8,735 views Tiga Tantangan Pembangunan Indonesia - KEHATI KEHATI

Tiga Tantangan Pembangunan Indonesia



  • Date:
    18 Jun 2020
  • Author:
    KEHATI

Setelah sejak tahun 1945 hingga kini 2020, Setelah bangsa Indonesia meliwati berbagai tahapan pembangunan dibawah pimpinan tujuh Presiden, maka tiba kita pada tahap merefleksi apa yang sudah dicapai bangsa kita sekarang untuk menapak tantangan permasalahan pembangun yang sedang menghadang kiita di masa depan dalam perjalanan bangsa menuju seratus tahun Indonesia Merdeka.

 

Kita bersyukur bahwa banyak cita-cita bangsa, sudah kita capai. Namun masih banyak lagi yang harus kita rampungkan. Dari begitu banyak masalah yang masih perlu diselesaikan, kita mengangkat tiga masalah besar yang saling berkaitan sebagai tantangan pembangunan yang juga mengancam keberlanjutan hidup manusia.dan perlu ditanggapi.

 

TANTANTANGAN PEMBANGUNAN
Pertama: terjeratnya pembangunan Indonesia dalam “jebakan pendapatan menengah” sejak 1986 hingga sekarang. Sehingga menyebabkan kita terperangkap pada tingkat-pendapatan yang berputar itu-ke-itu saja, tak kunjung “lepas landas”, jumlah penduduk miskin yang tinggi dan Ratio Ketimpangan Pendapatan (Gini Ratio) yang juga tinggi. Sehingga pola kemiskinan dan ketimpangan pendapatan antar penduduk daerah satu dengan lain tidak berobah besar. Sehingga meraih cita-cita bangsa Indonesia yang adil dan makmur seakan-akan sulit diraih.

 

Selama masa 1970-2017 dibawah setiap Presiden jumlah penduduk miskin masih dua digit dari jumlah penduduk Indonesia. Presiden Soeharto memulai masa pemerintahannya dengan 60% dari jumlah penduduk atau 70 juta sebagai penduduk miskin dan mengakhiri masa jabatannya di tahun 1996 dengan 17,47% jumlah penduduk miskin atau 34,01 juta. Presiden Habibie lmengakhiri masa kerjanya di tahun 1999 dengan jumlah penduduk miskin 47,97 juta (23,43%). Presiden Abdurrahman Wahid mengakhiri masa jabatannya di tahun 2001 .dengan jumlah penduduk miskin 37,87 juta jiwa (18,41%). Presiden Megawati Soekarnoputeri menyelesaikan tugasnya di tahun 2004 dengan 36,15 juta jiwa penfuduk miskin (16,66%). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menutup masa kerjanya di tahun 2014 dengan 27,73 juta jiwa penduduk miskin (10,96%). Dan Presiden Joko Widodo mencatat di tahun 2017 jumlah penduduk miskin  sebesar 26,58 juta jiwa (10,12%) (Sumber: Kompas).

 

Sungguhpun persentase jumlah penduduk miskin ini turun, namun jumlahnya masih cukup besar. Sementara itu tingkat ketimpangan pendapatan masyarakat di tahun 2018 bervariasi antara Provinsi Bangka Belitung dengan Gini Ratio 0,295 terrendah dan Daerah Istimewa Yogjakarta dengan Gini Ratio 0,423 tertinggi (Sumber BPS 15 Juli 2019). Sehingga menonjol keperluan untuk lebih mendorong pola dan kebijakan pembangunan yang tidak hanya menekankan “laju tingkat pertumbuhan yang tinggi” tetapi juga mengutamakan penurunan kemiskinan dan peningkatan pemerataan pendapatan antar penduduk Indonesia yang lebih adil.

 

Kedua: rendahnya kualitas sumber daya manusia mempengaruhi tingkat produktifitas yang tercermin pada rendahnya  jumlah produk yang dihasilkan per satuan tenaga manusia Indonesia, dibandingkan dengan negara-negara lain yang sebanding. Rendahnya tingkat produktifitas manusia Indonesia diakibatkan oleh rendahnya tingkat dan kualitas pengembangan sumber daya manusia.

 

Menurut penilaian Programme for International Student Assessment (PISA oleh OECD tahun 2015 yang mengukur kualitas siswa negara bersangkutan tentang pemahamannya dalam membaca, sains dan matematika maka Singapura meraih urutan nomor satu, sedangkan Indonesia menduduki urutan ke 62 dibawah Vietnam, Thailand dan Malaysia dari 70 negara yang dinilai.

