Tanggamus Adalah Model
-
Date:
01 Mar 2018 -
Author:
KEHATI
Akhir Desember 2017 lalu, di Balai Kecamatan Sumberejo, Tanggamus, Lampung, perwakilan 40 gabungan kelompok tani hutan kemasyarakatan (HKm) di wilayah tersebut menerima bantuan alat produksi kopi dari Bank Indonesia (BI). Ini untuk kali kesekian bantuan dan tawaran kerja sama diterima oleh mereka sejak sukses sebagai komunitas terdepan dalam mempraktikkan perhutanan sosial.
Perhutanan sosial—salah satu program yang memberi ruang kelola sumber daya hutan kepada masyarakat—kini memang sedang digalakkan oleh pemerintah. Tidak tanggung-tanggung, hingga 2019 ditargetkan seluas 12,7 juta hektar hutan akan diserahkan kepada masyarakat untuk dikelola melalui lima skema: HKm, hutan desa, hutan adat, hutan tanaman rakyat, dan kemitraan.
Di Tanggamus, perhutanan sosial dilaksanakan melalui skema HKm. Kesempatan ini tak mereka sia-siakan sebagai satu kesempatan mengubah pola relasi mereka dengan hutan di sekitarnya, yang dulu penuh konflik. Kisah perambahan hutan berganti dengan pemanfaatan sumber daya hutan secara lestari dan produktif.
Mereka menanami kawasan kelola dengan berbagai jenis tanaman agroforestri, terutama kopi. Mengolah, mengemas, dan mencari rantai pemasaran berkelanjutan untuk komoditas tersebut. Mereka memutus rantai pengisap oleh tengkulak melalui pendirian koperasi.
Maka tidak heran, dalam dua tahun terakhir, gapoktan di bagian selatan Lampung tersebut sukses mempertahankan tradisi sebagai juara Wana Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Masing-masing untuk HKm Beringin Jaya (2016) dan HKm Sidodadi (2017).
Sekilas mudah, tapi ini sesungguhnya kisah panjang tentang gerakan sosial, yang kurusetranya adalah pada perjuangan mengubah cara pandang (mind set) manusia-manusia di dalamnya: dari merambah menjadi memanfaatkan secara lestari.
Tentu, mereka tak bergerak sendiri. Melalui dukungan Yayasan KEHATI dalam program Tropical Forest Conservation Action (TFCA) – Sumatera, Konsorsium Kota Agung Utara (KORUT), sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal, mendampingi 28 gapoktan di Tanggamus dalam upaya mendapatkan izin dan mengelola HKm.
Alhasil, Tanggamus kini menjadi model. Sebuah area pembelajaran yang lengkap tentang gerakan sosial masyarakat sekitar hutan dalam mengubah narasi konflik menjadi cerita tentang konservasi untuk kesejahteraan bersama.
Tentu, tak ada sesuatu yang sempurna betul. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, terutama terkait bagaimana menjaga kesinambungan langkah awal yang baik ini di masa depan.
Pada siang yang mendung dan diiringi embusan angin di salah satu sudut desa yang terletak di Kecamatan Sumberejo, Tanggamus, Mohamad Burhanudin dan Ali Sofiawan dari KEHATI berkesempatan mewawancarai Koordinator KORUT Fajar Sumantri. Berikut petikan hasil wawancaranya:
Bisa Anda ceritakan bagaimana situasi di Tanggamus, khususnya terkait relasi masyarakat dengan hutan dahulu, sebelum kisah sukses implementasi program perhutanan sosial ini terwujud?
Dulu situasinya penuh konflik. Petani dianggap menanami kawasan hutan secara ilegal sehingga diusir. Lalu, pemerintah menawarkan transmigrasi sebagai solusinya. Sayangnya, tidak semua petani yang ikut transmigrasi bisa hidup dengan baik. Tanahnya berawa. Menanam selalu gagal karena padi yang siap panen selalu terendam air pasang. Hidup mereka susah dan terpuruk, dan sebagian memilih kembali.
Mereka lalu menanami kembali hutan dengan kopi. Harga kopi sedang bagus-bagusnya, tapi mereka kembali diusir. Petani kian depresi.
Pada tahun 1998-1999, era reformasi datang. Pembalakan besar-besaran terhadap hutan pun terjadi. Menyentuh hampir seluruh kawasan hutan lindung di Tanggamus. Seiring dengan itu, sebenarnya mulai tumbuh inisiatif dari masyarakat untuk mengelola hutan secara lestari. Bahkan, pada tahun 2007, sejak munculnya peraturan mengenai HKm, sejumlah gapoktan pun mulai mengembangkan HKm, tetapi dukungan yang lemah dan adanya pihak-pihak yang mempermainkan mereka, upaya pengembangan HKm belum berhasil. Namun, hasrat mereka untuk terus memperjuangkan HKm tak pernah benar-benar pupus. Mungkin hal itu tak bisa dipisahkan dengan kisah kelam di masa lalu tentang relasi mereka dengan hutan.
