1,880 views Permata di Ujung Negeri - KEHATI KEHATI

Permata di Ujung Negeri



  • Date:
    19 Feb 2018
  • Author:
    KEHATI

Air berkecipak kian kencang, ketika perahu boat fiber yang membawa kami berdelapan kian melaju menembus laut lepas. Warna laut pun mulai berubah dari hijau tosca ke biru, pertanda kami telah melintas perairan dalam. Samudera Pasifik yang luas mulai menghampar di depan mata.

 

 

Dua puluh menit berjalan, Dermaga Petta, tempat kami berangkat, tak lagi kelihatan. Sementara, Pulau Sangihe, tempat dermaga itu berada, tampak tinggal menyisakan puncak Gunung Awu (gunung berapi aktif tertinggi di Sangihe), di pandangan. Kepulauan ini memang menyimpan sejumlah gunung berapi, baik di permukaan maupun bawah lautnya. Keadaan geologis yang memungkinkan tanah pulau-pulau ini begitu subur.

 

 

Siang itu, kami menuju Pulau Bukide, sebuah pulau di ujung terluar timur laut Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Ini adalah satu dari sekitar 100an pulau yang membentuk kepulauan yang berada di perairan antara Pulau Sulawesi dan Pulau Mindanao (Filipina) ini. Terdapat dua desa di Pulau Bukide, masing-masing Desa Bukide dan Desa Bukide Timur, dengan jumlah keseluruhan penghuni sekira 300 keluarga

 

 

Lima puluh menit berselang, tepian Pulau Bukide di Desa Bukide Timur telah memenuhi ruang pandang kami. Birunya laut berubah menjadi padang air kehijauan jernih. Perairan dangkal di tepi pulau menghampar hingga tampak dasarnya. Barisan terumbu karang bersisihan dengan padang lamun. Sesekali terlihat ikan dugong (sapi laut) berenang di sela-sela lamun. Sementara, ikan-ikan kecil berbagai rupa dan warna bergerombol bergerak menelusup di antara terumbu dan rumput laut. Segalanya masih tampak alami.

 

 

Syahrul Pansariang (43), nelayan di Bukide Timur yang mengantar kami, segera menambatkan perahunya di tepi pantai begitu perahu menjejak dasar pasir pantai. Kaki kami melangkah pelan di atas pasir putih bersih yang menghiasi pinggiran air laut yang selalu nampak hijau transparan itu.

 

 

“Kita beruntung hari ini. Cuaca sangat cerah. Langit biru, sehingga air laut menampakkan warna-warninya,” ucap Syahrul.

 

 

Albar Bulehgelenge (50), Sekretaris Desa Bukide Timur, menyambut kami di tepi pantai.

 

 

“Mari, ke rumah saya, kita istirahat sejenak, makan dan minum,” ucapnya ramah.

 

 

Kami segera bergegas mengikuti langkah Albar. Rumah-rumah kecil berkonstruksi kayu berjarak rapat seperti umumnya kampung nelayan, berderet menyambut pandangan mata. Tiupan sejuk angin laut menyaput udara terik siang saat kami melintas di jalanan yang sepi di pulau ini. Tak ada lalu lalang kendaraan bermotor. Hal ini karena memang tak ada mobil dan motor di pulau tersebut. Situasi yang membuat udara di kawasan ini terjaga bersih.

 

 

Kampung-kampung membentuk sebuah klaster di dekat pantai. Masuk beberapa ratus meter ke dalam pulau, tampak bukit-bukit berkemiringan hingga 40 derajat yang ditumbuhi pohon-pohon lebat. Pada kemiringan itu, tak ada rumah yang terlihat. Warga tak pernah membabati hutan. Karena, mereka sadar, kelangsungan hidup mereka sangat tergantung kepada kelestarian rimba di atasnya.

 

 

“Hutan itu menjadi sumber mata air kami. Dengan hutan yang lebat saja terkadang saat kemarau kami kesulitan air, apalagi jika sampai hutan-hutan itu ditebangi,” ujar Syahrul yang juga menjabat sebagai kepala desa di Bukide Timur.