 

Rendahnya kualitas pendidikan berpengaruh buruk pada nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia yang mencatat 6,30 (mengungkapkan besarnya tambahan modal (incremental capital) yang diperlukan untuk menaikkan satu satuan output. Nilai ICOR India adalah 4,64 dan Vietnam sebesar 4,31 jauh lebih rendah dari Indonesia. Ini berarti bahwa untuk memperoleh hasil output tang sama, Indonesia memerlukan jumlah modal lebih banyak dari India dan Vietnam, sehingga mengalahkan Indonesia dalam persaingan.

 

Sehingga untuk menaikkan daya saing ekonomi indonesia sangatlah  penting meningkatkan kualitas sumber daya manusianya agar mampu meningkatkan tingkat produktivitas bangsa.

 

Ketiga: tanah-air Indonesia terletak di sepanjang khatulistiwa, diapit dua benua besar Asia dan Australia dan dua samudra besar, Pasifik dan Atlantik. Sehingga Indonesia menduduki posisi kedua di dunia, sesudah Brazil, sebagai negara yang terkaya sumber daya  alam plasma nutfah dan keaneka-ragaman alam hayatinya.

 

Apabila Brazil memiliki kekayaan ekosistem terbesar berdasarkan kawasan kontinen daratan, maka keunggulan Indonesia terletak pada  keaneka-ragaman ekosistem alami terbesar berdasarkan kawasan kepulauan.

 

Sehingga dengan penerapan ilmu, sains dan teknologi maka sumber daya alam tropis Inonesia bisa menjadi motor penggerak pembangunan Indonesia dengan keunggulan daya saing yang tinggi. Kuncinya adalah terbangunnya kualitas sumber daya manusia yang mampu menciptakan nilai tambah dari kekayaan alam ini secara berkelanjutan dengan menerapkan sains dan teknologi.

 

Berkat penerapan kebijakan Keluarga Berencana oleh Pemerintah selama ini, maka   untuk pertama kali dalam sejarah bangsa kelompok penduduk usia produktif 15-64 tahun naik jumlahnya dari 170,79 juta jiwa (2015) ke 195,25 juta jiwa (2040) sebagai puncaknya untuk kemudian menurun ke 193,71 juta jiwa di tahun 2045 (lihat “Memetik Bonus Demografi Membangun Manusia Sejak Dini” oleh Editor Sri Moertiningsih Adioetomo dan Elda lucuana Pardede, Rajawali Pers 2018).

 

Perlu digaris-bawahi bahwa sejak 2020 pola usia penduduk kita didominasi oleh kelompok usia 15-64 tahun sebagai generasi emas bangsa yang bisa melalui pola pembangunan-berkelanjutan (sustainable development) membawa bangsa kita ke tahap lepas landas mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Kunci strategisnya adalah: pengembangan kualitas dan produktifitas bangsa dibawah pimpinan kelembagaan Negara yang mampu meningkatkan nilai tambah sumber daya alam oleh kualitas sumber daya manusia Indonesia tanpa merusak keseimbangan ekosistem.

 

Alur pikiran ini semakin penting oleh karena sudah tampak semakin kasar dan besar kemampuan manusia untuk mengganggu dan merusak keutuhan ekosistem alami yang menopang keberlanjutan hidup manusia.

 

VIRUS CORONA PRODUK GANGGUAN EKOSISTEM
Akhir-akhir ini dunia dikejutkan oleh terjangkitnya pandemi Corona Desease 2019 (Covid-2019) yang berasal dari kelalawar-kelelawar di pasar basah Wuhan, RRT. Sudah acapkali lahir penyakit-penyakit baru yang dipicu oleh hewan, seperti monyet sebagai pemicu AIDS, nyamuk pemicu Malaria dan Demam Berdarah, Flu Burung, Flu Babi dan lain-lain. Para ahli lingkungan sependapat bahwa kerusakan lingkungan alam ini mengganggu ekosistem habitat hewan, serangga, kelalawar, dan sejenisnya. Dan mengakibatkan hewan dan serangga ini berlaku “agresif” mampu menularkan virus ke manusia. Virus Corona menular melalui  “embun ludah halus” (droplet) dari manusia yang batuk atau bersin yang bisa menular ke tubuh manusia melalui mulut, hidung dan mata.

 

Yang menjadikan penularan virus ini pelik adalah bahwa tmanusia tidak sadar dan ketahui bahwa ia kemasukan virus. Sehingga timbul gejala “Orng Tanpa Gejala” yang bebas berkeliaran dan, berlaku bagaikan “musuh dalam selimut” bisa menularkan virus tanpa disadarinya.

 

Inilah mengapa virus Corona itu “musuh berbahaya”. Karena ia  tersembunyi di tubuh “orang tanpa gejala”. Sedangkan kecepatan penularannya antar manusia itu tinggi. Dengan menerapkan pola “testing-tracing-treatment” virus bisa dikenali dan ditundukkan. Sementara ini kita tidak tahu ia ada dimana.

