287 views Peran Bekatul dalam Mengurangi Emisi Karbon dan Peningkatan Kesehatan Masyarakat - KEHATI KEHATI

Peran Bekatul dalam Mengurangi Emisi Karbon dan Peningkatan Kesehatan Masyarakat



Bekatul (Sumber : Shutterstock)

  • Date:
    29 Mar 2023
  • Author:
    KEHATI

Indonesia bersama dengan India dan Brazil merupakan tiga negara dengan global emisi karbon tertinggi di dunia. Data ini diungkap pada tahun 2018 dengan persentase sebesar 30 persen. Kontributor paling banyak menyumbang total emisi karbon tersebut bersumber dari sektor pertanian termasuk peternakan.

 

Menurut peneliti di bidang Agro Ekonomi, Prof. DR. Agus Pakpahan, sektor pertanian berdampak signifikan terhadap perubahan iklim karena penerapan teknologi dan manajemen pertanian yang didasarkan pada kegiatan tidak ramah lingkungan sehingga berakumulasi pada perubahan iklim.

 

“Perlu digaris bawahi tentang mengapa sektor pertanian bisa dikaitkan dengan dengan perubahan iklim,” kata Agus.  Salah satu contoh yaitu budidaya padi dengan sistem monokultur yang membuat kita tergantung pada satu atau dua jenis spesies saja. Fenomena ini juga terjadi di seluruh dunia. Teknologi monokultur menerapkan teknologi modern seperti penggunaan pupuk dan pestisida. Pupuk N atau pupuk nitrogen memberi emisi terbesar.

 

Dengan sistem monokultur, pupuk nitrogen dan genangan air sawah menyebabkan reaksi anaerobis dan mengeluarkan emisi gas metana. Dalam jurnal penelitian September 2015 yang ditulis oleh A. Wihardjaka dari Balai Penelitian Lingkungan Pertanian  ditemukan bahwa Metana berindekspotensi pemanasan global 21 kali dari molekul karbon dioksida.

 

Sekitar 60 persen hasil penggilingan padi adalah beras giling, sedangkan hasil sampingannya yaitu sekam 23 persen, dedak dan bekatul 10 persen. Sisanya merupakan kotoran. Sementara produk sampingan tersebut di atas berperan besar dalam mengatasi krisis iklim.

 

Dari budidaya padi mencatat bahwa setidaknya telah menyumbang 10 persen dari emisi produksi pertanian. Jejak karbon rantai nilai beras dapat dikurangi menjadi sekitar 27 persen melalui praktek hemat air, dan bahkan hingga 37 persen melalui tingkat pemulihan produksi.

 

Pemanfaatan sekam, dedak dan bekatul dalam mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK), dijelaskan oleh Agus Pakpahan. Hampir 20 persen atau lebih dari produksi gabah adalah sekam. Artinya di Indonesia dari 50 juta ton gabah, 20 juta ton berupa sekam. Kemudian sekam dikonversikan menjadi karbon aktif atau biochar dan menjadi pupuk yang tidak menimbulkan emisi karbon.

 

Agus Pakpahan sendiri pernah mengadakan riset tentang manfaat bekatul melalui lebih dari 400 jurnal artikel. Dari riset tersebut ditemukan ada 10 jenis kelompok penyakit yang bisa disembuhkan dengan bekatul. Sebagai penderita diabetes, Agus Pakpahan pada tahun 2020 membawa bekatul ke laboratorium dan menemukan fakta bahwa bekatul sangat kaya nutrisi dan bio aktif. Dengan bekatul penyakit diabetes Agus Pakpahan mulai menurun.

 

Selain itu, hasil penemuan akhir-akhir ini yang cukup mencengangkan yaitu bekatul ternyata mampu meningkatkan kadar hemoglobin bagi penderita talasemia. Seorang anak usia 15 tahun yang selama hidupnya tergantung pada tranfusi darah setiap minggu, tingkat HB nya sudah naik dari 7 menjadi 8,9 dalam tempo 1 bulan.

 

“Bekatul daripada dibuang, bisa kita jadikan fermented rice bran. Makanya saya kelompokkan dari 400 lebih jurnal artikel ke sepuluh jenis penyakit akibat metabolisme. Mulai kelompok kanker, diabetes, liver, darah tinggi, kardio vascular, dan lain-lain lengkap dengan hasil-hasil ilmiah. Jadi yang kita kerjakan ini berbasis pada riset. Selanjutnya, tugas para scientist dan teknolog terutama di bidang farmasi untuk masuk ke dimensi kesehatan holistik.” lanjut Agus Pakpahan.

