Tak Asal Tanam, Rehabilitasi Mangrove Memerlukan Strategi Yang Tepat
-
Date:
23 Jul 2021 -
Author:
KEHATI
Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia, yaitu 3.496.768 ha yang tersebar dari pesisir Aceh hingga Papua. Luas hutan mangrove Indonesia mencakup 22.4% luasan mangrove dunia. Namun, pada saat yang sama, Indonesia merupakan penyumbang kerusakan hutan mangrove tertinggi di dunia. Fenomena di atas menarik perhatian luas berbagai kalangan. Banyak aksi dilakukan untuk memperbaiki kerusakan ekosistem mangrove yang ada. Namun, permasalahan kerusakan mangrove seolah tak kunjung selesai. Selain dukungan, rehabilitasi dan restorasi ekosistem mangrove memerlukan srategi yang tepat.
Beberapa laporan menemukan adanya kegagalan dalam rehabilitasi mangrove di tanah air. Salah satu penyebabnya adalah paradigma bahwa rehabilitasi ekosistem mangrove hanya sebatas menanam kembali bibit mangrove tanpa ada perawatan yang berkelanjutan. Padahal, program rehabilitasi memerlukan langkah-langkah yang matang, dimulai dari perencanaan hingga evaluasi.
Manajer Program Ekosistem Kelautan Yayasan KEHATI Yasser Ahmed melihat perlunya pendampingan pada program rehabilitasi ekosistem mangrove yang dilakukan oleh beberapa pegiat CSR di Indonesia. Perbaikan ekosistem mangrove tidak semudah membalikan telapak tangan, menanam bibit, kemudian ditinggal. Rehabilitasi ekosistem mangrove memerlukan intensitas dan keterlibatan beberapa pihak, terutama masyarakat yang tinggal di kawasan rehabilitasi. “Kerusakan mangrove bersangkutan dengan aktivitas manusia, terutama masyarakat sekitar, sehingga perbaikannya pun harus melibatkan mereka,” ujar Yasser.
Penanaman mangrove harus memperhatikan 3 aspek penting, yaitu ekologi, sosial, dan ekonomi. Secara ekologi, pemulihan mangrove perlu memperhatikan kondisi lahan dengan kesesuaian jenis mangrove yang ditanam, sehingga bibit mangrove dapat bertahan dan beradaptasi di lokasi tanam. Hal ini disebut dengan zonasi mangrove. Indonesia memiliki kekayaan jenis mangrove tertinggi di dunia. Namun, ketika jenis mangrove tertentu ditanam bukan pada habitatnya, walau masih pada ekosistem mangrove, maka mangrove yang ditanam tidak akan tumbuh maksimal, bahkan mati.
Secara sosial, pelibatan masyarakat sekitar pada kegiatan rehabilitasi mangrove menjadi penting. Pegiat CSR harus menempatkan masyarakat setempat sebagai subyek sekaligus mitra untuk mencapai tujuan bersama. “Dari awal, semua pihak harus memiliki mindset bahwa tanggung jawab dan keberhasilan harus ditanggung dan dirasakan bersama,” ujar Yasser.
Terkait aspek ekonomi, program rehabilitasi mangrove dapat meningkatkan pendapatan masyarakat melalui kegiatan budi daya perikanan, ekowisata, dan pengelolaan buah mangrove menjadi kuliner khas daerah setempat. Area rehabilitasi mengrove yang berhasil dikembangkan menjadi daerah tujuan wisata oleh Yayasan KEHATI antara lain, Desa Pandansari Brebes di Jawa tengah, Desa Binanga Kabupaten Majene Sulawesi Selatan, dan beberapa daerah lain yang sedang dalam proses pengembangan.
“Secara garis besar, ketepatan dalam mengonsepkan program rehabilitasi mangrove merupakan kunci sukses keberhasilan rehabilitasi mangrove. Hal ini dimulai dari penyusunan perencanaan, implementasi dan monitoring serta evaluasi program rehabilitasi dengan memperhatikan aspek ekologi, sosial dan ekonomi,” tutup Yasser.
***
Pada tanggal 23 Juli 2021, Yayasan Kehati bersama Biodiversity Warriors dan Jurnalis mengadakan webinar dengan topik “Identifikasi Mangrove dan Panduan Program CSR Rehabilitasi Mangrove di Indonesia.” Berikut ini materi paparan webinar yang dapat diakses:
- Roles of Mangrove as a Part of Coastal Management in Indonesia
- Panduan program CSR Rehabilitasi Mangrove di Indonesia
Rekaman siaran webinar bisa diakses di sini:
Identifikasi Mangrove dan Panduan Program CSR Rehabilitasi Mangrove di Indonesia