 

 

Sebagaimana umumnya pulau-pulau di Kepulauan Sangihe, tanaman kelapa dan pala juga tampak memenuhi sekujur Bukide. Dua komoditas yang sejak ratusan tahun silam menjadi sumber penghidupan utama bagi warga di wilayah ini secara turun temurun.

 

 

Di sepanjang jalan desa-desa di Pulau Bukide tampak deretan buah pala ataupun fuli (kulit ari pala) yang dijemur untuk dikeringkan. Buah dan fuli yang sudah kering lalu dijual kepada tengkulak. Dari komoditas ini, sebagian besar arus kegiatan ekonomi warga berputar.

 

 

“Meskipun di tepi laut, penghasilan utama warga sebagian besar dari pala dan kelapa. Tetapi, ada juga yang melaut, tapi kecil-kecil, karena terbatasnya alat tangkap.Tidak seperti nelayan di Pulau Sangihe (pulau utama),” kata Syahrul.

 

 

Ongkos transportasi yang besar menyumbang pada tingginya biaya ekonomi yang mesti ditanggung warga di kepulauan. Situasi ini menggerus kesejahteraan mereka yang tinggal di pulau-pulau kecil ini.

 

 

Setelah beristirahat sejenak di rumah Albar, kami berdelapan melanjutkan perjalanan menjelajahi Pulau Bukide. Sekitar 15 menit lepas dari dermaga Desa Bukide Timur, kami mendapati sebuah pulau kecil dengan bukit batu menjulang hingga setinggi 75 meter. Warga setempat menyebutnya dengan nama Bukide Batu. Bukide artinya bukit, batu artinya sama dengan istilah batu dalam Bahasa Indonesia.

 

 

Bukit batu ini dikitari oleh tepian berpasir putih, serta dikelilingi perairan dangkal yang di dasarnya berupa padang lamun dan terumbu karang. Ketika kami memanjat ke atas bukit batu, tampak barisan Kepulauan Sangihe yang seolah menghampar di atas permadani air beraneka warna. Keindahan yang tidak kalah dibanding lanskap di destinasi-destinasi bahari terkemuka, seperti Raja Ampat, Sabang, atau mungkin Maladewa.

 

 

Selain keindahan, seperti umumnya kawasan-kawasan pantai di Kepulauan Sangihe, Kawasan Bukide masih terjaga keasrian dan kelestarian ekosistemnya. Perairan Bukide sesungguhnya sebuah ekosistem yang beragam, mulai padang lamun, hutan mangrove, terumbu karang, hingga kawasan pantai berpasir. Wilayah ini telah ditetapkan sebagai zona inti konservasi.

 

 

Sayangnya, meskipun mempunyai potensi besar, namun pulau ini belum dimanfaatkan secara berkelanjutan—untuk ekowisata, misalnya—yang dapat memberikan peluang bagi peningkatan kesejahteraan warga. Padahal, kawasan ini banyak memiliki spot yang sangat cocok untuk kegiatan wisata selam, penelitian ekosistem pesisir, ataupun wisata bahari lainnya.

 

 

Dinas Pariwisata Kabupaten Kepulauan Sangihe, bahkan, tak menjadikan kawasan ini sebagai destinasi wisata. “Justru, Pantai Kasaraeng, yang tak berpenghuni dan berada di luar kawasan, dijadikan sebagai destinasi wisata. Hasilnya, pantai tersebut tak terurus dan dipenuhi sampah,” ujar Staf Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Sampiri, Saddam Onthony, yang siang itu mendampingi kami.

 

 

Sejak tahun 2009, KEHATI bersama Sampiri, BURUNG Indonesia, dan YAPEKA, didukung Ford Foundation, melaksanakan program pengembangan ekowisata dan konservasi pesisir di Bukide. Melalui program ini, masyarakat disiapkan untuk mampu mengelola sendiri wilayahnya sebagai destinasi ekowisata, menjaga kelestarian alamnya, membuat produk-produk yang sesuai dengan kebutuhan pengembangan wisata, menata wilayah, dan menyiapkan penginapan-penginapan di rumah-rumah warga.

