444 views Hari Gunung Sedunia 2023: Melestarikan Rhododendron Vireya, permata dari pegunungan tropis - KEHATI KEHATI

Hari Gunung Sedunia 2023: Melestarikan Rhododendron Vireya, permata dari pegunungan tropis



Foto Sinematik Gunung (Sumber : Shutterstock)

  • Date:
    11 Des 2023
  • Author:
    KEHATI

Peneliti pada Kelompok Riset Asterids, Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi – BRIN

 

 

Hari Gunung Sedunia atau International Mountain Day ditetapkan pertama kali oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 11 Desember 2003 untuk mendorong berbagai kalangan bergerak dalam meningkatkan kesadaran tentang pentingnya ekosistem pegunungan dan pembangunan pegunungan yang berkelanjutan. Hari Gunung Sedunia dapat dimaknai lebih luas sebagai momentum kita, manusia, untuk menyadari fungsi dan peran penting gunung bagi keberlangsungan hidup manusia dan mahluk lainnya. Masih ingatkan kita insiden kebakaran di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru pada September lalu yang melahap kurang lebih 500 ha savana akibat kelalaian manusia? Berapa spesies hewan, tumbuhan dan mikroorganisme yang turut hilang bersama rusaknya habitat mereka? Meskipun kabar terakhir menyebut savana tersebut telah kembali hijau, tidak menutup kemungkinan ada spesies tumbuhan asli bahkan endemik dengan tingkat regenerasi yang rendah, benar-benar tidak kembali. 

 

Menurut PBB, kawasan pegunungan menampung sekitar 15% populasi manusia saat ini di dunia, dan sekaligus rumah bagi 50% pusat keanekaragaman hayati yang ada di bumi. Masih banyak tumbuhan asli di kawasan pegunungan yang belum dikenal bahkan oleh masyarakat lokal setempat karena batasan habitat atau geografis, akses yang relatif sulit, budi daya dan pengembangan serta diseminasi yang masih minim. Salah satu kelompok tumbuhan berbunga khas pegunungan adalah Rhododendron, yang selama ini mungkin, karena alasan geografis tidak pernah kita lihat secara langsung di habitat aslinya.

 

 

Apa itu Rhododendron Vireya?

 

 

Berdasarkan Plant of the World Online, Rhododendron adalah kelompok tumbuhan berkayu dari suku Ericaceae yang mencakup 1089 spesies yang tersebar hampir di seluruh dunia, terkecuali Amerika Selatan, Afrika dan Antartika. Bunga Rhododendron memiliki bentuk, warna dan ukuran yang sangat beragam. Azalea adalah salah satu kelompok Rhododendron yang paling banyak dikembangkan secara global karena potensi bunganya sebagai tanaman hias dan kemudahannya dalam membentuk silangan. Kelompok Azalea ini tidak hanya dikenal di kawasan temperate dan subtropis, tetapi juga menginvasi kawasan tropis termasuk Indonesia.

 

Rhododendron mucronatum (Blume) G.Don, merupakan spesies introduksi dari kelompok Azalea yang populer sebagai tanaman hias

 

 

Rhododendron ultimum Wernham tumbuh di Pegunungan Jaya, Papua pada ketinggian 4300 m dpl

 

Vireya adalah salah satu kelompok atau subgenus dari Rhododendron yang memiliki sisik (scales) mikroskopis yang tersebar di berbagai permukaan organ-organnya, dan memiliki biji berekor. Rhododendron Vireya sebagian besar tumbuh di kawasan Malesia (Asia Tenggara), dan menjadi satu-satunya kelompok Rhododendron yang tumbuh di kawasan tropis, meskipun sebagian kecil terdapat di utara India Utara, Selatan Cina dan Utara Australia. Terdapat lebih dari 330 spesies Rhododendron Vireya, dan sekitar 233 spesies atau kurang lebih 70% dari total jumlah spesies tersebut di tumbuh di Indonesia.

