112 views Transisi Realestat Menuju Bisnis Ramah Lingkungan Dengan Sertifikasi Green Building - KEHATI KEHATI

Transisi Realestat Menuju Bisnis Ramah Lingkungan Dengan Sertifikasi Green Building



Kawasan perkantoran dengan konsep green building di Tangerang Selatan. (Foto Ilustrasi/Shutterstock)

  • Date:
    05 Feb 2024
  • Author:
    KEHATI

Dalam rangka mencapai zero emission 2060, Pemerintah Indonesia mengeluarkan mandatori sertifikat bangunan gedung hijau sektor real estate. Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang  (PUPR) No 21 Tahun 2021 dan Surat Edaran Menteri PUPR No 1 Tahun 2022. Hal ini menjadi titik tolak transisi bisnis ramah lingkungan yang telah menjadi trend termasuk sektor perumahan.

 

Hal ini dikatakan Ketua Umum ISSP (International Society of Sustainability Professionals) Indonesia, Satrio Dwi Prakoso, dalam pelatihan Konsep Green Building Jumat (26/01/2024), di Jakarta. Pelatihan ini diselenggarakan oleh Biodiversity Warriors Yayasan KEHATI sebagai bentuk edukasi kepada masyarakat tentang korelasi dampak pembangunan terhadap perubahan iklim. Biodiversity Warriors merupakan komunitas anak muda yang menjadi garda depan KEHATI untuk ikut melestarikan keanekaragaman hayati di Indonesia.

 

Satrio menjelaskan, bangunan dengan luas dan tipe tertentu wajib memiliki sertifikat bangunan gedung hijau. “Built environment (lingkungan binaan) bisa memberikan perubahan yang signifikan dan berdampak positif sehingga menurunkan emisi karbon di global ekonomi kita,” kata Satrio.

 

Green building adalah proses pembuatan rumah yang ramah lingkungan. Praktek ini memanfaatkan sumber daya alam secara efisien. Kriterianya merujuk pada pemilihan lahan, desain, proses pembangunan dan material, termasuk juga renovasi hingga merobohkan. Green building sangat penting karena dampak dari typical building (bangunan biasa) terhadap krisis iklim sangat besar.

 

Parameter dampak negatif dari typical building antara lain adalah penggunaan energi yang berkontribusi pada Gas Rumah Kaca (GRK) kurang lebih 40%. Typical building menyumbang GRK 1/3 dari total GRK di atmosfer, jika dibandingkan dengan transportasi dan industri. Selain itu, penggunaan material bangunan yang diambil dari sumber daya alam akan turut membuat persediaan sumber daya alam semakin menipis.

 

Bangunan gedung juga memberikan kontribusi emisi, sampah dari sisa bangunan dan juga konsumsi air yang besar. Sebagai contoh, kata Satrio, kualitas udara di Jakarta yang paling buruk di dunia, salah satunya dari emisi yang berasal dari bangunan. Permukaan air di kota itu juga semakin menurun akibat dari penggunaan sumur dalam.

 

Sektor real estate merupakan bagian dari suatu pertumbuhan ekonomi yang tidak bisa dielakkan. Pada tahun 2060, jumlah bangunan diperkirakan meningkat dua kali lipat. Penyebabnya adalah prediksi populasi global naik 27% hingga mencapai 9,8 milyar. “Oleh karena itu, pengetahuan tentang keterkaitan bangunan dengan perubahan iklim sangat penting,” kata Satrio.

 

Tantangan dan Solusi

 

Dalam pelatihan tersebut Satrio mengungkapkan bahwa suatu bangunan sebaiknya dimanfaatkan semaksimal mungkin. Langkah efisiensi bisa dilakukan dengan mengalihfungsikan bangunan jika bangunan tersebut sudah tidak dipakai lagi. “Namun apabila tidak bisa dihindari, suatu bangunan harus dirobohkan, maka sebaiknya materialnya dipakai lagi pada bagian-bagian tertentu,” kata Satrio.

 

Paradigma Masyarakat menganggap green building membutuhkan biaya yang mahal. Menurut Satrio, dari sebuah riset internasional biaya untuk green building bisa lebih mahal sekitar 0-10%. “Tergantung level sertifikasi yg ingin didapatkan. Namun hal itu bisa diatasi dengan menggunakan material yang ramah lingkungan,” pungkasnya.

 

Biaya yang dikeluarkan untuk produk yang berimbas pada peningkatan emisi, kata Satrio, bisa dikonversikan untuk bahan-bahan rendah karbon. Namun hasil yang didapatkan harus memiliki value yang lebih dengan memasang item yang efisiensinya tinggi. Green building ini bisa menekan biaya operasional seminimal mungkin.

 

Misalnya dengan mengganti marmer dengan beton. Marmer memang tidak direkomendasikan sebagai material yang ramah lingkungan karena kandungan karbon yang tinggi. Memasang ac inverter dan kaca double glass adalah pilihan yang bijak.

 

Para investor sangat menyukai konsep green building karena property valuenya meningkat. Sertifikat green building menaikkan okupansi dan brand value produk real estate karena telah mengadopsi prinsip berkelanjutan dalam bisnis mereka. Sehingga, pengembang properti beresiko tinggi apabila tidak memiliki sertifikat tersebut. (Tim KEHATI)