 

 

“Program ekowisata ini telah menjadi bagian dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Bukide Timur,” sambung Saddam.

 

 

Sayangnya, terbatasnya transportasi laut yang memadai, promosi, dan pengembangan infrastruktur penunjang masih menjadi kendala dalam mengembangkan ekowisata di Kepulauan Bukide.

 

 

“Sejauh ini pengunjung ekowisata di Bukide masih terbatas pada turis lokal. Tentu belum dapat diharapkan memberikan dampak besar bagi perekonomian masyarakat. Kami berharap ke depan pemerintah akan lebih memperhatikan potensi ini,” kata Saddam.

 

 

Potensi yang terserak

Bukide merupakan protret kecil dari Kepulauan Sangihe, sebuah kepulauan yang sesungguhnya memiliki karakteristik layaknya Indonesia kecil. Kepulauan dengan total luas 11.863,58 kilometer persegi ini hanya memiliki 736,97 kilometer persegi daratan. Sisanya, atau seluas 11.126,61 kilometer persegi wilayahnya, berupa lautan. Sebuah karakteristik bentang wilayah yang sangat mirip dengan Indonesia, yang dua pertiga wilayahnya berupa perairan.

 

 

Dari seratusan lebih pulau di Sangihe, hanya 30 persen berpenghuni. Selebihnya adalah pulau- pulau kosong tanpa penduduk. Beberapa pulau tanpa penghuni tersebut selama ini hanya ada pengunjungnya ketika para nelayan mendarat untuk sekadar beristirahat sejenak. Sebuah keadaan yang lagi-lagi mengingatkan kita dengan kepulauan Indonesia, di mana dari 17.503 pulau, 87,62 persen tak berpenghuni.

 

 

Sebagaimana Bukide, Sangihe secara umum juga merupakan sebuah gugusan ekosistem yang elok dan beragam. Mulai dari pesisir pantai berpasir putih, pantai dengan tutupan hutan mangrove, sungai, ladang pertanian yang subur, lebatnya hutan hujan tropis, hingga gunung berapi yang menjulang tinggi.

 

 

Lantaran sebagian besar tak berpenghuni, pulau-pulau tersebut masih terjaga 100 persen keaslian habitat fauna dan floranya. Perairan di sekitar pulau-pulau ini berwarna hijau tosca, dengan kombinasi biru safir tembus pandang seperti kaca, penampakan yang mengindikasikan belum terjadi pencemaran di ekosistem lautnya.

 

 

Seperti Indonesia pula, Sangihe kaya akan sumber alam dari laut dan darat. Selain berbagai jenis ikan, bunga karang, beragam ikan hias, dan makhluk laut lain dengan bentuk dan rupa eksotik melimpah di sana.

 

 

Bawah laut Sangihe juga menyimpan kekayaan berupa Gunung Mahangetang, sebuah gunung berapi aktif bawah laut yang terkenal. Perairan di sekitar Gunung Mahangetang manawarkan pemandangan dan suasana alam yang indah sehingga berpotensi untuk berkembang menjadi tujuan wisata alam laut, baik sekadar snorkeling maupun menyelam.

 

 

Di darat, pulau-pulau di Sangihe kaya akan hasil bumi dari beberapa jenis pohon yang tumbuh subur, antara lain: rempah (buah pala dan bunga cengkeh), kelapa, sagu, serta beberapa buah-buah lokal (langsat, durian, manggis, nangka, pisang). Pala dan cengkeh adalah jenis rempah yang menjadi komoditas perniagaan dunia, dan daya tarik utama bagi datangnya sejumlah bangsa— terutama Portugal, Belanda, dan Inggris—ke Nusantara.

