Problem Konservasi di Perairan Laut Indonesia
Kerusakan di Pesisir Teluk Palu di Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah akibat hilangnya tutupan mangrove di kawasan tersebut. (Foto : Lusiana Indriasari/KEHATI)
-
Date:
10 Apr 2023 -
Author:
KEHATI
Indonesia merupakan negara maritim dengan 70 persen wilayah perairan dan terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Dengan posisi geografis tersebut maka Indonesia memiliki banyak potensi kelautan yang mampu untuk menyejahterakan masyarakatnya. Salah satu dari potensi tersebut adalah perikanan. Menurut data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, nilai ekspor ikan periode Januari-November 2022 meningkat 10, 66% dibandingkan tahun lalu.
Namun di balik sumber daya laut melimpah ada beberapa kondisi yang mulai rentan sehingga membutuhkan perhatian serius. Salah satu persoalan yang dihadapi oleh sektor perikanan di Indonesia adalah adanya overfishing.
Definisi dari overfishing yaitu penangkapan ikan melebihi kemampuan ikan untuk bereproduksi. Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan populasi secara drastis. “Dengan berkurangnya populasi ikan maka otomatis akan berimbas pada kesejahteraan nelayan. Overfishing juga berdampak pada ketimpangan ekosistem laut,” kata Direktur Program Yayasan KEHATI, Ronny Megawanto. Ia menyampaikan berbagai hal terkait konservasi perairan laut Indonesia kepada internal KEHATI beberapa waktu lalu.
Acara internal ini menjadi salah satu kegiatan rutin KEHATI. Tujuannya adalah berbagi ilmu pengetahuan dan pengalaman dari mereka yang memiliki keahlian sesuai kompetensinya kepada warga KEHATI lainnya.
Menurut Ronny, persentase overfishing perikanan dunia pada tahun 2019 mengalami lonjakan yaitu sebesar 35 persen setelah sebelumnya pada tahun 1974 hanya 10 persen saja. Ciri-ciri terjadinya overfishing di suatu wilayah perairan adalah jumlah tangkapan ikan yang semakin sedikit,ukuran ikan dan mata jaring yang semakin kecil dan waktu melaut lebih lama.
Saat ini Indonesia sebagai sebagai salah satu anggota dari International Union for Conservation of Nature’s Species (IUCN) sedang menjadi sorotan internasional terkait dengan overfisihing ini. Kondisi overfishing di Indonesia merupakan sisi negatif dari kebijakan pemerintah dalam memberikan bantuan kepada para nelayan.
Bantuan tersebut berupa peralatan tangkap ikan sehingga nelayan di Indonesia menangkap ikan dengan jumlah lebih banyak. Hal ini diperparah dengan penggunaan peralatan tangkap ikan ternyata juga menyebabkan bycatch atau salah tangkap.
FAO memberikan data kasus salah tangkap kurun tahun 2010-2044 sekitar 9,1 milyar ton (Himbio UNPAD 19/11/2022). FAO yang merupakan badan PBB untuk menangani masalah pangan dan pertanian ini setiap dua atau tiga tahun mengeluarkan dokumen tentang status perikanan dunia ( State Of World Fishery and Aquaculture/SOFIA).
Deforestasi Mangrove
Ancaman lain terhadap ekosistem laut, menurut Ronny, adalah deforestasi hutan mangrove yang angkanya sudah mencapai 52 ribu hektar per tahun. Sebagai negara dengan hutan mangrove terbesar seluas 3,3 juta hektar, dari tahun 1996 hingga tahun 2016 Indonesia telah kehilangan 600 ribu hektar mangrove. Angka ini memang masih lebih kecil dibandingkan deforestasi hutan tropis. Tetapi dengan semakin berkurangnya hutan mangrove maka persediaan makanan hewan laut pun akan semakin sedikit. Selain itu hutan mangrove juga berfungsi untuk mencegah banjir di wilayah pesisir.
Ancaman laut lainnya yaitu rusaknya terumbu karang. Terumbu karang dan padang lamun merupakan ekosistem yang berperan besar dalam menjaga kelestarian di wilayah pesisir. Terumbu karang merupakan koloni yang terbentuk dari ribuan hewan kecil yaitu polip.
Kehidupan terumbu karang sangat bergantung pada tumbuhan mikroskopik yang sangat rentan terhadap perubahan suhu. Terumbu karang juga sangat sensitif dengan tingkat kejernihan air, arus dan kandungan garam. Indonesia memiliki terumbu karang terbesar dengan keragaman yang paling tinggi di dunia, terutama di daerah Coral Triangle Area, yaitu wilayah laut dan pantai di Asia Pasifik seluas 4 juta mil persegi.
