3,606 views Sorgum Jadi Pilihan Ketahanan Pangan Lokal di Flores - KEHATI KEHATI

Sorgum Jadi Pilihan Ketahanan Pangan Lokal di Flores



Sorgum dibudidayakan di dusun Likotuden Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (Foto : shutterstock)

  • Date:
    03 Apr 2024
  • Author:
    KEHATI

 

Ketahanan pangan di Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara lain, meskipun telah terjadi eskalasi sejak tahun 2021. Harga pangan yang tinggi, terutama gandum dan beras impor, sebagai dampak dari perubahan iklim menjadi pemicu rendahnya ketahanan pangan. Banyak konsumen juga belum memahami akses untuk mendapatkan makanan bergizi selain gandum dan beras.

 

Pusat Riset Tanaman Pangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRTP-BRIN), Senin (02/04/2024), mengekspos komoditas sorgum untuk mengatasi rentannya ketahanan pangan di Indonesia. Kegiatan daring ini dikemas dengan tema “Pengembangan Produk Berbasis Sorgum Mendukung Diversifikasi Pangan Dan Pengembangan Sorgum Berbasis Masyarakat Di Wilayah Flores.”

 

Direktur Program Yayasan KEHATI, Rony Megawanto menjadi salah satu pembicara dalam acara tersebut. Selain itu ada Peneliti Ahli Utama, Pusat Riset Tanaman Pangan-ORPP BRIN, Prof, Dr, Suarni, M.Si.

 

Suarni mengatakan, tujuan pemerintah mengembangkan sorgum adalah sebagai pengganti kebutuhan gandum. Tanaman sorgum tidak memerlukan lahan subur sehingga bisa tumbuh di lahan yang kritis. “Bahan pangan sorgum tervalidasi sebagai produk gluten free dan banyak diburu oleh para penderita alergi gluten golongan anak-anak usia tumbuh,” kata Suarni.

 

Kelebihan lainnya, kata Suarni, sorgum itu kaya akan protein,vitamin, zat besi, dan anti oksidan. Dengan kandungan yang sangat bermanfaat ini sorgum dinilai tidak hanya berfungsi sebagai diversifikasi pangan, namun juga mengarah pada produk pangan fungsional.

 

Karakter fisik biji sorgum dinilai mendukung program diversifikasi pangan ini, karena teksturnya yang keras sehingga mudah melalui proses penyosohan. Komponen fungsionalnya yaitu mineral juga cukup tinggi. Namun memang kandungan tanin dalam biji sorgum masih sedikit menuai kontroversi.

 

Apabila kadar taninnya tinggi maka akan berpengaruh pada rasa olahan yaitu sepat. Tanin juga bersifat anti nutrisi sehingga menghambat penyerapan komponen gizi lain di dalam tubuh. Sehingga harapannya kadar tanin pada sorgum relatif rendah dengan tetap memiliki aktivitas anti oksidan.

 

Pemanfaatan sorgum masih sedikit lebih rendah dibandingkan komoditi jagung. Jagung memang lebih unggul karena di usia muda sudah bisa diolah menjadi olahan pangan. Namun belakangan ini, semakin banyak produk olahan sorgum yang telah dipasarkan oleh pengusaha makanan sehingga menarik minat mahasiswa untuk meneliti sorgum sebagai bahan penelitian untuk tugas akhir.

 

Biaya rendah

 

Direktur Program Yayasan KEHATI, Rony Megawanto, penanaman sorgum digiatkan kembali karena karena biaya budidaya yang relatif rendah. Selain mampu tumbuh di area tandus, tanaman sorgum tidak membutuhkan banyak input tambahan seperti pupuk dan pestisida kimia yang membutuhkan biaya besar. Oleh karena itu sebenarnya bahan pangan ini termasuk kategori produk organik.

 

Keuntungan lainnya adalah panen bisa dilakukan dua hingga tiga kali dalam satu kali tanam. Sorgum membawa misi ekonomi sirkular karena tidak menyumbang limbah dengan pemanfaatan selain sebagai makanan, juga pakan ternak dan bio etanol.