 

 

Sampai saat ini pun, pala, cengkeh, dan kelapa— dengan beberapa turunan produknya—tetap menjadi primadona. Selain memberikan manfaat ekonomi, berbagai jenis perpohonan tersebut juga memberikan manfaat ekologi, khususnya sebagai tutupan hijau.

 

 

Permukaan daratan dengan tutupan hutan dan kebun rakyat yang masih lebat memungkinkan terbentuknya mata air di kawasan hulu. Mata air di pegunungan ini menjadi sumber kebutuhan air bersih bagi warga. Kontur daratan berbukit terjal membentuk air terjun, yang di sejumlah tempat dimanfaatkan sebagai penggerak turbin pembangkit listrik bertenaga air (mikrohidro), sebagai sumber energi mandiri, meski skala terbatas.

 

 

Di samping memiliki potensi energi yang mandiri, sejak dahulu kala Sangihe juga memiliki sumber pangan pokok mandiri, yang berpotensi menjadi kunci ketahanan pangannya. Sumber pangan ini bukan dalam bentuk beras, melainkan sagu. Pohon sagu tumbuh subur di Sangihe, mulai dari kawasan pantai (lahan basah) hingga di pegunungan. Populasi pohon sagu yang relatif tinggi, memungkinkan bagi masyarakat Sangihe berswasembada salah satu jenis makanan pokok tersebut.

 

 

Dengan wilayah yang didominasi oleh perairan, tidak mengherankan bila nelayan menjadi jenis mata pencaharian utama warga Kepulauan Sangihe. Laut di utara Sulawesi merupakan laut dalam, pintu masuk menuju Samudra Pasifik di arah timur laut. Itulah mengapa lautan di sekitar Sangihe kaya akan berbagai jenis ikan, termasuk ikan tuna yang menjadi primadona dalam komoditas ikan dunia.

 

 

Potensi lestari sumber daya kelautan dan perikanan Sangihe mencapai 34.000 ton per tahun. Namun, dari potensi tersebut, baru sekitar 14 persen yang dapat dimanfaatkan. Nelayan Sangihe menghasilkan berbagai jenis ikan hasil tangkapan, antara lain: ikan tuna, cakalang, ikan terbang, layang, kakap, kerapu, dan hiu.

 

 

Khusus ikan tuna, para nelayan Sangihe lebih suka menjualnya ke luar daerah, terutama ke Manado. Hal ini karena harga dan kebutuhan akan tuna di Sangihe lebih rendah. Bahkan, tak sedikit nelayan Sangihe yang menjualnya ke nelayan Filipina. Caranya, para nelayan Sangihe cukup mencapai garis perbatasan laut. Di sana, mereka bertemu dengan kapal-kapal ikan Filipina yang sudah menunggu, dan transaksi pun terjadi. Menjual ikan tuna hasil tangkapan ke kapal-kapal Filipina di laut bagi mereka adalah cara yang terpraktis. Mereka tak harus membawa pulang ikan hasil tangkapannya ke Tahuna atau mengangkutnya ke Manado. Para nelayan Sangihe dapat langsung pulang membawa uang hasil penjualan.

 

 

Sebenarnya, Pemprov Sulut telah menyiapkan pelabuhan dan pasar ikan tuna di Bitung. Tapi, jarak dari laut lepas ke Bitung cukup jauh dan memakan waktu serta ongkos bahan bakar kapal yang tidak kecil.

 

 

Selain potensi ikan di laut lepas, Sangihe juga berpeluang mengembangkan budi daya ikan laut di areal seluas sekitar 346 hektar untuk beberapa jenis komoditas ikan, antara lain ikan kerapu, kakap, kuwe, lobster, dan teripang laut. Selain itu, perairan Sangihe mengandung berbagai biota langka aneka jenis baik sudah dikenal (ikan napoleon dan beragam ikan hias) maupun jenis yang baru di temukan.

