3,376 views UUCK dan Masa Depan Lingkungan Hidup Kita - KEHATI KEHATI

UUCK dan Masa Depan Lingkungan Hidup Kita



(Foto Ilustrasi Iosinita87/shutterstock)

  • Date:
    17 Apr 2023
  • Author:
    KEHATI

Mohamad Burhanudin*

 

Hubungan manusia dan alam senantiasa dihadapkan pada masalah klasik, yaitu eksploitasi ekonomi vs kelestarian alam. Fakta hampir selalu menunjukkan, eksploitasi ekonomi selalu menang dan diutamakan. Meskipun menguntungkan bagi kemakmuran manusia, pengutamaan eksploitasi ekonomi atas ekologi telah mengakibatkan luka teramat dalam bagi alam kita, yang kini justru memberikan ancaman balik bagi kelangsungan kehidupan manusia.

 

Oleh karena itu, di sinilah pentingnya kebijakan pembangunan yang mengedepankan aspek keberlanjutan dan ramah lingkungan.

 

Di tengah gelombang penolakan dari berbagai elemen dan menguatnya harapan publik akan hadirnya kebijakan pembangunan yang lebih ramah lingkungan, pada 21 Maret 2023 lalu, DPR  mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Cipta Kerja menjadi undang-undang (UU). UU yang sempat dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi itu pun resmi akan menjadi salah satu dasar bagaimana negara ini akan dikelola ke depan, termasuk sektor di lingkungan hidup negeri ini.

 

UU 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UUCK) sesungguhnya merupakan sinkronisasi undang-undang yang berhubungan dengan investasi dan ketenagakerjaan ke dalam satu undang-undang. UU ini menggeser perizinan dari pendekatan regulasi menjadi pendekatan berbasis risiko. Tujuannya satu: mempersingkat jalur perizinan usaha.

Foto Ilustrasi BK Awangga/Shutterstock

Sektor lingkungan hidup dan kehutanan merupakan satu di antara sejumlah sektor yang terdampak dari UUCK ini, menyusul pengintegrasian dua UU yang selama ini menjadi dasar pengelolaan sektor tersebut, yaitu UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU 41 Tahun 1999  tentang Kehutanan.

 

Izin lingkungan, untuk jenis usaha apapun, sesungguhnya  pasti akan berdampak dan mengubah lingkungan. Pertanyaannya, dengan kehadiran UU Cipta Kerja (UUCK) ini, bagaimana pengelolaan lingkungan hidup Indonesia ke depan?

 

Sebagai UU yang dilahirkan dengan nafas efisiensi perizinan berusaha, UU ini secara umum memang memberikan harapan yang kuat akan terwujudnya kemudahan berbisnis. Namun, di sisi lain, ada beberapa hal yang patut dicermati dari UUCK yang berpotensi berdampak negatif terhadap sektor lingkungan hidup dan kehutanan.

 

Pertama, perihal penilaian uji kelayakan lingkungan berdasarkan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). UU ini meniadakan pelibatan pakar independen, organisasi lingkungan hidup, dan wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak, seperti yang sebelumnya  diatur dalam UU 32 Tahun 2009. Pasal 26 angka 5 UUCK hanya menyebutkan penyusunan dokumen amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan. Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup dalam UUCK terdiri atas unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan ahli bersertifikasi.

 

Tanpa pelibatan pakar independen, organisasi lingkungan hidup, dan wakil masyarakat yang berpotensi terkena dampak, amdal yang dihasilkan besar kemungkinan tidak independen dan bias kepentingan pihak yang mengajukan karena tidak ada mekanisme check and balance. Pembatasan ini juga berpotensi mengesampingkan dampak jangka panjang atas lingkungan hidup dan mereduksi asas proporsionalitas penyusunan amdal.

 

Di samping itu, dalam UU CK amdal hanya sebagai dasar uji kelayakan lingkungan hidup untuk rencana usaha dan/atau kegiatan. Ini berbeda dengan sebelumnya, di mana  amdal merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup. Peran amdal sebagai dasar uji kelayakan lingkungan hidup menurunkan urgensi peran amdal dalam kelayakan lingkungan.

 

Kedua, UUCK ini juga menghapus ketentuan batas minimal 30 persen luas kawasan hutan yang harus dipertahankan, yang sebelumnya diatur dalam Pasal 18 UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. UU ini tidak mencantumkan minimal persentase luas kawasan hutan yang harus dipertahankan. Dalam PP 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan yang merupakan turunan dari UUCK, hanya diatur bahwa penegasan tentang luas suatu kawasan hutan dilakukan dengan penetapan kawasan hutan oleh menteri terkait dengan didasarkan pada berita acara tata batas kawasan hutan, serta peta tata batas kawasan hutan yang telah temu gelang.

 

Namun, PP ini tak menyebut batas persentase kawasan hutan. Artinya, dengan mekanisme seperti ini, bisa saja luas kawasan hutan kurang dari 30 persen. Padahal, ketentuan batas minimal luas kawasan hutan diperlukan untuk mengoptimalkan manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat sekitar hutan.