 

Tanaman yang dijuluki super food ini mengandung makna budaya yang mengakar bagi masyarakat Flores yang memang makanan pokok leluhur mereka. “Kalau beras yang dipaksakan menjadi makanan pokok, masyarakat Flores akan kesulitan karena padi sangat sulit ditanam. Ini yang menjadi alasan kami mengapa sorgum kita revitalisasi kembali di Flores,” lanjut Rony.

 

Dari sisi budaya, seperti banyak daerah dengan mitologi terkait pangan lokal. Begitu juga di Flores ada mitologi yg disebut tonu wujo. Mirip mitos Dewi Sri di Jawa, dari tubuh tonu wujo ini lahir tanaman padi, jagung, jewawut, mentimun, dan sorgum. Mitos ini menyiratkan bahwa bahan pangan harus beragam.

 

Yayasan KEHATI melakukan program intervensi ini dengan bekerjasama dengan banyak stake holder di Flores terutama Keuskupan dan LSM. Selain itu berkolaborasi juga dengan Yaspensel, Ayo Indonesia, Ayu tani dan lain sebagainya. Ada juga kerjasama dengan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) di Pulau Jawa yang membantu menyusun kebijakan.

 

Konsumsi lokal

 

Sorgum menjadi tanaman andalan di lahan kering dan memiliki beragam jenis (foto : shutterstock)

Mitra lokal bersama para stakeholder dan Yayasan KEHATI telah melakukan aksi penanaman sorgum ini sejak tahun 2014. Wilayah Likotuden di Flores Timur merupakan area pengembangan program yang paling maju. Di desa wisata yang disebut kampung sorgum ini dapat ditemukan kawasan budidaya sekaligus pusat pengolahan. Pada tahap awal memang proses pengembangan masih dikaitkan dengan konservasi alam.

 

Hingga pada 2018-2020 mulailah pengolahan beragam produk terutama untuk mengatasi stunting, karena di flores kasus tersebut paling tinggi. Pada masa sekarang telah pada tahap inisiasi melalui paduan konsep eko wisata dengan agribisnis. Eko wisata dipilih karena banyak orang yang datang ke untuk melihat perkebunan sorgum, sekaligus menikmati pemandangan perbukitan yang langsung berbatasan dengan laut.

 

Kerjasama Yayasan KEHATI dengan para mitra tersebut tetap mendukung budidaya sorgum di wilayah barat yaitu daerah Manggarai, sekaligus mempertahankan adat budaya mereka. Karena padi dapat tumbuh dengan baik, upaya ini lebih menekankan pada penganekaragaman pangan lokal.

 

Kaum perempuan di Flores sangat antusias dan berperan serta dalam program sorgum, mulai dari budidaya, pasca panen, olahan, konsumsi, dan pemasaran. Para petani adalah fokus utama dari program pengembangan sorgum di Flores karena mereka merupakan ujung tombak keberhasilan program tersebut. Banyak kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk penguatan kapasitas terkait budidaya dan pasca panen.

 

Hal lain yang tidak kalah penting adalah memberikan pelatihan dan peningkatan kapasitas terkait produk olahan sorgum. Untuk itu, selalu diadakan kegiatan pelatihan kelembagaan budidaya sorgum atau komoditas lainnya dan juga pelatihan manajemen keuangan. Pada awalnya kelembagaan yang ada dibentuk sebagai Usaha Bersama (UB), yang sekarang mulai dipersiapkan untuk menjadi koperasi sorgum.

 

Utamanya konsumsi sorgum harus mulai diperkenalkan kepada masyarakat, terutama balita melalui kampanye konsumsi sorgum. Sehingga kegiatan pengembangan sorgum tidak hanya persoalan penjualan, tetapi juga dikonsumsi oleh masyarakat lokal. (Tim KEHATI)