 

Inovasi Bekatul

 

Dari banyaknya manfaat untuk kesehatan, perlu dilakukan berbagai langkah inovasi agar masyarakat mulai tertarik untuk mengkonsumsi bekatul. Untuk mengatasi permasalahan rasa yang mungkin dianggap kurang enak, maka dikembangkan produk olahan bekatul berupa cookies. Cookies ini dikhususkan untuk mereka yang tidak memiliki penyakit diabetes. Namun kandungan bekatul dalam cookies tersebut kurang lebih hanya 37-40 persen. Sedangkan untuk jenis bekatul terfermentasi (fermented rice bran) paling enak dibuat bahan minuman smooties.

 

Fakta hasil riset Agus Pakpahan ini tidak disertai dengan teknologi dan budaya modern standar SNI yang mengatur bahwa beras di Indonesia tidak boleh mengandung bekatul. Kemudian pada tahun 2020 dikeluarkan ketentuan lagi oleh SNI kandungan bekatul dalam beras maksimum 5 persen. Kata Agus Pakpahan, SNI seharusnya memberikan standard whole grain yang berarti bekatul masih embodied atau masih menyatu dengan beras, karena whole grain itu lebih menyehatkan. Ilmu pengetahuan atau sains memberikan gambaran bahwa kandungan nutrisi terbaik yang ada di dalam padi atau beras adalah bekatul.

 

“Dari fakta tersebut terlihat telah terjadi ketidakselarasan antara food science dengan practical policies dalam SNI. Implikasinya dengan perubahan iklim adalah global climate change itu sendiri akibat dari budaya berpikir yang terbalik. Seemingly unrelated situation antara rice brand dengan perubahan iklim global yang mana apabila dari awal meng enolkan emisi dalam sektor pertanian termasuk pemanfaatan limbah padahal itu bukan limbah, maka kita akan mendapatkan semua benefit dari pertanian ini,” papar Agus Pakpahan.

 

Pemahaman tentang adanya produk utama dan produk sampingan adalah paham yang lahir dari budaya berpikir linear. Seharusnya sektor pertanian menerapkan budaya berpikir sirkular sehingga tidak akan ada yang disebut limbah. Dimensi berpikir no waste akan melihat beras, sekam, bekatul, dan jerami sebagai sumber daya yang menopang ketahanan pangan rakyat Indonesia. Budaya berpikir sirkular ini harus diperkaya dengan sains.

 

Penduduk Indonesia yang telah jutaan tahun berevolusi dengan kondisi tropis sebaiknya mendalami pola makan dari suplai yang ada di negara tropika ini. Masyarakat Indonesia sudah sangat mengenal bekatul sejak tahun 1960 an. Seiring dengan dimudahkannya akses masuk produk luar negeri, Indonesia dibanjiri dengan makanan impor atau junk food, termasuk terigu dan produk olahannya yaitu roti. Produk-produk makanan impor tersebut sangat berkaitan dengan faktor kesehatan diantaranya adalah memicu mental sickness. Konsumsi produk olahan tepung sebaiknya sebatas sebagai makanan ringan saja dan tidak untuk mengganti nasi dengan terigu yang bisa menyebabkan penyakit auto imun.

 

Untuk mengembalikan individu dan komunitas supaya kembali mengkonsumsi bekatul dibutuhkan campur tangan unsur edukasi. Edukasi memiliki arti yang luas salah satunya adalah mengajari tentang berkah Tuhan yang diberikan kepada kita. Unsur edukasi diharapkan akan membawa dampak pada perubahan perilaku masyarakat untuk mulai mengutamakan faktor kesehatan dan juga dampak lingkungan. Peran ibu dalam rumah tangga sangat penting dengan memastikan kesehatan keluarga dan masa depan yang cerah untuk anak-anaknya dengan menyediakan rice bran dalam menu keseharian mereka.

 

Selain supaya bekatul memiliki kemasan rasa yang enak, juga dibutuhkan kerja keras bagaimana membranding supaya orang Indonesia mencintai makanan yang terbuat dari bekatul. Keanekaragaman hayati harus mampu menjadi jembatan bagi economics science berinovasi tentang tepung atau larutan. Misalnya dilakukan pencampuran antara dua tepung seperti tepung sagu, tepung ubi kayu, tepung biji nangka,dan tepung singkong, dan diolah menjadi menjadi tepung nusantara.

 

Perubahan pola konsumsi tentu saja bukan hal yang sederhana, tetapi di masa yang akan datang sangat dibutuhkan langkah-langkah perbaikan untuk memastikan bekatul atau rice bran menjadi produk yang berkelanjutan. Jacinto Fabiosa dari Iowa State University menuliskan dalam papernya yang berjudul Westernization of the Asian Diet : The Case of Rising Wheat Consumption in Indonesia mengenai inferior beras akibat dibanjiri terigu gratis dari luar negeri. Dalam benak Fabiola, semakin tinggi pendapatan, semakin sedikit beras yang dibeli, tetapi persentase roti dan terigu semakin tinggi. Berkaitan dengan fakta tersebut, semakin tinggi pendapatan kita, semakin kita memilih untuk membeli beras premium yang notabene tanpa nutrisi.

 

Tim KEHATI