 

Karena ciri virus yang khas ini lahirlah sikap hidup dengan prinsip pokok “ambil jarak fisik antar manusia,” “ambil jarak sosial dengan kelompok manusia”, hindari kerumunan manusia, isolasi dirimu dengan bekerja dari rumah, belajar dari rumah Tanpa kita sadar, tumbuh perilaku “hidup ambil jarak”.  Dan ini menyentuh essensi pergaulan hidup masyarakat Indonesia berlandaskan “masyarakat Paguyuban” (Gemeinschaft) dimana sikap hidup yang kita tempuh adalah “semangat ke-kita-an” dengan pengertian “ kita, dimana engkau ikut termasuk”.

 

Ini berbeda dengan esensi pergaulan hidup masyarakat Barat yang bertumpu pada “semangat ke-kami-an” (Gesellschafft) dimana “dalam pengertian kami, engkau tidak termasuk”.

 

Karena itu dalam menerapkan ketentuan  “ambil jarak fisik” dan “ambil jarak sodial” kita perlu sadar agar sikap perilaku ini tidak mengalihkan perilaku dan pola hidup kita dari semangat Paguyuban ke semangat Patembayan.

 

Virus Corona perlu kita tolak, namun dengan cara dan kesadaran penuh bahwa “pola ambil jarak individu maupun sosial” tidak berarti merobah karakter bangsa berpola Paguyuban, semangat ke-kita-an dengan semangat gotong-royong.

 

Untuk mencapai ini sangatlah penting peranan teknologi. Sarana reknologi digital adalah “wahana pegukuhan dan pelestarian semangat Paguyuban”, sebagai oengganti kontak badan pribadi langsung. Karena itu sangat penting para ahli social psychology, ahli komunikasi, ahli sosiologi dll aktif mengembangkan pola, cara dan konsep.

 

Teknik digital digital menjadi wahana sosial mampu melaksanakan “semangat distansi sosial yang tersimpul dalam kebutuhan kesehatan mencegah penularan virus” sambil tetap menumbuhkan “semangat ke-kita-an yang menyatu dalam semangat gotong-royong masyarakat Paguyuban”.

 

Sehingga teknologi digitalmenjadi alat penyaluran gagasan-gagasan pelestarian semangat gotong-royong dalam pengembangkan sistem nilai Paguyuban.

 

Teknologi digital tumbuh baik untuk proses pendidikan sekolah (distance learning) dan juga proses pengembangan solidaritas sosial, semangat gotong-royong, dan kebersamaan sosial. Jika “pendidikan-berjarak” ditopang oleh sistem pendidikan dan kurikulum, maka pengembangan soludaritas sosial dan semangat Paguyuban juga memerlukan semacam sistem dan kurikulumnya. Pesan pokok bahwa “hidup ambil jarak guna hindari penularan virus” perlu diimbangi dengan pola pengembangan nilai-nilai kebersamaan gotong-royong.

 

Alur pikir ini juga berlaku dalam mengembangkan pemahaman ancaman virus  dalam rangka agama Islam, Kristen, Katholik, Buddha dll. Alur agamapun diperlukan untuk menghindari berobahnya karakter bangsa gara-gara Social distansi untuk hindari virus. Dan sekaligus memberi pemahaman mengapa jenazah korban virus dan kebiasaan acara tahlilan perlu ditiadakan untuk menghindari penularan virus.

 

Relevansinya “digital technology learning baik untuk pengajaran sekolah maupun masyarakat” adalah juga untuk membuka akses fasilitas ini bagi sebesar-besar kemakmuran masyarakat dalam masa ancaman penularan Covid-19 ini.

 

Fakta sekarang ternyata bahwa pelaksanaan “pengajaran tatap muka” hanya bisa diterapkan di 85 kabupaten/kota yang masuk zona-hijau dari 429 kabupaten/kota masih masuk zona merah-orange-kuning. Ini berakibat bahwa “pengajaran berjarak” perlu diterapkan di 344 kabupaten/kota.

 

Karena fasilitas gelombang telekomunikasi dan listrik belum tersedia lengkap di kebanyakan kabupaten/kota, maka perencanaan komprehensif perlu dikembangkan di ratusan kabupaten/kota mencakup fasilitas telekomunikasi, listrik, air mengalir  disamping fasilitas kesehatan di tingkat kabupaten//kota ini.

 

Sehingga lahir pola pembangunan “menyerang dan menundukkan virus Corona” dengan wawasan lebih luas: menyelamatkan generasi anak bangsa, mengembangkan kualitas sumber daya manusia a.l dengan fasilitas  digital telekomunikasi, listrik, air bersih di seantero kabupaten/kota bahkan kecamatan dan desa sebagai wahana pembangunan menghalau kemiskinan dan ketimpangan hidup  antar anak bangsa bernafaskan jati diri bangsa: gotong-royong.

 

 

 

 

Jakarta, 17 Juni 2020
Emil Salim