Selamatkan Populasi Badak Sumatera Melalui Emergency Action Plan (EAP)
-
Date:
21 Sep 2018 -
Author:
KEHATI
Kondisi populasi badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) terus menurun selama beberapa dekade. Hal ini memaksa seluruh pihak terkait seperti ilmuwan, pemerintah pusat dan daerah, Unit Pelaksana Teknis (UPT), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), serta pemangku kepentingan lain untuk segera mengambil langkah nyata. Salah satu cara yang harus dilakukan yaitu melakukan tindakan penyelamatan yang didasarkan pada suatu dokumen legal berupa Rencana Aksi Darurat (RAD) atau Emergency Action Plan (EAP) badak bercula dua.
“Populasi badak yang semakin menurun harus menjadi perhatian semua pihak. TFCA-Sumatera berkomitmen untuk mendukung pelaksanaan EAP dan konservasi badak Sumatera ini melalui bantuan pendanaan,” ujar Direktur TFCA-Sumatera, Samedi
Keadaan Dicerorhinus sumatrensis di Indonesia saat ini sangat mirip dengan situasi di Malaysia sekitar 30 tahun yang lalu. Semua pihak sepakat bahwa badak Sumatera saat ini berada dalam kondisi darurat. Kini, badak Sumatera di Malaysia tinggal dua ekor, itupun berada di luar habitatnya. Para ahli badak tak ingin pengalaman Malaysia terulang di Indonesia.
Pada lokakarya Penyusunan Emergency Action Plan (EAP) Penyelamatan Populasi Badak Sumatera kemarin di Jakarta (19/9), para ahli dan praktisi konservasi badak memperkirakan jumlah individu badak di habitat alam kurang dari 100 individu. Keberadaan satwa langka ini sangat terancam oleh perburuan, penyempitan dan fragmentasi habitat. Populasi badak terisolasi dan tersebar dalam kantong-kantong dengan jumlah individu yang sangat sedikit.
Hal ini juga berdampak pada menurunnya laju perkembangbiakan badak. Secara biologis badak Sumatera mempunyai tingkat reproduksi yang rendah, karena siklus kawinnya (masa subur/estrus) badak betina hanya setiap satu setengah tahun dan masing-masing hanya terjadi selama empat hari. Belum lagi ancaman patologi reproduksi sebagaimana ditemukan pada badak-badak betina yang berada di dalam Suaka Rhino Sumatera (SRS) Taman Nasional Way Kambas, Lampung dan Malaysia.
“EAP ini sangat penting dengan tujuan jangka pendek yaitu menghasilkan anakan badak sebanyak-banyaknya untuk dapat dikembalikan lagi ke habitat alamnya. Oleh karena itu, EAP ini harus disinergikan dan dapat diterjemahkan ke dalam penataan ruang daerah serta sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang maupun Menengah pemerintah daerah” ujar Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, KLHK Indra Eksploitasia.
Ada dua pilihan aksi darurat yang didorong oleh EAP. Pertama, jika jumlah individu kurang dari 15 ekor per kantong populasi dan lokasinya terisolasi, maka diperlukan aksi darurat berupa penyelamatan (rescue) individu untuk dikonsolidasikan ke dalam suaka perlindungan badak Sumatera. Kedua, bagi kantong populasi yang memiliki jumlah badak lebih dari 15 ekor namun terancam oleh hilangnya habitat dan perburuan, maka dilakukan aksi darurat berupa proteksi intensif. Ukuran 15 individu diperoleh dari kesepakatan para ahli badak dalam berbagai pertemuan nasional maupun internasional.
Mengenai mekanisme tindakan darurat tersebut, pemerintah daerah dan UPT yang hadir menyatakan dukungannya terhadap langkah yang akan diambil. “Tentunya kami sepakat untuk melaksanakan apa yang diamanahkan dalam EAP ini. Kami siap bila memang harus membangun suaka badak Sumatera di wilayah Aceh untuk menyelamatkan badak-badak yang berada di Kawasan Ekosistem Leuser,” ujar Kepala BKSDA Aceh Sapto. “Jika memang SRS akan dibuat, sebaiknya lokasinya tidak keluar dari daerah asal badak Sumatera,” tambah Sapto.
Sebelumnya, TFCA-Sumatera telah memberikan pendanaan untuk penyusunan dokumen EAP 2018 – 2021. Berbagai upaya perlindungan kawasan dan pengamanan spesies ini juga terus didukung di 3 bentang alam di Sumatera yaitu di Kawasan Ekosistem Leuser, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Taman Nasional Way Kambas yang diketahui merupakan rumah bagi badak Sumatera yang tinggal saat ini.