341 views PERAN EKOLOGI POLITIK DALAM MEMBANGUN EKONOMI BERKELANJUTAN - KEHATI KEHATI

PERAN EKOLOGI POLITIK DALAM MEMBANGUN EKONOMI BERKELANJUTAN



Kekayaan bawah laut menjadi sumber penghidupan bagi manusia (foto ilustrasi/KEHATI)

  • Date:
    13 Jan 2024
  • Author:
    KEHATI

Sejak dulu sumber daya alam sangat berharga dan penting untuk kesejahteraan masyarakat dan bangsa, bahkan internasional. Sayang sekali, dalam memanfaatkan kekayaan alam seringkali tidak lepas dari praktek eksploitasi. Sebagai akibatnya keanekaragaman hayati mengalami kepunahan secara signifikan.

 

Pembina Yayasan KEHATI, Ismid Hadad mengatakan,  “Beberapa ahli bahkan menganggap sumber daya alam sebagai resource curse karena eksistensinya hanya sebagai komoditas pembangunan ekonomi. Hal ini tentu saja menjadi tantangan yang berat dalam upaya menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi dan ekologi.” Ismid menyampaikan hal itu dalam acara perayaan Hari Ulang Tahun ke-30 Yayasan KEHATI di Jakarta, Jumat (12/1/2024).

 

Ia melanjutkan, pembangunan ekonomi di semua sektor menjadi kebutuhan manusia. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi juga selalu berkolerasi dengan pemanfaatan sumber daya alam. Namun, tidak bisa dipungkiri jika laju pertumbuhan ekonomi sebagian besar justru berdampak negatif karena mengabaikan faktor ekologi.

 

“Perluasan sumber daya alam yang bertendensi pada elit ekonomi politik menyebabkan pola produksi dan konsumsi menjadi tidak terkendali. Akibatnya bencana lingkungan justru terjadi. Di sinilah pentingnya membangun suatu mekanisme ekonomi sumber daya alam yang berkelanjutan,” kata Ismid.

 

Perayaan Ulang Tahun KEHATI juga dihadiri oleh pendiri Yayasan KEHATI, Emil Salim. Tokoh lingkungan hidup yang pernah menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup periode 1978-1993 ini mengungkapkan, keanekaragaman hayati di Indonesia semakin turun kelas. Emil mencontohkan bahwa posisi luas area hutan Indonesia dari nomor 2 telah turun menjadi nomor 3. “Ini merupakan pukulan berat bagi Indonesia yang dikenal sebagai mega biodiversity,” kata Emil dalam sambutannya di depan 200 lebih tamu yang hadir.

 

Untuk merayakan 30 tahun KEHATI berkiprah di bidang pelestarian keanekaragaman hayati, diselenggarakan acara bedah buku berjudul “Memulihkan Keanekaragaman Hayati, Ekologi Politik Sumber Daya Alam Indonesia.” Buku tersebut ditulis oleh Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Hariadi Kartodiharjo, bersama beberapa penulis lain termasuk Ismid Hadad.

 

Penulisan buku dilakukan untuk menyambut kiprah 30 tahu  KEHATI membina konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia.  Di dalamnya menjelaskan bagaimana seharusnya keragaman hayati itu dikelola, dari aspek manusianya, obyek, serta tujuan pengelolaan.

 

Kontrol kekuasaan

 

Hariadi, mengatakan, isu terkait biodiversitas di Indonesia bukan hanya tentang teknis namun juga menyangkut aspek sosial politik. Menurut Hariadi, persoalan sumberdaya tidak hanya bisa diselesaikan secara teknis. Dibutuhkan kemauan sosial-politik yang kuat untuk mengelola sumber daya dengan baik. “Sumber daya berkaitan juga dengan aspek politik karena hal ini menyangkut pemanfaatan dan kontrol kekuasaan terhadap sumber daya,” kata Hariadi.

 

Seperti ditulis laman Kompas.id, antropolog bernama Eric Wolf mempopulerkan istilah ekologi politik dalam banyak studinya tentang petani di Amerika Latin. Wolf menyebut bahwa ekologi politik itu adalah suatu cara untuk mengungkap peran penting sebuah peraturan atau hukum yang menentukan “siapa memiliki apa” dalam mengatur akses terhadap sumber daya alam yang terbatas.

 

Hariadi mengatakan, kebijakan ekologi politik di Indonesia perlu diselaraskan dengan aspek pembangunan ekonomi berkelanjutan. Yang terjadi saat ini justru ekologi politik bertentangan dengan prinsip sustainability. Ia juga menyoroti bagaimana produk sumber daya alam seharusnya dikelola  melalui program-program yang menguntungkan semua pihak.