Akhirnya, mulai tahun 2014, KORUT dengan dukungan TFCA Sumatera, berusaha mendampingi mereka. Hasilnya, pada 2015 masyarakat dampingan KORUT mendapatkan izin kelola. Sampai tahun 2017 telah ada 28 gapoktan yang berhasil didampingi untuk mendapatkan izin pengelolaan HKm.
Apa upaya yang dilakukan KORUT dalam membantu masyarakat memperoleh izin dan mengimplementasikan HKm?
KORUT dengan dukungan dari TFCA Sumatera dan KEHATI terus melakukan berbagai terobosan, salah satunya dengan merangkul pemerintah daerah. Yang kedua, kami juga merangkul mitra–mitra lain dari pemerintah kabupaten sampai dengan tingkat bawah, seperti pemerintah desa, kemudian ada KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan), dan ada teman–teman penyuluh. Ini menjadi hal yang penting sekali, terutama dalam hal merancang sebuah program. Setelah itu menampung semua aspirasi, mengidentifikasi hal–hal yang menjadi tantangan di lapangan, lalu bergerak bersama.
Harapan masyarakat untuk memiliki masa depan baik dan mengubah keadaan menuju hal positif itu sesungguhnya selalu ada. Namun, mereka membutuhkan pendampingan dan juga penyuluhan untuk mewujudkan harapan baik itu. Itu salah satu peran kami di Tanggamus.
Tidak hanya bagaimana mendapatkan izin, tapi juga bagaimana dalam implementasinya bisa menghasilkan, sehingga dapat menjadi pembelajaran. Dan, kami membuktikan, sebenarnya bahwa mitos yang menyatakan bahwa masyarakat kita itu “bodoh” itu tidak benar apabila kita merujuk kepada apa yang telah berhasil kami lakukan di sini.
Apa yang menjadi kunci keberhasilan dari pendampingan?
Dalam pendampingan dan penyuluhan, salah satu kunci utamanya adalah membangun rasa percaya dan semangat masyarakat. Untuk menjaga rasa percaya itu, kami secara bersama-sama mengupayakan kegiatan-kegiatan yang menghasilkan sesuatu nyata dan bermanfaat bagi kehidupan mereka. Hal ini untuk menjaga masyarakat agar tetap memiliki harapan positif terhadap HKm. Misalnya, terkait dengan permasalahan air, bahwa kini sudah dapat dikelola dengan baik, dengan terlihat tidak adanya banjir yang besar dan juga tidak adanya kekeringan yang cukup parah pada musim kemarau. Contohnya di daerah Margoyoso, itu sudah tidak memanfaatkan sumur, karena kini mereka sudah memanfaatkan air yang sudah tersedia di sumber air, dan ini bisa menjadi indikator perubahan HKm yang baik. Ada perbedaan yang signifikan antara yang sudah dan belum menjadi HKm.
Apa saja komoditas yang sudah dikembangkan dalam implementasi HKm di Tanggamus, dan bagaimana perkembangannya selama ini?
Mayoritas komoditas yang dikembangkan di sini adalah kopi. Salah satu alasannya karena melihat HKm Beringin Jaya yang telah berhasil mengembangkan komoditas kopi. Selain itu, melalui komoditas kopi, para perempuan juga dapat ambil bagian dalam kegiatan yang berhubungan dengan komoditas tersebut sehingga berpeluang besar menambah kesejahteraan keluarga. Secara sistematis, kami menempatkan bapak–bapak pada tahap penggilingan kopi, sedangkan ibu–ibu yang melakukan pemetikan. Salah satu merek yang telah berhasil dikembangkan di pasar adalah Kopi Codot yang saat ini sedang menanjak popularitasnya. Setiap bulan permintaan mencapai 300 kilogram. Ini adalah langkah awal yang sangat baik, mengingat modal pertama yang hanya sebesar Rp 3 juta, dan kini sudah bisa menghasilkan Rp 17 juta.
Dari sisi kesejahteraan, seberapa besar manfaat yang sudah didapat masyarakat dari pengelolaan HKm, khususnya melalui komoditas kopi?
Sebelum HKm, berdasarkan manfaat yang paling terlihat adalah peningkatan pendapatan. Perkembangannya sungguh luar biasa dari segi pendapatan, bahkan, ada yang sampai 6000 persen peningkatannya, dari yang hanya Rp 1 juta per kelompok, sekarang sudah sampai Rp 65 juta per kelompok, itu sangat luar biasa. Terutama dari komoditas kopi, yang diolah menjadi produk-produk jadi. Maka, nilai komoditasnya semakin naik. Memang betul, belum semuanya melakukan hal ini. Tapi, paling tidak ada sebuah model dan ada sebuah bukti.
Bagaimana agar manfaat ekonomi dari HKm ini selaras dengan tujuan konservasi hutan?