 

 

Secara ekologi, Rhododendron Vireya dikenal sebagai spesies kodominan dan komponen struktur yang penting bagi ekosistem pegunungan dan subalpin di kawasan tropis. Populasi dan keragaman Rhododendron Vireya melimpah di ekosistem pegunungan terbuka seperti padang rumput, padang semak, lereng berbatu, atau punggungan gunung dan bukit. Tumbuhan ini cenderung menjadi pionir pada area terbuka atau terganggu karena mampu bertahan hidup di kondisi tanah dengan kesuburan rendah, asam, basa, atau berbatu. Keberadaan Rhododendron Vireya di ekosistem pegunungan juga turut menstabilkan lereng, dan melindungi cadangan air tanah.

 

 

Padang semak dan rumput pada ekosistem subalpin di sekitar Danau Habbema, Taman Nasional Lorentz di ketinggian 3300 m dpl merupakan habitat ideal bagi Rhododendron Vireya

 

 

Pemanfaatan Rhododendron Vireya sebagai tanaman hias komersial relatif masih sangat minim. Rhododendron javanicum dan R. macgregoriae adalah dua spesies yang berhasil didomestikasi di Kebun Raya Cibodas. Peneliti Kebun Raya Cibodas telah menghasilkan 7 varietas hasil silangan atau PVT (Perlindungan Varietas Tanaman) dengan keunggulan variasi warna dan kemudahan dalam budi dayanya. Namun nampaknya, batasan tempat tumbuh Rhododendron Vireya yang sebagian besar adalah dataran tinggi, membuat popularitasnya tidak bergaung di pasaran khususnya di kota-kota besar yang umumnya berada di pesisir atau dataran rendah. Ditambah lagi, gempuran jenis-jenis introduksi dari Rhododendron Azalea yang lebih mampu tumbuh di dataran rendah serta perbungaaan yang lebih semarak, menekan permintaan akan spesies asli ini.

 

 

Rhododendron javanicum (Blume) Benn. asli Jawa

 

 

Rhododendron macgregoriae F.Muell. asli Papua adalah Rhododendron Vireya yang telah didomestikasi di kawasan Cipanas, Jawa Barat.

 

 

Upaya menggali potensi bioprospeksi Rhododendron Vireya ini juga masih sangat minim di Indonesia. Informasi etnomedisin dari Rhododendron Vireya sejauh ini hanya berasal dari suku-suku di pegunungan tengah Papua yang memanfaatkannya sebagai racun dan obat. Penelitian terakhir tahun 2018 mengungkapkan potensi kandungan antioksidan dari 6 jenis Rhododendron Vireya. Padahal di kawasan temperate, Rhododendron telah banyak dimanfaatkan sebagai bahan teh, produk kencantikan, dan obat herbal tradisional. Potensi dan pemanfaatan Rhododendron Vireya masih penuh misteri dan membutuhkan sentuhan riset.

 

 

Ancaman dan konservasi Rhododendron Vireya

 

Sejauh ini konservasi ex-situ telah dilakukan setidaknya di dua kebun raya nasional yang berada di kawasan pegunungan. Kebun Raya Cibodas mengoleksi setidaknya 9 spesies yang berasal dari Sumatra, Jawa dan Papua, sedangkan Kebun Raya Eka Karya Bali berhasil mengkonservasi 7 spesies yang berasal dari Jawa, Bali, Sulawesi, dan Papua. Angka yang relatif sedikit dibandingkan dengan jumlah seluruh spesies yang dimiliki Indonesia. Berdasarkan data IUCN Red List, baru 19 spesies Indonesia yang telah memiliki status konservasi, 4 di antaranya terancam, yaitu Rhododendron album, R. loerzingii, dan R. wilhelminae, yang merupakan endemik Jawa dan R. xenium yang merupakan endemik New Guinea. Jumlah spesies Rhododendron Vireya yang terancam saat ini di habitat aslinya dipastikan lebih dari itu, sehingga asesmen masih harus terus dilakukan. 

 

Rhododendron xenium Gill.K.Br. & Craven adalah Rhododendron Vireya endemic Papua yang berstatus terancam menurut IUCN Red List.

