287 views Keadilan Iklim Harus Terus Diperjuangkan - KEHATI KEHATI

Keadilan Iklim Harus Terus Diperjuangkan



Foto Ilustrasi Deforestasi (adobe)

  • Date:
    20 Jun 2023
  • Author:
    KEHATI

Keadilan iklim di Indonesia menjadi salah satu isu menjelang pesta pemilihan presiden tahun 2024. Para pegiat lingkungan terutama kawasan hutan dan lahan, menaruh harapan pada calon pemimpin yang mampu merealisasikan  seluruh aspirasi masyarakat. Harapan  ini terutama terkait dengan kepedulian terhadap kinerja pemimpin yang baru dalam melanjutkan serangkaian kebijakan yang sudah dilakukan serta rencana-rencana dalam mencapai zero emission

 

Hal ini diungkapkan oleh Nadia Hadad selaku Direktur Eksekutif yayasan Madani Berkelanjutan dalam acara Talk Show yang bertema “Nasib Hutan di Momen Politik 2024,” tanggal 15 Juni 2023, yang diselenggarakan oleh yayasan Madani Berkelanjutan. Yayasan ini mengemas diskusi tentang keadilan iklim dan momentum 2024 dalam lima seri. 

 

“ Kita saat ini sedang ramai menghadapi politik 2024 yang merupakan momentum sangat penting dan krusial. Saat ini kita sedang mengalami krisis iklim yang makin memprihatinkan jika kita tidak berbuat sesuatu. Momen ini adalah peluang di mana kita bisa menentukan atau memilih calon pemimpin yang bisa merealisasikan agenda-agenda perubahan atau perlindungan terhadap bencana atau perubahan iklim yang akan kita hadapi,” lanjut Nadia.   

 

Dalam menyambut pesta demokrasi, banyak agenda pemerintah yang sedang dijalankan. Agenda tersebut antara lain target Nationally Determined Contribution (NDC) untuk pengendalian iklim, dokumen  Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) dalam rangka pencapaian Net-Zero Emissions di tahun 2060 hingga  Visi Indonesia Emas di tahun 2045. 

Masih ada lagi Perpres No. 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon yang diwujudkan dalam FOLU Net Sink 2030. Selain itu Perpres Moratorium hutan di tahun 2016 tentang ijin baru akan menjadi kemenangan bagi aktivis yang bergerak di isu lahan. Serangkaian kebijakan tersebut sangat menentukan nasib Indonesia ke depan terkait lingkungan. 

 

Beberapa pertanyaan timbul perihal efektivitas kebijakan-kebijakan tersebut. Selanjutnya komitmen pemimpin baru dalam mempertahankan hutan yang masih tersisa dengan tetap menjalankan program-program sebelumnya. 

 

Penelitian oleh Forest Watch Indonesia  menunjukkan bahwa terdapat dinamika deforestasi setiap menjelang pemilihan umum. Bahkan ada beberapa kebijakan yang justru bertentangan dengan antusiasme konservasi, seperti Undang-Undang Cipta Kerja yang saat ini menjadi kekhawatiran banyak pihak. Ditambah lagi kemudahan akses perizinan yang berkedok proyek-proyek strategis. 

 

Perlunya langkah untuk meyakinkan semua kebijakan bisa terintegrasi dengan baik dan mengajak masyarakat sipil untuk mengambil peran dalam memantau regulasi-regulasi ini. Para pegiat lingkungan di tingkat tapak dan pemerintah daerah memberikan kontribusi paling besar terhadap pencapaian kebijakan-kebijakan tersebut, namun mereka sering menjadi pihak yang dirugikan oleh kebijakan yang ada. 

 

Sektor energi menyumbang cukup besar pada emisi di Indonesia selain ancaman deforestasi terhadap sektor perkebunan dan tambang. Berbagai kebijakan yang akan dilaksanakan meletakkan hutan tidak hanya sebagai adopsi penyerapan emisi yang dihasilkan. Saat ini muncul kebijakan yang menawarkan energi alternatif sebagai solusi untuk beralih menuju clean energi, misalnya electric vehicle menyedot perhatian publik. 