Kami berharap langkah-langkah ini tak hanya ada di Tanggamus. Maka dari itu, kami memutuskan untuk keluar, menjangkau wilayah yang lebih besar lagi, salah satunya pasar. Karena, pasar memiliki jaringan yang sangat kuat. Di dalam pasar terdapat pertarungan bebas. Di dalam pasar juga terdapat berbagai macam dinamika dan tantangan yang harus dijawab dalam rangka bagaimana dapat mempercepat akselarasi masyarakat memaksimalkan hasil komoditasnya. Dengan pasar yang kian luas dan terbuka, masyarakat semakin bersemangat untuk terus berproduksi karena mendapatkan manfaat ekonomi yang semakin baik. Hal ini sangat penting untuk dapat memberikan rasa tenang bagi masyarakat.
Setelah itu, baru kami dapat meminta mereka untuk melakukan kegiatan yang paling utama, yaitu menjaga hutan. Maka kami terus berkomitmen untuk berkerja sama dengan teman-teman yang berjumlah hampir 23.000 kepala keluarga ini, serta telah menjangkau kawasan seluas 43.900 hektar dari 58.000 hektar yang ada di Tanggamus.
Seiring waktu, dengan keberhasilan gapoktan-gapoktan di Tanggamus mengimplementasikan HKm, dukungan dari pihak mengalir. Bagaimana Anda melihat hal tersebut?
Betul sekali. Bantuan itu di antaranya datang dari BRI, BI, Kementerian Desa, baik dalam bentuk bantuan kredit maupun alat-alat produksi. Ini sebuah apresiasi atas apa yang kami lakukan. Bantuan ini sebenarnya juga menjadi warna baru, tentang bagaimana menghimpun dan berbagi peran dalam rangka akselarasi atau percepatan menggapai tujuan perhutanan sosial, yaitu kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan.
Jadi, apapun yang dilakukan oleh petani, apabila tidak dapat mengembangkan kegiatannya akan percuma. Maka apa yang telah dilakukan oleh BI, BRI, dan Kemendes dapat menjadi pembuka jalan bagi bank-bank dan lembaga lain untuk masuk memberikan bantuan. Kita harus mengingat bahwa tujuan utamanya adalah bagaimana membantu pemerintah dalam menyejahterakan masyarakat. Dan, apa yang sudah dilakukan ini dapat menjadi percontohan yang baik, karena selalu terdapat ruang untuk diisi.
Kemudian ketika keberhasilan di sektor ekonomi ini tercapai, maka akan berdampak juga kepada sektor-sektor yang lain. Misalnya, saat ini semua anak-anak usia sekolah yang tinggal di sekitar HKm sudah bersekolah karena masyarakat kian sejahtera. Ini adalah salah satu indikator yang menunjukan bahwa program ini berhasil. Memang, saat ini kami belum mempunyai data angka untuk membuktikannya tapi ke depannya kami akan bisa menampilkannya. Hal ini memang bisa juga menjadi semangat bagi kami untuk terus semangat dalam bekerja.
Bagaimana peran pemerintah daerah maupun pusat dalam upaya mendorong apa yang telah diupayakan oleh KORUT dan gapoktan-gapoktan untuk menjadikan capaian di Tanggamus ini sebagai model di daerah lain?
Peran pemerintah pusat sangat penting. Pemerintah daerah hanya sebagai penerima manfaat. Karena pemicu terbesar adalah pemerintah pusat maupun juga kementerian. Biasanya pemerintah daerah akan mengikuti. Maka, berbagi ruang dalam hal ini ini sangat penting karena perhutanan sosial itu tidak hanya sekedar ngomongin izin, tapi juga akan ngomongin pasar dan lain sebagainya.
Misalnya, apabila Kementerian Perindustrian ingin membantu, jalan yang terbaik adalah dengan memberikan bantuan alat, sementara Kementerian Perdagangan dapat memberikan penyuluhan tentang bagaimana berdagang yang benar, sedangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dapat memberikan perizinan dengan cepat, dan Kementerian Koperasi dan UKM dapat memberikan penyuluhan tentang bagaimana sebaiknya menjalankan usaha, serta Kemendes dapat mengajak beberapa pihak untuk membuka unit usaha di desa dengan badan usaha milik desa (BUMDES). Ini menjadi bahan-bahan yang bisa diramu menjadi sebuah model.
Apa harapan ke depan KORUT dan gapoktan-gapoktan di Tanggamus?
Kami berharap Tanggamus menjadi model dan dapat direplikasi oleh daerah-daerah lain agar dapat berkembang bersama. Maka dari itu, saya sangat berterima kasih kepada gapoktan, kelompok tani wanita (KWT), dan pemerintah daerah, serta terutama kepada TFCA Sumatera dan KEHATI yang sudah mendukung program di Tanggamus ini. Harapan terbesar kami adalah ketika waktunya kami harus melepas, kegiatan ini masih akan terus berjalan dengan baik.
(Mohamad Burhanudin/Muhammad Rizki Akbar/Yudha Arif N)