 

Hilangnya keanekaragaman hayati sebagai respon dari perubahan iklim dan perubahan fungsi lahan menjadi isu global yang ditemukan di berbagai lapisan kelompok organisme. Penelitian tentang dampak perubahan iklim terhadap distribusi Rhododendron di dataran tinggi India dan Cina mengarah pada kesimpulan yang sama, yaitu penurunan area distribusi alami beberapa spesies Rhododendron dan trend pergeseran distribusi ke kawasan dengan faktor lingkungan yang lebih sesuai. Penyempitan area distribusi artinya peningkatan terhadap keterancaman spesies. Hipotesis sementara memperkirakan distribusi beberapa Rhododendron Vireya di kawasan tropis juga akan mengalami pergeseran ke altitude yang lebih tinggi, dan opsi kepunahan bisa saja mengancam spesies-spesies yang merupakan endemik puncak gunung-gunung yang terisolasi.

 

 

Observasi database Kebun Raya Bogor menemukan bahwa Rhododendron javanicum dari Gunung Salak pernah menjadi koleksi kebun dan tumbuh pada ketinggian sekitar 250 m dpl, hingga akhirnya mati dan tidak pernah ada lagi sejak 1928. Hal ini mengindikasikan kondisi iklim kota Bogor pada saat itu masih dapat ditoleransi oleh spesies ini. Masyarakat asli di Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi, menyatakan bahwa “Kadudampit” adalah nama bunga epifit berkayu yang memiliki daun bagian bawah coklat keemasan seperti “Kadu” (Durian) yang dahulu mudah ditemukan di perkampungan di kaki Gunung Pangrango tersebut, namun saat ini mereka sudah hampir tidak pernah lagi menemukan bunga ini. Bunga yang dimaksud mengacu pada karakter Rhododendron album, endemik Jawa Barat yang memilki bunga berwarna putih-krem dengan bawah daun keemasan.

 

 

Habitat Rhododendron Vireya yang sebagian besar berada di kawasan pegunungan menjadi pedang bermata dua bagi kelestariannya. Di satu sisi, kawasan pegunungan dan puncak-puncak gunung umumnya memiliki akses yang sulit sehingga minim akan gangguan dan kerusakan habitat, di sisi lain, hal tersebut membuat kesadartahuan masyarakat yang minim tentang tumbuhan ini, serta sulitnya upaya aklimatisasi, budi daya, dan pengembangan bioprospeksi. Spesies-spesies yang tumbuh di kawasan subalpin pada ketinggian di atas 3000 m umumnya akan sangat sulit beradaptasi pada ketinggian dimana umumnya manusia tinggal. Faktor riset dan fasilitas yang minim, keterikatan perakaran tumbuhan ini dengan mikoriza spesifik, ditambah habitat spesifik menambah kompleksitas proses aklimatisasi. Oleh karena itu upaya konservasi ex-situ Rhododendron Vireya sebaiknya hanya dilakukan oleh institusi yang siap dari segala aspek untuk meminimalisir kegagalan. 

 

 

Maraknya penjualan tanaman hias secara online saat ini menawarkan banyak flora pegunungan menarik yang diambil langsung dari alam, bahkan tanpa proses aklimatisasi atau tingkat keberhasilan hidup yang rendah. Hal ini tentunya menyebabkan penurunan populasi sekaligus kerusakan habitat. Rhododendron Vireya adalah salah satu kelompok tumbuhan yang tidak mudah diaklimatisasi di level anakan, sehingga alangkah baiknya para pendaki, pencinta alam, hunter atau hobiis cukup menikmati keindahan bunganya, mendokumentasikannya dan membiarkan Rhododendron Vireya sebagai salah satu permata pegunungan tropis, terus lestari di habitat aslinya. Di Hari Gunung Sedunia 2023 ini, mari kita tingkatkan kesadaran tentang arti penting gunung dan flora pegunungan yang berlindung di dalamnya, menyerukan solusi dan praktik-praktik konservasi serta mengurangi kerentanan flora pegunungan dari kepunahan.

 

 

(Prima W.K. Hutabarat)