 

Ketiga, masih terkait dengan perizinan, UUCK memberikan izin pinjam pakai untuk model penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa membatasi bentuk kegiatannya. Padahal, sebelumya, dalam UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, ketentuan izin pinjam pakai hanya digunakan untuk kepentingan pertambangan. Ketentuan ini berpotensi mendorong eksploitasi hutan yang dapat berdampak terhadap lingkungan sebagaimana dampak kegiatan pertambangan.

 

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa UUCK masih belum mengedepankan aspek keberlanjutan. Pembukaan keran investasi besar-besaran melalui kemudahan perizinan, semestinya juga diimbangi dengan upaya penguatan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih serius.

 

Partha Dasgupta, Ekonom dari Universitas Cambridge Inggris, dalam kajiannya bertajuk “The Economics of Biodiversity: The Dasgupta Review” (2021), mengungkapkan, alam merupakan “aset paling berharga” dan umat manusia secara kolektif telah salah mengelola “portofolio global”. Pasalnya, tuntutan manusia jauh melebihi kemampuan alam untuk memasok “barang dan jasa” yang diminta manusia.

 

Beberapa dekade terakhir, tulis Dasgupta, kemakmuran manusia telah menghancurkan ekologi. Individu, bisnis, pemerintah, dan organisasi internasional semata mengelola aset melalui keputusan akuntansi dan investasi. Namun, secara kolektif, mereka telah gagal mengelola portofolio aset global secara berkelanjutan. Pada periode 1992-2014, modal yang diproduksi (produced capital) per kepala berlipat ganda secara global, tetapi nilai stok modal alam (nature capital)  per kepala menurun hampir 40 persen.  Dasgupta memperkirakan, jika situasi ini terus berlangsung, kita membutuhkan 1,6 bumi untuk mempertahankan cara hidup umat manusia saat ini.

 

Oleh karena itu, Produk Domestik Bruto (PDB) yang kerap menjadi ukuran pembangunan,  tidak lagi relevan untuk menilai kesehatan ekonomi suatu negara karena tidak memasukkan depresiasi aset, seperti degradasi biosfer. Pertumbuhan dan pembangunan ekonomi berkelanjutan semestinya adalah penyeimbangan kembali permintaan kita akan barang dan jasa dari alam dengan kemampuan alam untuk memasoknya.

 

Merujuk pada pandangan tersebut, UUCK semestinya hadir bukan sekadar sebagai alat mempermudah perizinan, namun sekaligus pengendali izin, khususnya terkait eksploitasi alam kita. Dengan demikian, kita bisa membangun keseimbangan antara permintaan atau kebutuhan kita akan barang dan jasa yang disediakan alam, dan kemampuan alam. Jika tidak, yang akan terjadi adalah eksploitasi alam yang membanjir, yang nantinya justru kian meruntuhkan daya dukung alam kita dan memberikan ancaman bagi masa depan manusia.

 

Investasi Hijau

 

Di sisi lain, UUCK justru kontraproduktif dengan tren investasi global yang sekarang lebih bergerak ke arah investasi hijau. UN Principles for Responsible Investment (PRI) baru-baru ini melaporkan, hingga akhir 2022, sebanyak 5.319 organisasi global, yang sebagian besar adalah perusahaan investasi, telah menandatangani PRI, atau naik 140 organisasi global dibanding 2021. Dari 140 organisasi global tersebut, termasuk 14 pemilik aset.

 

Nilai total asset under management (AUM) organisasi global yang berkomitmen dalam PRI sendiri sebesar 121,3 triliun dolar AS pada tahun 2022, atau naik hampir 4.000 persen dari tahun 2006 yang sebesar 3 triliun dolar AS. Perusahaan yang baru menandatangani komitmen hijau dalam PRI tersebut termasuk tiga perusahaan investasi raksasa Asia, yaitu ZENKYOREN Jepang, Korea Investment Corporation, dan Aegon N.V. Mereka adalah para investor yang berkomitmen mendukung prinsip-prinsip environmental, social, and governance (ESG) dalam bisnisnya.

 

Data tersebut menunjukkan, semakin banyak investor kelas dunia yang sesungguhnya justru kian memedulikan komitmen, infrastruktur, dan regulasi yang ramah lingkungan dari negara tujuan investasi. Artinya, UUCK sebagai payung besar investasi seharusnya justru diarahkan untuk memperkuat komitmen ramah lingkungan tersebut dan bukan malah meninggalkannya di belakang. Dengan begitu, peluang kita menarik investasi menjadi semakin besar.

 

Namun demikian, pemerintah belum sama sekali terlambat. Masih ada kemungkinan dan waktu untuk merevisi aturan-aturan turunan dari UUCK sebelum diimplementasikan. Di sinilah komitmen negara terhadap masa depan lingkungan hidup ditentukan.

 

*Penulis adalah Spesialis Lingkungan di Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI)