94 views Totalitas Gestianus Sino Bertani di Atas Batu Karang - KEHATI KEHATI

Totalitas Gestianus Sino Bertani di Atas Batu Karang



Gestianus adalah sosok petani milenial dari Flores Nusa Tenggara Timur. Ia sukses membangun dan mengembangkan pertanian organik terintegrasi di kebun GS Organik miliknya di Penfui Timur, Kabupaten Kupang NTT. (Foto : Yayasan BaKTI - Forum KTI)

  • Date:
    10 Des 2024
  • Author:
    KEHATI

“Kalau dibiarkan begini terus lahan ini juga akan begini terus. Tidak bisa menghidupi. Kita harus berpikir bagaimana tanah tempat kita tinggal itu bisa menghidupi diri kita”. Gestianus Sino mengenang bagaimana ia memulainya sendirian. Dengan modal ijazah kuliah yang digadaikan, ia membuka lahan kritis penuh batu karang menjadi ladang pertanian terintegrasi yang subur. Gestianus atau akrab disapa Gesti adalah sosok petani milenial dari Flores Nusa Tenggara Timur. Ia sukses membangun dan mengembangkan pertanian organik terintegrasi di kebun GS Organik miliknya di Penfui Timur, Kabupaten Kupang NTT. Keberhasilannya mengolah kebun di lahan kritis mampu menepis stigma tentang petani di NTT. 

“Petani itu sering dianggap miskin, bodoh, tidak punya masa depan. Tetapi kami bisa membuktikan bahwa itu tidak benar. Dengan kerja keras dan inovasi, pertanian bisa sangat menjanjikan karena semua orang butuh makan,” kata Gesti. Di lahan yang semula penuh batu karang, Gesti berhasil mengembangkan metode pertanian organik terintegrasi, yaitu menggabungkan pertanian, perikanan dan peternakan.

Tahun 2024 ini Gesti mendapatkan penghargaan KEHATI Award untuk kategori Agriculture. Dewan juri menganggap Gesti berhasil membangun pertanian organik dengan segala kekurangan dan kesulitan lahan yang dimiliki. Gesti juga berjuang untuk mempertahankan pangan di lingkungan yang ekstrim, dan ia juga kemudian memanfaatkan keanekaragaman pangan lokal di NTT. 

Menurut salah satu Juri sektor Agriculture, Rinna Syawal dari Badan Pangan Nasional, Gesti bukan memanfaatkan tanah yang berbatu, tapi bahkan bisa dibilang batu yang bertanah. “Bahkan ia sampai harus memecahkan batu untuk bisa menanam, karena memang areanya sangat kering sampai lebih banyak batu daripada tanahnya. Pemenang juga menerapkan ekonomi sirkular,” kata Rinna. 

Di kebunnya, Gesti menanam 20 jenis tanaman hortikultura serta ternak ayam, itik, kambing dan sapi. Dengan mengintegrasikan pertanian dan peternakan Gesti mengelola pertanian secara berkelanjutan. 

Kotoran ternak dan limbah dapur ia proses menjadi pupuk kompos yang tentunya tidak meracuni sayuran yang akan dijual.  Selain itu, kompos juga tidak merusak tanah sehingga Gesti bisa terus menanam di kebunnya. Usaha Gesti dimulai dari lahan seluas 1.000 meter persegi dan kini telah berkembang menjadi 43.000 meter persegi di Kecamatan Kupang Tengah dan Kecamatan Taebenu. 

Hasil pertanian GS Organik telah berhasil menembus pasar premium di Kupang. Restoran, supermarket dan hotel-hotel di Kupang menjadi pelanggan GS Organik. Menurut Gesti, awalnya ia bertani untuk memenuhi kebutuhan sendiri dengan menanam pepaya California lalu mencoba tanam bayam dan kangkung. Hasilnya melimpah. Gesti pun mulai menawarkan hasil kebunnya ke hotel-hotel di Kupang. “Waktu saya mengantarkan bayam dan kangkung ke hotel, saya sering dicegat orang. Mereka tanya ada kailan, brokoli atau pakchoy? Saya tidak tahu nama-nama itu, yang biasa disebut oleh orang-orang menengah atas. Akhirnya saya coba tanam dan saat ini saya sudah punya 20 jenis sayur organic,” kata Gesti. 

Pertanian terintegrasi milik Gesti ini tidak lagi menerapkan pertanian monokultur. Dengan menanam berbagai jenis tanaman, kesuburan tanah akan tetap terjaga karena terjadi keseimbangan unsur hara di dalam tanah. 

GS Organik terbukti membantu usaha pariwisata di Kupang, misalnya saja sektor perhotelan. Dulu hotel-hotel di Kupang kebanyakan mengambil sayuran dari luar daerah seperti dari Surabaya. Mereka memesan sayuran malam hari dan baru diterbangkan dengan pesawat kargo pagi atau siang hari. Sayuran datang sudah dalam kondisi layu. 

Mendatangkan bahan pangan dari luar daerah ini tentunya memperpanjang jejak karbon. Keberhasilan GS Organik dalam menyediakan berbagai bahan pangan sehat ini ikut mengurangi jejak karbon. Gesti dinilai ikut berkontribusi  dalam mengurangi emisi karbon karena mampu mendekatkan jalur pasokan dengan konsumen. 

Bongkar Batu 

Totalitas menjadi prinsip hidup Gesti dalam bekerja. Dengan keyakinan ini, ia tak kenal lelah membongkar batu-batu karang saat hendak memulai usahanya pada tahun 2011 silam. Menurut Gesti, secara topografi, daerah NTT terutama di Pulau Timur memiliki topografi lahan tandus dan didominasi batu karang. “90 persen lahan di NTT berupa batu karang. Siapa yang akan memulai bertani di sini?” kata Gesti. 

Dengan kondisi seperti itu tidak ada yang mau bercocok tanam. “Orang tidak punya semangat bertani ketika mendengar kata batu karang,” kata Gesti. Namun ia punya mimpi mengubah hidupnya dengan jalan bertani. 

Pertanian Organik Gestianus sudah memasok sayuran ke hotel-hotel besar di Kupang. Gesi mendorong anak muda untuk tidak malu menjadi petani. (Foto : Yayasan BaKTI – Forum KTI)

Lulusan Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana ini memilih jalan yang mungkin tidak popular di kalangan anak muda. Di saat teman-teman kuliahnya menjadi pegawai negeri sipil (PNS) atau karyawan swasta, Gesti justru memilih membuka lahan yang nyaris tidak bisa ditanami. 

Setelah lulus Gesti menggadaikan ijazahnya demi mendapatkan pinjaman Rp 30 juta. Uang itu ia pakai untuk membeli lahan seluas 1.000 meter persegi dan alat-alat sederhana untuk menghancurkan batu seperti linggis dan palu besar. Dengan alat-alat itu Gesti membongkar bebatuan di lahan miliknya. Selama dua tahun ia mengerjakan semuanya sendirian. Dari waktu ke waktu, dengan tekun Gesti menyingkirkan batu-batu agar bisa mendapatkan tanah untuk ditanami. 

Ia bercerita hanya kuat menggali sedalam 40 cm saja karena semakin dalam ia menggali, semakin banyak batu. “Batu-batu besar saya gunakan sebagai pagar,” kata Gesti. Ia sering dianggap gila karena mengerjakan hal-hal yang dianggap mustahil dilakukan. Setelah lahan terbebas dari batu, Gesti harus mendatangkan tanah-tanah dari daerah lain untuk menambah volume tanah. Supaya tanaman bisa tumbuh subur, Gesti membuat pupuk kompos dari kotoran sapi dan kambing milik warga sekitar. Ia juga mengolah gulma untuk menambah unsur hara tanah. 

Awalnya Gesti mengaku hanya coba-coba mengolah lahan berbatu ini. Kondisi hidupnya saat itu sangat pas-pasan. Ia bertani supaya nantinya bisa memenuhi pangan sendiri. Keputusan Gesti untuk menjadi petani ditentang oleh ayahnya. “Sudah jauh-jauh dari Flores datang kuliah ke Kupang tapi pilihnya kerja kebun. Nanti tetangga di Flores bilang apa,” kenang Gesti tentang ucapan ayahnya. Ayah Gesti seorang PNS di Flores. Ia tidak ingin anaknya hidup menderita dan miskin karena jadi petani. 

Untuk mulai mengolah tanah berbatu karang, Gesti bukan tanpa bekal. Ia sudah punya pengetahuan dari kampus dan juga mencari referensi dari banyak tempat, termasuk para petani itu sendiri. 

Irigasi Tetes

Tantangan lain yang dihadapi Gesti adalah menyediakan air agar tanamannya tetap tumbuh. Awalnya ia mendatangkan truk-truk tangki air untuk menyirami tanamannya. Ia kemudian mengumpulkan uang untuk membuat sumur bor. Sejak dibuat tahun 2015, menurut Gesti, sumur bor tidak pernah kering. Gesti juga menerapkan sistem irigasi tetes untuk menghemat air. Irigasi tetes adalah metode irigasi yang menghemat air dan pupuk dengan membiarkan air menetes pelan-pelan ke akar tanaman. Selesai mengolah lahan selama dua tahun, tanaman pertama yang ditanam adalah papaya California. Ia memilih papaya karena banyak orang Kupang suka pepaya.  

Gestianus  punya Impian suatu saat nanti anak-anak muda bisa kembali bertani. Namun mereka harus diyakinkan dengan bukti-bukti bahwa pertanian di NTT itu menjanjikan. “Kalau tidak ada contoh, bagaimana bisa ajak yang lain buat jadi petani,” ungkap Gesti. 

Untuk menurunkan ilmunya, Gesti aktif melatih generasi muda melalui program magang yang melibatkan sekitar 200 orang setiap tahunnya. Program magang ini untuk umum termasuk mahasiswa. Semangat berbagi pengetahuan ini juga disalurkan Gesti dengan mendirikan Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) GS Organik yang berfokus membangun ketahanan pangan di NTT. 

Gesti menerapkan tiga prinsip dalam mengelola GS Organik, yaitu secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Secara ekonomi GS organic dikelola agar bisa mendatangkan kemakmuran bagi petani, sedangkan secara sosial GS Organik harus mampu mendorong kemajuan sektor pertanian dan ketahanan pangan di NTT.  Secara lingkungan GS Organik merawat tanah agar tetap sehat tanpa pupuk kimia. 

Menurut Gesti di NTT ada 1.3 juta hektar lahan yang kosong. Dari 1.3 juta hektar itu dipakai 1.000 hektar misalnya, sudah bisa menghidupi 5-6 orang. “Coba bayangkan kalua 1,3 juta hektar itu dipakai semua untuk pertanian, berapa orang yang bisa kita sejahterakan?” pungkas Gesti.