam lomba konservasi alam, Batu Lintang meraih penghargaan desa teladan peduli hutan tingkat nasional dari KLHK. Menyusul pada tahun 2019, desa itu mendapat penghargaan kalpataru kategori penyelamat lingkungan dan penghargaan Equator Prize dari United Nations Development Programme (UNDP).
Secara keseluruhan luas wilayah hutan adat Sungai Utik mencapai 10.087,44 hektar. Akhirnya pada tahun 2020 pemerintah menetapkan hutan adat seluas 9480 hektar oleh KLHK. Penghargaan internasional diperoleh pada tahun 2023, berupa Gulbenkian Prize for Humanity dari Yayasan Calouste Gubelkian di Lisabon.
Kepala Desa Batu Lintang, Raymundus Remang menjelaskan, bahwa pengelolaan hutan secara lestari bagi masyarakat Dayak Iban merupakan hal yang sangat penting guna terciptanya keseimbangan dan manfaat yang berkelanjutan. Oleh karena itu, masyarakat Dayak Iban di Sungai Utik membagi kawasan hutan adat ke dalam beberapa zonasi.
Zona Taroh seluas 3.667,2 ha adalah wilayah konservasi berupa hutan lindung yang tidak boleh dijadikan ladang dan tidak boleh diambil kayunya. Untuk zona GALAO seluas 1.510,7 ha boleh dimanfaatkan masyarakat untuk mengambil tanaman obat, kayu bakar, dan kayu untuk pembuatan sampan.
Hutan Produksi atau Endor Kerja (1.596,1 ha) merupakan kawasan hutan yang dikelola dengan prinsip keadilan dan kelestarian menurut hukum adat setempat. Yang terakhir Zona Pemanfaatan (2.680,3 ha) merupakan wilayah produksi untuk berladang, berburu, kebun karet, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Tata Guna Lahan yang ditetapkan antara lain, wilayah Damun ( 2.088,21 ha) adalah kawasan bekas ladang dan hutan primer yang dijadikan lahan menanam padi. Kemudian ada Engkabang (26,20 ha) merupakan kebun tengkawang. Kebun karet (168,50 ha) yang secara fungsi sebagai pemanfaatan, sarana produksi, dan budidaya. Lahan Keramat (11,77 ha) di mana area ini sakral yang tidak bisa sembarang dilewati dan dilarang mengambil hasil hutan apapun.
Untuk wilayah pertanian dan budidaya masuk dalam tata guna lahan yang disebut Payak. Pemukiman (3,18 ha) merupakan kawasan tempat tinggal Masyarakat. Rimba (6.856,77 ha) kawasan yang dilindungi atau untuk pengambilan kayu secara terbatas, tempat untuk berburu dan tidak boleh dibuka untuk berladang. Tembawai (16,23 ha) merupakan kawasan bekas mendirikan rumah.
Masyarakat yang sejak 135 tahun lalu telah bersusah payah mengelola kawasan hutan layak untuk mendapatkan imbal balik dalam bentuk dampak positif ekonomi. Dari 9.000 hektar yang mendapatkan sertifikat dari KLHK, 6.000 hektar adalah rimba murni yang sangat dijaga oleh masyarakat Sungai Utik. Masih menurut Herman, sangat penting untuk memadukan budaya dengan keanekaragaman hayati, karena tanpa keanekaragaman hayati, maka budaya juga akan hilang. (Tim KEHATI)