 

Program Assistant Hutan dan Iklim yayasan Madani Berkelanjutan, Salma Zakiyah mengungkapkan data dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang menyebutkan sekitar 115 pulau-pulau kecil dan kota-kota di pesisir Indonesia akan tenggelam di tahun 2100. Sebagai contohnya di mana Pemkab Demak mewajibkan masyarakat di beberapa desa untuk meninggikan rumah mereka atau relokasi. Hal ini disebabkan peningkatan muka air laut yang tidak kunjung surut. Ini adalah contoh dari beberapa dampak iklim yang akan semakin parah apabila tidak segera dilakukan upaya untuk mencegahnya.

 

Penanggulangan perubahan iklim tidak hanya melalui pelestarian hutan saja, tetapi salah satunya adalah solusi berupa transisi energi. Sayangnya, Salma juga mengemukakan bahwa transisi energi belum tentu tidak berdampak besar terhadap kawasan hutan. Transisi energi melalui elektrifikasi dan bioenergi kemungkinan masih melibatkan material pertambangan yang selalu mengorbankan hutan alam.

 

Sektor transportasi menuju electric vehicle ini membutuhkan baterai di mana salah satu bahan produksinya dibuat dari nikel. Menurut paparan yang disampaikan oleh Salma, di tahun 2023 hampir 2/3 konsesi nikel masih berupa hutan alam. Banyak juga pelanggaran HAM seputar pertambangan nikel di mana masyarakat adat harus pergi dari rumah mereka atau terpaksa kehilangan sumber daya alam yang selama ini menjadi tumpuan hidup mereka.

Melihat Konteks Sosial dan Kultural

Indonesia kaya akan hutan alam dan lahan gambut yang berperan penting dan memiliki kemampuan untuk menyerap emisi. Namun ketika bicara soal hutan alam, harus juga dilihat konteks sosial dan kultural yaitu masyarakat adat. Masyarakat lokal yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan menggantungkan hidup mereka dari pepohonan. Ekosistem hutan menjadi harta yang tak ternilai bagi mereka. 

 

Kekhawatiran lain terkait transisi energi adalah sektor bioenergi ternyata tidak seindah faktanya. Wacana co-firing biomassa menjadi andalan pemerintah sebagai rencana penurunan emisi gas rumah kaca atau hanya dalih untuk bertahan pada PLTU. “ Kalaupun memang bisa sebagai aksi penurunan gas rumah kaca, campuran apa yang akan digunakan selain batubara, dan apakah campuran itu tidak akan mengorbankan hutan alam,” lanjut Salma. 

 

Ditambah lagi, terkait dengan biofuel di mana bahan utamanya masih menggunakan sawit, suatu hal yang sangat kontras karena Indonesia telah berkomitmen melalui NDC Indonesia untuk menerapkan B40 di tahun 2030. Fakta bahwa Industri sawit berkontribusi sangat besar bagi deforestasi di Indonesia adalah konsekuensi harga yang harus dibayar oleh kegiatan-kegiatan yang diusung menjadi solusi pengurangan emisi.

 

Berdasarkan data yang dianalisa oleh yayasan Madani, di tahun 2020-2021, telah terjadi penebangan hutan seluas 128,7000 hektar, 62% terjadi di wilayah izin dan konsesi. Garis besarnya bukan soal luasan dan izin yang masih tumpang tindih, melainkan angka luasan tersebut belum termasuk kawasan yang sudah dialokasikan untuk aktivitas-aktivitas yang mengancam. Kewenangan PBPH HA pada kurang lebih 16,67 juta hektar hutan alam akan menguntungkan perusahaan antara lain berupa hasil penjualan kayu-kayu hasil penebangan hutan.

 

Di sisi lain, yayasan Madani menemukan harapan seluas 9,7 juta hektar yang memiliki potensi untuk aksi konservasi. Luas kawasan ini berada di luar kebijakan moratorium, wilayah adat, serta wilayah izin dan konsesi. Fakta tersebut dengan catatan tidak adanya perilaku deforestasi yang biasanya marak menjelang pemilu, dan juga komitmen untuk melanjutkan kebijakan-kebijakan untuk melindungi wilayah hutan sebagai aset mitigasi perubahan iklim di Indonesia. (Tim KEHATI)