Global Coral Reef Monitoring Network mengeluarkan data yang menjelaskan bahwa di tahun 1978 hingga 1997, kondisi terumbu karang di seluruh dunia stabil. Namun pemanasan global yang terjadi dari tahun ke tahun telah menyebabkan terumbu karang mengalami bleaching (pemutihan) karena makanan mereka yaitu mikroskopis zooxanthellae hilang. Menurut laporan LIPI, kondisi terumbu karang di Indonesia hanya 7 persen sangat baik, 22 persen baik, sedangkan sisanya kurang baik.
Selain terumbu karang, Indonesia juga memiliki padang lamun terluas di dunia. Ekosistem padang lamun berada di dasar laut perairan hangat. Menurut data dari Mc. Kenzie, padang lamun di Indonesia seluas 300 juta hektar, meskipun pihak LIPI baru memverifikasi 10% dari keseluruhan potensi yang ada.
Penelitian LIPI menunjukkan bahwa dari tahun 2015 hingga 2017 dari yang sudah diverifikasi yaitu 10% tersebut, tutupan lamun di Indonesia adalah 46%. Sebagai informasi, untuk kategori tutupan lamun yang sehat minimal 60%, sedangkan kategori kurang sehat yaitu antara 30%-59%. Tutupan lamun merupakan area dasar laut yang tertutup oleh tumbuhan lamun. Hasil kajian Pusat Riset Oseanografi-BRIN (PRO-BRIN), luas padang lamun yang diteliti baru 16%-35%.
Ronny menjelaskan, salah satu faktor rusaknya ekosistem terumbu karang dan mangrove karena nelayan kecil yang beroperasi di wilayah pesisir. Mereka kurang berminat untuk menangkap ikan di wilayah ZEE ( Zona Ekonomi Eksklusif) dan high seas (laut bebas) karena membutuhkan waktu lebih lama dengan hasil tangkapan yang sama. Problem lainnya, banyak kapal perusahaan asing yang menangkap ikan secara ilegal dengan memanipulasi peraturan sehingga berhasil membawa hasil tangkapan ke luar negeri seperti Thailand dan Filipina.
Proyek KOLEKTIF
Untuk mengatasi problem fishery beserta ekosistemnya, USAID bekerjasama dengan pemerintah Indonesia dalam proyek Berikan (Bersama Kelola Perikanan) dan menjalankan perikanan berkelanjutan dengan menerapkan sistem kontrol untuk input yang masuk ke perairan seperti kapal, jumlah kapal, dan alat tangkap ikan. Selain itu juga membatasi jumlah tangkapan atau JTB (Jumlah Tangkapan diBolehkan) serta mengatur kondisi ikan yang boleh ditangkap, misalnya dilarang untuk menangkap ikan betina atau yang sedang bertelur.
“USAID juga bekerjasama dengan yayasan KEHATI dalam proyek KOLEKTIF (Konservasi Laut Efektif),” kata Ronny. Sesuai dengan Pasal 5 Konservasi sumber daya alam, konservasi di Indonesia mencakup tiga unsur, yaitu unsur perlindungan, unsur pengawetan, dan unsur pemanfaatan berkelanjutan. Efektifitas yang dimaksud dalam program KOLEKTIF ini adalah dalam hal pengelolaan wilayah MPA (Marine Protected Area).
MPA atau Kawasan Konservasi Laut ini merupakan ruang yang dikelola sesuai peraturan yang berlaku dan bertujuan untuk mencapai konservasi alam yang panjang. Wilayah konservasi juga termasuk kawasan endemik beserta ekosistemnya yang dilindungi, dilestarikan, dan dimanfaatkan. Mangrove dan padang lamun di area MPA berperan penting dalam mitigasi perubahan iklim karena kemampuannya sangat besar dalam menyerap karbon. “Dampak perubahan iklim pada laut yang paling besar adalah terjadinya asidifikasi atau pengasaman air laut dari karbondioksida yang diserap sehingga mempengaruhi biota laut,” tutur Ronny.
Salah satu hasil kesepakatan COP 15 ( konferensi konservasi keanekaragamanhayati ) di Montreal Canada adalah 30 persen dari wilayah terrestrial dan air harus dilindungi hingga tahun 2030. Wilayah MPA di Indonesia sekitar 28 juta hektar, angka yang masih sangat jauh dari target ideal yaitu 90 juta hektar. Statement sementara pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan tentang hal tersebut menjelaskan bahwa Indonesia kemungkinan besar mampu memenuhi target ideal pada tahun 2045.
(LV Sulistyo/Tim KEHATI)