 

Hariadi menjelaskan bahwa strategi yang diterapkan harus sesuai dengan kondisi setiap daerah. Hal tersebut terkait dengan kondisi alam, masyarakat lokal, dan perkembangan teknologi.  Namun kebijakan dan peraturan pemerintah seringkali justru menjadi kendala. Perspektif kebijakan yang ada saat ini mengukur potensi sumber daya alam hanya dari aspek peningkatan ekonomi saja, tanpa melihat dampaknya terhadap alam.

 

“Kebijakan sumber daya alam hanya mengakomodasi ekologi politik yang sepihak. Padahal, kekuasaan dan peraturan perundangan adalah faktor yang mendukung strategi di suatu daerah. Praktek korupsi sumber daya alam yang terjadi telah mempengaruhi suatu Keputusan,” tutur Hariadi.

 

Strategi Laut Biru

 

Dalam bedah buku tersebut,  Direktur Program KEHATI, Rony Megawanto dan penulis senior di bidang lingkungan, Brigita Isworo Laksmi, ikut memberikan perspektif dalam sesi diskusi. Roni menjelaskan peran yang diambil KEHATI dalam melestarikan keanekaragaman hayati di Indonesia.

 

Menurut Roni, Yayasan KEHATI sebagai pelopor konservasi di Indonesia melakukan manuver terkait finansial agar bisa memberikan dana hibah secara berkelanjutan. “Yayasan KEHATI semula dirancang sebagai wadah filantropi konvensional oleh para pendirinya. Namun sekarang telah bertransformasi dengan konsep venture philanthropy,” kata Rony. Dalam konsep venture philanthropy, dana hibah diberikan dengan mempertimbangkan indikator keberhasilannya.

 

Untuk mendukung keberlanjutan dana tersebut, kata Rony, KEHATI melakukan transformasi pengelolaan dana melalui pendekatan blue ocean strategy. Ini adalah sebuah strategi menciptakan pangsa pasar yang belum atau bahkan tidak dilirik kompetitor. Dengan strategi tersebut maka pertumbuhan yang menguntungkan akan tercapai.

 

Adapun Brigitta menyoroti masih lebarnya ketimpangan antara kepentingan ekonomi dan ekologi. Hal ini terjadi baik di tingkat nasional maupun di daerah. “Namun kita tidak bisa menyamaratakan semua daerah. Korupsi sumber daya alam terjadi di banyak daerah, tetapi ada juga pemerintah daerah yang melabrak para penambang,” lanjut Brigita.

 

Pemerintah, kata Brigita, harus mampu melakukan pemetaan pada kebutuhan setiap daerah. Namun yang terjadi adalah program-program hasil konferensi-konferensi tingkat internasional malah terkesan lamban pelaksanaannya. Sebagai contoh hasil pertemuan CBD (Convention on Biological Diversity) tentang ekosistem, jenis, dan sumber daya genetik.

 

Ia menilai persoalan lingkungan belum banyak berubah. Kerusakan lingkungan sebagai akibat dari ledakan penduduk, industri ekstraktif, dan juga polusi masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya. “Tekanan pada sumber daya alam di Indonesia disebabkan oleh pemerintah tidak maksimal menerapkan kebijakan,” ujar Brigita.

 

Brigita menegaskan, upaya konservasi mutlak membutuhkan pemimpin dengan misi dan visi yang kuat. Pemimpin yang paham tentang aspek keadilan lingkungan pada pengelolaan sumber daya alam. Pembuat kebijakan harus mampu menciptakan harmonisasi antara LSM, masyarakat, pengusaha dan akademisi terkait lingkungan.

 

Di sisi lain, yang patut didukung adalah, gerakan akar rumput oleh generasi muda  yang berkiprah di kampung halaman. Generasi muda tersebut adalah anak-anak muda berpendidikan dan mereka berinisiasi membangun usaha ramah lingkungan di daerahnya.

 

Ketiga narasumber pada sesi talk show juga sepakat bahwa aksi konservasi perlu didukung oleh keyakinan, sikap ramah tamah, dan juga kesadaran kolektif. Di sisi lain, apabila pemerintah mampu berkomitmen dalam pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan, maka akan terbentuk kesatuan gerak. Suatu terobosan yang akan mengakselerasi pencapaian peningkatan ekonomi yang berbasis lingkungan. (Tim KEHATI)