 

 

Kawasan laut Sangihe juga berpotensi bagi budi daya rumput laut seluas 250 hektar. Namun, belakangan rumput laut di Sangihe berkurang populasinya karena sering menjadi santapan ikan-ikan dugong (sapi laut).

 

 

Sangihe juga merupakan laboratorium terbuka yang kaya akan ilmu pengetahuan alam. Sebagai kawasan yang secara geografis merupakan rangkaian dari Pulau Sulawesi, pulau-pulau di Sangihe juga mewarisi satwa-satwa khas Kawasan Wallacea. Kawasan Wallacea merupakan wilayah geografis tersendiri, tanpa ada kedekatan spesies di Pulau Kalimantan (di barat) maupun dengan satwa-satwa di Maluku dan Papua (di timur). Satwanya pun khas wallacea dan hanya ada di wilayah itu. Beberapa satwa, bahkan, langka dan di ambang kepunahan.

 

 

Kepulauan ini juga masih memiliki barisan hutan lindung yang relatif luas, yakni sekitar 15.885 hektar. Di samping itu, deretan hutan mangrove seluas 511 hektar juga masih tersedia. Total luas hutan di kabupaten ini adalah 16.396 hektar.

 

 

Hutan lindung terdapat di gunung berapi Sahendarumang (1.046 meter di atas permukaan laut/dpl). Hutan ini berperan sebagai paru-paru utama Pulau Sangihe Besar. Ia memiliki peran sangat penting secara ekologis. Hutan ini memberikan jasa ekosistem berupa areal tangkapan air yang memenuhi kebutuhan air bersih seluruh pulau dan penahan longsor serta banjir.

 

 

Keberadaan gunung-gunung berapi di Sangihe membawa berkah kesuburan bagi tanah di kepulauan tersebut. Meskipun subur, Sangihe hanya sedikit memiliki sawah karena permukaan tanah di wilayah ini terlalu terjal dan ramping bagi petani bersawah, khususnya padi.

 

 

Hampir seluruh beras yang beredar di Sangihe selama ini harus didatangkan dari Manado. Itu artinya, untuk mendapatkan beras, warga Sangihe harus membayar lebih mahal, karena ada ongkos pengangkutan di situ. Pada situasi inilah, komoditas pangan pokok lokal, terutama sagu, memiliki potensi besar untuk dikembangkan.

 

 

Meski bergelimang potensi, Kepulauan Sangihe juga memanggul sejumlah tantangan, di antaranya: pemanfaatan sumber daya alam yang mengancam keutuhan hutan primer akibat kegiatan perluasan perkebunan masyarakat serta kegiatan penambangan. Kegiatan tersebut berpotensi merusak keseimbangan dan daya dukung pulau kecil. Dampak lanjutannya adalah kerusakan perairan pesisir dan ekosistem terumbu karang akibat sedimentasi serta rusaknya ekosistem hutan.

 

 

Ketergantungan sumber pangan dari luar pulau juga menjadi ancaman bagi ketahanan pangan lokal. Sementara, potensi pertanian dan perkebunan yang ramah lingkungan, serta ekowisata belum digali sebagai basis keunggulan produk sumber daya alam pulau kecil dan menjadi penopang ekonomi lestari pada masa mendatang. Kesadaran masyarakat perlu ditumbuhkan agar dalam memanfaatkan seluruh hasil alam mereka tetap memperhatikan kelangsungan jangka panjangnya.

 

 

Sebagaimana kerja-kerja merawat peradaban, upaya konservasi bukan sesuatu yang sekali jadi dan setelah itu selesai. Konservasi adalah kerja-kerja yang tak pernah usai. Apa yang telah dilakukan berbagai pihak dalam upaya merawat kilau Sangihe ini bukanlah akhir segalanya. Ini adalah awal agar kekayaan Sangihe lestari.

 

 

Dan, senja kian beranjak petang saat kami meninggalkan Bukide. Deru ombak pasang menemani laju perahut boat kami. Menuju sisi lain dari permata di ujung negeri ini. (bersambung)

 

Penulis: Mohamad Burhanudin